• Nusantara
  • Terulang Lagi, PPDB di Jawa Barat selalu Bermasalah

Terulang Lagi, PPDB di Jawa Barat selalu Bermasalah

PPDB selalu berbuntut temuan-temuan kasus mulai dari pemalsuan dokumen peserta didik, ketidakadilan zonasi, yang akan berujung pada buruknya kualitas pendidikan.

Orangtua siswa dari Forum Masyarakat Peduli Pendidikan menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (29/7/2022). Anak-anak mereka belum bisa meneruskan sekolah di jenjang SMP dan SMA karena tidak bisa masuk PPDB. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana4 Agustus 2023


BandungBergerak.idPendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menyisakan buntut masalah setiap tahunnya. Persoalan ini biasa muncul setelah PPDB ditutup. Temuan terbaru terjadi pada PPDB tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa Barat. Saat ini Dinas Pendidikan Jawa Barat (Disdik Jabar)  tengah mendalami dugaan pemalsuan data  peserta PPDB Jabar 2023.

Menurut Kepala Disdik Jabar Wahyu Mijaya, dugaan pemalsuan data itu semuanya terkait syarat Kartu Keluarga (KK). Modusnya, barkode di dalam KK tersambung ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

"Modusnya adalah dalam pendaftaran online. KK itu disertakan barkodenya seolah-olah akan tersambung ke website Disdukcapil, padahal tidak seperti itu," jelas Wahyu Mijaya, dalam jumpa pers di kantor Dinas Pendidikan Jabar, Kota Bandung, Kamis (3/8/2023).

Dari temuan Disdik Jabar, ada 89 orang yang diduga menggunakan data palsu. Mereka tersebar di 15 kabupaten kota dan 28 sekolah. Dugaan pemalsuan ini diketahui setelah mereka diterima masuk sekolah.

Adapun calon peserta didik yang ditolak karena datanya bermasalah sebelum masuk sekolah sebanyak 4.791 perserta. Mereka sudah dinyatakan ditolak pada saat penyaringan pendaftaran.

"Sementara yang 89 orang ini sudah masuk sekolah. Pada saat pencatatan pendaftaran online, operator memang menduga data KK itu benar karena barkode yang tertera selintas memang mengarah ke link Disdukcapil, tetapi setelah diteliti ulang ternyata bermasalah," tuturnya.

Wahyu menambahkan, dalam PPDB Jabar 2023, jumlah pendaftar ke SMA, SMK, dan SLB tahap 1 dan 2 totalnya sebanyak 521.417. Dari jumlah pendaftar itu yang diterima di sekolah negeri sebanyak 301.749 orang.

Saat ini, Disdik Jabar sudah membentuk tim khusus mendalami kasus tersebut. Jika hasil pendalaman nanti terbukti benar ada pemalsuan, maka Disdik Jabar akan mengambil langkah-langkah hukum, di antaranya dengan melaporkan pelaku ke kepolisian.

"Sementara siswa yang bersangkutan yang kini sudah bersekolah di sekolah yang dituju, rencana kita, mereka akan diberi waktu setahun tetap bersekolah. Setelah itu mereka diminta pindah ke sekolah lain. Itu baru skema awal yang kita pikirkan. Pokoknya, hak sekolah anak tetap akan kita perhatikan, itu prinsipnya," ujarnya.

Sebelum temuan dugaan pemalsuan itu mencuat, pada  19 Juli 2023 lalu Forum Orang Tua Siswa Jawa Barat merilis berbagai kecurangan PPBD selalu terjadi setiap tahunnya. Koordinator Fortusis Jawa Barat Dwi Subawanto menyatakan, praktik kecurangan yang kerap muncul di PPDB adalah manipulasi berbagai dokumen siswa agar bisa mendapatkan kemudahan untuk diterima di suatu sekolah. Hal ini muncul di berbagai jalur penerimaan.

Dwi membeberkan praktik-parakti kecurangan mulai dari pemalsuan surat keterangan tidak mampu, pemalsuan berbagai sertifikat kejuaraan untuk jalur prestasi, dan manipulasi data kependudukan.

Menurut Dwi, kecurangan pada zonasi mendominasi jumlah pengaduan yang dilakukan oleh orang tua ke Fortusis. “Pengaduan yang kerap muncul adalah ada siswa yang diterima di suatu sekolah padahal jarak rumahnya lebih jauh daripada siswa yang tidak diterima,” kata Dwi.

Munculnya praktik kecurangan yang semakin masif ini bisa merupakan dampak dari pembiaran yang dilakukan oleh para pengambill kebijakan maupun para penegak hukum terhadap berbagai pelanggaran di PPDB selama ini.

“Kecurangan di PPDB hampir selalu ada di setiap tahun, namun selama ini tidak terlihat adanya suatu usaha untuk menegakkan aturan dengan tegas,” ungkap Dwi.

Dwi menegaskan, jika pembiaran ini terus terjadi akan berujung pada penurunan kualitas pendidikan bagi siswa.  Tidak hanya dari sisi pemahaman siswa akan materi pelajaran, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah dari sisi moral siswa.

“Informasi mengenai berbagai pelanggaran PPBD sudah cukup masif dimuat di berbagai media, tidak menutup kemungkinan sebagian informasi tersebut akan sampai ke telinga siswa. Mereka akan melihat jika sekolah tempat mereka belajar adalah tempat yang tidak menjujung tinggi kejujuran,” tegas Dwi.

Fortusis mendorong agar pemerintah terutama para kepala daerah untuk lebih serius membenahi sistem PPBD. Lebih dari itu, pemerintah perlu lebih serius melakukan pemerataan kualitas pendidikan yang menjadi salah satu akar masalah munculnya berbagai kecurangan PPDB.

Baca Juga: Babak Baru Polemik Stasiun Cicalengka, Tim Ahli Cagar Budaya Turun Tangan
Mang Hasan Djafar, Arkeolog yang selalu Turun dari Menara Gading
Prasasti Cikapundung Tenggelam dalam Dinding Kota

Evaluasi Total Sistem Zonasi PPDB

Kasus-kasus kecurangan PPDB terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ketua DPP PSI Furqan AMC menyerukan agar pemerintah melakukan evaluasi sistem zonasi PPDB.

"Sistem zonasi PPDB harus dievaluasi total. Alih-alih untuk pemerataan pendidikan, yang terjadi malah sistem Zonasi PPDB mendiskriminasi dan menumbuhkan budaya negatif yang merusak," tegas Furqan.

Menurut Furqan sistem zonasi PPDB mendiskriminasi calon siswa yang seharusnya dijamin hak pendidikannya oleh konstitusi, hanya karena letak rumah yang tak masuk zonasi. Sudah dapat diduga anak-anak desa atau pinggiran kota akan kesulitan mengakses sekolah negeri yang lebih bermutu yang biasanya ada di tengah kota.

Kemudian, sistem zonasi telah menyuburkan praktik pemalsuan dokumen, pungli, dan percaloan. "Tentu saja ini adalah budaya negatif dalam pendidikan kita yang dapat merusak basis moral si anak. Berbohong jadi dianggap biasa," tegas Furqan yang juga aktivis 98 ini.

"Selain itu, anak yang dicoret dari PPDB suatu sekolah karena ketahuan memanipulasi data, bisa mengalami trauma psikologis karena resiko stigma sosial maupun perasaan bersalah" tambah Furqan.

Penerimaan peserta didik dengan sistem zonasi mengandung celah ketidakadilan bagi orang tua yang ingin mendaftarkan anaknya ke sekolah. Nanang Suhendar dan Suartini dalam jurnal Keadilan Pada Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru menyatakan hal tersebut dikarenakan sistem penerapan terkait zonasi sekolah diserahkan ke masing- masing pemerintah daerah tetapi tidak mencermati terlebih dahulu terkait faktor-faktor seperti pendataan penduduk, jarak sekolah dan akses sekolah dari masing- masing daerah. Selain itu juga adanya sistem zonasi masih belum maksimal dalam mensosialisasikan sistem tersebut. Sehingga menimbulkan permasalahan.

Para peneliti dari Universitas Al Azhar Indonesia tersebut membeberkan perlunya perbaikan sistem zonasi dalam PPDB yang dimulai dari pemerataan kualitas pendidikan. Penentu kualitas pendidikan dapat dilihat dari variabel-variabel kualifikasi dan distribusi guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang perlu ditingkatkan.

“Pembangunan sarana, prasarana pendidikan, serta kurikulum perlu dirancang berbasis zonasi. Hal ini untuk memudahkan pembangunan dan pengawasannya karena masing-masing zonasi memiliki permasalahan yang berbeda,” tulis Nanang Suhendar dan Suartini, diakses Jumat (4/8/2023).

Redistribusi guru juga harus diperhatikan. Dari segi kuantitas, rasio guru dan siswa rata-rata 1 banding 16 di setiap tingkat pendidikan. Permasalahan dari distribusi guru yaitu belum merata.

“Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengkualifikasi kebutuhan guru di setiap daerah. Dalam hal ini Kemendikbud dapat bekerja sama dengan PGRI untuk menyusun grand design kebutuhan guru dalam skala nasional,” lanjut Nanang Suhendar dan Suartini.

Mereka menilai, sejauh ini kompetensi guru di Indonesia belum merata. Guru-guru kompeten masih terpusat di sekolah-sekolah “unggulan” yang pada umumnya berada di kota-kota besar. Redistribusi guru sesuai kompetensi sangat penting dilakukan. Program Peningkatan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) guru perlu ditingkatkan agar guru dapat memperkaya ilmu dalam rangka peningkatan kompetensinya dalam mengajar.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//