Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka Kasus Penodaan Agama Bertentangan dengan UUD 1945
Terkait Panji Gumilang, Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Pasal Penodaan Agama menyatakan mestinya negara melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Penulis Emi La Palau3 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Pasal Penodaan Agama mengecam penetapan Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang sebagai tersangka kasus penodaan agama oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisan Republik Indonesia (Polri). Mentersangkakan Panji Gumilang dinilai bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) bagi individu dalam menjalankan kepercayaan dan kebebasan beragama yang sejatinya dijamin UUD 1945.
Diberitakan, Bareskrim Polri resmi menahan Panji Gumilang setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama, Selasa (1/8/2023). Hal tersebut buntut dari pelaporan Panji Gumilang oleh Forum Advokat Pembela Pancasila dengan tudingan penistaan agama, Jumat (23/6/2023). Beberapa pernyataan Pandji Gumilang yang dinilai menistakan agama adalah soal perempuan boleh menjadi khatib salat Jumat.
Panji Gumilang dijerat dengan Pasal 156a KUHP dan juga Pasal 45a ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE atau Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.
Koalisi Masyarakat Sipill Anti-Pasan Penodaan Agama mengutuk keras penetapan tersebut. Koalisi ini terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan (YSK), Setara Institute, Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), LBH Bandung, Imparsial, dan LBH Jakarta.
Peneliti Imparsial Annisa Yudha mengungkapkan, penetapan Panji Gumilang sebagai tersangka bertentangan dengan prinsip HAM dalam kaitannya dengan kebebasan beragama di Pasal 28e UU Dasar 1945. Selain itu juga melanggar prinsip HAM secara internasional. Menurutnya, penetapan tersangka yang dilakukan Bareskrim Polri terlihat sebagai bentuk ketundukan terhadap tekanan massa yang antikeberagaman.
Penetapan tersangka ini menambah panjang daftar kasus antikeberagaman di Jawa Barat. Sebagai salah satu provinsi dengan penduduk terbanyak, Jawa Barat memiliki fakta tingginya kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kebanyakan kasus intoleransi dilakukan oleh kelompok mainstream yang dilegitimasi oleh pemerinta baik di level bupati, wali kota, maupun gubernur.
“Dengan pasal penistaan dan penodaan agama, juga semakin memperlihatkan negara malas berpikir lebih jauh, tidak melihat perspektif lebih jauh, tidak menggunakan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan, bahkan prinsip kebebasan berpendapat dan bereskpresi termasuk di dalamnya mengespresikan pandangan agama yang berbeda bagi tiap warga negara,” ungkap Annisa Yudha, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Annisa menilai penanganan yang dilakukan aparat penegak hukum masih bias terkait dengan kasus pelanggaran KBB ini. Selain itu, aparat maupun pemerintah cenderung melakukan pembiaran terhadap tindakan intoleransi atau pelanggaran KBB. Persoalan ini menjadi catatan merah bagi situasi dan kondisi kebebasan beragama di Indonesia.
Pemerintah dan aparat diminta mengedepankan dialog prinsip toleransi antar umat dalam merespons perbedaan pandangan keagamaan di masyarakat.
“Ini perlu untuk dicanangkan lebih dalam bahwa dalam kasus konflik kerukunan intorleasi sebaiknya mengdepankan prinsip diolog inkusif, tidak lagi diskirminasi individu yang memiliki perbedaan pandangan, mengedapankan inklusif setara dan mengedapankan tidak diskriminatif,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah sadar atau tidak sadar merupakan tindakan untuk melayani sentimen dan selera kelompok konservatif di Indonesia. Mereka selama ini memaksakan sentimen keagamaan untuk kepentingan politik mereka.
Padahal, interpretasi keagamaan setiap individu di Indonesia yang beragam tentu berbeda-beda. Negara seharusnya menjamin tiap individu untuk beribadah dan berkeyakinan Setiap orang harus mendapatkan jaminan dari negara untuk bebas menjalankan agama dan keyakinannya.
Halili Hasan mengatakan, jika negara tunduk pada tuntutan suatu kelompok, artinya negara memberikan ruang bagi kelompok tersebut untuk melakukan konsolidasi.
“Kalau negara mengklaim ini proses penegakan hukum, ini bukan penegakan hukum tapi ini ruang membeli layanan sentimen kelompok konservatif,” kata Halili Hasan.
Pasal Karet
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Arif Maulana menegaskan, penetapan Panji Gumilang sebagai tersangka dengan menggunakan Pasal 156a KUHP sebagai langkah bermasalah dan keliru. Selain itu, Panji juga ditersangkakan menggunakan pasal berlapis, yakni Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian dan pasal 14 ayat 1 UU No 1 Tahun 1946.
Penetapan tersangka Panji Gumilang menambah daftar panjang korban Pasal 156a KUHP yang sudah bermasalah sejak awal. Padahal Mahkamah Konstitusi telah menyatakan agar pemerintah dan DPR melakukan revisi KUHP.
“Yang ingin kami katakana adalah penetapan Panji Gumilan ini ancaman serius bagi demokrasi kita, bagi hak warga negara khususnya hak beragama dan berkeyakinan,” kata Arif Maulana.
Negara seharusnya menghormati kemerdekaan beragama dan berkeyakinan sebagaimana diamanatkan konstitusi. Namun penetapan tersangka Panji Gumilang dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE dan pasal penodaan agama merupakan pelanggaran terhadap kemerdekaan dan kebhinekaan Indonesia.
“Kalau kita lihat, ini bagian haknya, kalau memag ada kelompok masyarakat yang tidak sependapat sampaikan saja tidak sependapat di mana, sehingga ada dialog. Itu indahnya demokrasi kebhinekaan Indonesia,” ungkapnya.
Dalam konteks Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama, perbedaan tidak bisa dihindarkan. Apalagi ditindak menggunakan hukum pidana.
Pasal penodaan agama pernah uji materi di MK. Pasal ini bermasalah karena tidak memiliki definisi pasti dan multitafsir. Pasal ini pun menjadi pasal karet.
Dalam penelitian YLBHI Januari hingga Mei 2020, ditemukan bahwa penodaan agama dianggap sama dengan penistaan agama. Bahkan, penistaan agama lebih populer dari penodaan agama. Padahal KUHP tidak pernah menyebutkan penistaan agama. Sehingga hal tersebut keliru.
Arif Maulana juga menjelaskan, di masyarakat pendidikan agama memiliki banyak perspektif. Dalam riset YLBHI Januari hingga Mei 2020 ditemukan terdapat 38 kasus di 16 Provinsi di Indonesia terkait pendoaan agama.
Penetapan tersangka pasal penodaan agama cenderung dipengaruhi desakan massa atau publik. Hal ini menjadi salah satu sebab kriminalisasi KBB.
Selain itu, kerap kali penegak hukum menggunakan alasan mengganggu ketertiban umum untuk menjadi alasan perkara. Padahal, ketertiban umum tidak termasuk dalam pasal penodaan agama.
“Itu temuan yang kami dapatkan, dari kasus yang ditangani YLBHI, bisa dikatan 100 persen kasus itu mereka dituduh melakukan penodaan agama, dipidana,” ungkapnya.
KUHP yang baru mengatur pendoaan agama dalam pasal 300, pasal ini menghilangkan unsur penyalahgunaan dan penodaan agama di dalam pasal 156a KUHP. Pasal penodaan agama dalam KUHP yang dianggap futuristic karena mengatur seseorang yang melakukan semacam permusuhan, menyebarkan kebencian, dan menghasut untuk melakukan permusuhan dan diskriminasi. Panji Gumilang dinilai tidak melakukan kriteria tersebut.
Pasal karet lainnya yang menjerat Panji Gumilang sebagai tersangka yakni pasal 28 UU ITE. Selama 9 tahun terakhir sudah ada 400 kasus yang terjerat pasal karet ini. Pasal ini juga multifungsi yang dalam praktiknya digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berpendapat.
“Kasus ini ancaman serius bagi bukan hanya kepentingan berpendapat dan berekspresi, tapi ancaman hak sipil dalam bernegara,” ungkapnya.
Kasus Terus Meningkat
Riset yang dilakukan Setara Institute menunjukkan, terjadi lonjakan hebat terkait kasus penodaan agama di Indonesia. Setara mencatat, dari 187 kasus penodaan agama sebanyak 122 di antaranya terjadi dalam kurun waktu 2014-2022. Jika ditambah dengan kasus yang terjadi di tahun 2023, termasuk penetapan tersangka Panji Gumilang, maka akan semakin panjang pelanggaran menggunakan pasal hukum penodaan agama.
Halili Hasan menjelaskan, lonjakan besar pada kasus pelanggaran yang terjadi di tahun 2014 sampai 2022 tersebut cenderung meningkat. Jika dipersentasekan kenaikannya 100 persen lebih dibandingkan tahun sebelumnya.
Halili menyoroti bahwa aparat penegak hukum kepolisian dan kejaksaan berada di bawah kendali pemerintah. Presiden sementinya bisa menangani isu ini lebih baik. Bahkan pemerintah bisa melakukan moratorium tentang pasal penodaan agama. Namun, Setara Institute tidak yakin pemerintah mau melakukan hal itu.
“Kami ingin mengatakan aparatur selama ini berada dalam kecenderungan untuk tunduk dalam tekanan kelompok konservatif utamanya pada pandangan keagamaan,” ungkap Halili.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo harus serius memperhatikan masalah keberagaman di Indonesia. Jika hal ini tidak dicegah maka korban-korban pasal penodaan agama akan terus berjatuhan.
Pembiaran kriminalisasi dan diskriminasi terhadap warga negara tentu tidak diharapkan akan menjadi warisan pemerintahan Joko Widodo. Halili menegaskan, penjara bukan untuk menghukum mereka yang berbeda pandangan dan berkeyakinan. Dunia, juga memberikan perhatian besar terhadap fenomena maraknya tahanan yang menggunakan pasal penodaan agama.
Baca Juga: Komnas Perempuan Menyerukan Pengesahan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat
Sidang Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, Kredibilitas Majelis Hakim Dipertanyakan
25 Tahun Reformasi, Kebebasan Berekspresi Menyempit
Pemberitaan Media yang Tak Faktual
Media massa turut menancapkan stigma pada kasus Panji Gumilang. Manajer Riset dan Pelatihan SEJUK Saidiman Ahmad mengungkapkan, jauh sebelum penetapan tersangka, pemberitaan Panji Gumilang cukup gencar, termasuk terlibat menyatakan ajaran Panji Gumilang sesat. Lebih dari itu, media massa banyak yang mengemukakan hal yang tidak faktual.
Saidiman menyebutkan, muncul berita bahwa Al Quran bukan firman Tuhan. Padahal tidak ada pernyataan Panji Gumilang yang mengatakan demikian.
“Jadi ini ranah tafsir, saya kira media salah ketika mengatakan Panji Gumilang mengatakan Al Quran bukan firman Tuhan,” ungkapnya.
Selain itu ramai pernyataan soal Makkah bukan tanah suci. Sementara Panji Gumilang tidak pernah mengataka Makkah bukan tanah suci.
Persoalan lainnya, terkait ramai beredar vidio perempuan yang salat sejajar dengan laki-laki. Perspektif ini tidak terjadi di Al Zaytun saja, di Mekkah bahkan salat bercampur antara perempuan dan laki-laki. Artinya hal ini bukanlah sesuatu yang baru.
“Lalu kemudian memang Panji Gumilang dan Al Zaytun ingin mendorong kesetaraan gender di dalam umat. Menurut saya sekarang di dunia, kesetaran sesuatu yang baik. Kalau tokoh agama memberikan tafsir baru agar umat lebih setara mestinya itu tidak dicurigai pelecehan. Dan tafsir keagaman denga niat baik tidak dicurigai perbuatan melecehkan atau menodai agama,” terangnya.
Pernyataan Sikap
Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Penodaan Agama kemudian menyampaikan pernyataan sikap, bahwa mereka mengecam Penetapan Panji Gumilang sebagai tersangka penodaan agama oleh Bareskrim Polri:
1. Penetapan tersangka dan penahanan dengan pasal penodaan agama pada Panji Gumilang adalah pelanggaran kebebasan sipil. Agama adalah ranah subjektif yang masing-masing warga memiliki hak yang setara untuk memiliki tafsir atas keyakinan keagamaan. Kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah hak mendasar setiap warga negara dan dijamin dalam instrument hukum dan HAM seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Selama ini, Indonesia dikenal sebagai negara demokratis dengan catatan serius pada aspek kebebasan sipil. Penetapan tersangka penodaan agama pada Panji Gumilang ini akan menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan menjadikan negara ini kembali tercoreng di mata internasional. Keputusan ini akan membuat Indonesia sulit bangkit dari posisi sebagai negara dengan kemerosotas kualitas demokrasi yang serius. SETARA Institute mencatat bahwa sepanjang pemerintahan Jokowi terjadi lonjakan hebat kasus-kasus penodaan agama. Catatan SETARA Institute menunjukkan, sejak 1965 hingga akhir 2022 telah terjadi 187 kasus penodaan agama. Kasus ini menambah rentetan sejarah kelam kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut.
3. Meminta negara untuk menghentikan penggunaan pasal karet penodaan agama untuk menjerat individu dan kelompok yang memiliki ikhtiar pemikiran dan tafsir berbeda pada keyakinan keagamaan. Negara perlu menjamin dan memberi kepastian kebebasan sipil bagi setiap warganya.
4. Meminta media untuk secara objektif tidak ikut dalam produksi berita yang menyudutkan kelompok berbeda dengan turut serta memberi label sesat atau menyimpang. Media seharusnya berdiri di atas semua kelompok masyarakat.
5. Meminta aparat hukum untuk membebaskan Panji Gumilang dari tuntutan dan tuduhan penistaan atau penodaan agama.
Tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Pasal Penodaan Agama: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan (YSK), SETARA Institute, Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), LBH Bandung, Imparsial, LBH Jakarta.