• Cerita
  • Mang Hasan Djafar, Arkeolog yang selalu Turun dari Menara Gading

Mang Hasan Djafar, Arkeolog yang selalu Turun dari Menara Gading

Hasan Djafar dikenal sebagai ilmuwan rendah hati. Sibuk di forum-forum ilmiah, tidak melupakan komunitas-komunitas kecil.

Dua arkeolog senior dari Universitas Indonesia, Hasan Djafar (kiri) dan Agus Aris Munandar, dalam acara Diskusi Terpumpun tentang buku Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi, Kamis (22/6/2017). (Sumber Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Penulis Iman Herdiana3 Agustus 2023


BandungBergerak.idSuatu hari di tahun 2011, T Bachtiar bersama kelompok Jelajah Geotrek Matabuminya berencana menelusuri jejak peninggalan Kerajaan Tarumanegara berupa Komplek Candi Batujaya di Karawang, Jawa Barat. Napak tilas ini akan dilakukan hari Minggu dengan interpreter khusus Hasan Djafar, pakar arkelogi, epigrafi, dan sejarah kuna Indonesia. 

Sejak Sabtu, Hasan Djafar sudah lebih dulu tiba di Karawang. Ia menginap di rumah penyimpanan artefak Batujaya. Bagi T Bachtiar, selain sebagai ilmuwan yang mendalami bidangnya, Hasan Djafar sangat menghargai orang yang mengundangnya. Kepribadiannya hangat dan santun, selain berdisiplin pada waktu. 

Rabu (2/8/2023) kemarin, sosok yang biasa dipanggil oleh rekan selapangan dengan sebutan Mang Hasan itu telah berpulang. Indonesia kehilangan ilmuwan rendah hati yang selalu datang ke acara kelompok-kelompok kecil atau komunitas untuk membagikan kepakarannya, termasuk dengan Jelajah Geotrek Matabumi yang diasuh T Bachtiar. 

“[Sewaktu Geotrek Matabuminya] beliau tak datang mendadak, saking perhatiannya beliau satu hari sebelum acara sudah datang dan nginap di Batujaya di rumah artefak penggalian Batujaya. Beliau begitu menghormati waktu dan orang lain,” kenang T Bachtiar, saat dihubungi BandungBergerak.id, Kamis (3/8/2023). 

Pada Geotrek tersebut, Hasan Djafar menjadi interpreter. Ia membuka semua sejarah komplek percandian pada acara dengan anggota dari latar belakang nonarkeologi. T Bachtiar mengatakan, Hasan Djafat tidak hanya memberi penjelasan pada seminar atau forum-forum ilmiah di menara gading, melainkan memberikan penjelasan serupa pada masyarakat yang tergabung ke dalam kelompok-kelompok kecil lingkup komunitas. 

“Saya lihat di medsosnya beliau banyak juga datang ke kelompok-kelompok kecil misalnya menjelajah Batu Tulis di Bogor. Beliau mau masuk ke komunitas, selain di seminar dan forum-forum kampus,” katanya. 

Minggu lalu, 25 Juli 2023, Jelajah Geotrek Matabumi kembali mengundang Hasan Djafar ke Batujaya. Namun T Bachtiar mendapat kabar bahwa arkeolog tersebut sedang sakit sehingga tidak bisa mengikuti Geotrek. Rupanya Geotrek pada 2011 itu yang terakhir bagi almarhum. 

“Selamat jalan, Mang Hasan. Tempat terindah sudah menanti di alam keabadian,” tulis T Bachtiar, dalam pesan singkat yang diterima BandungBergerak.id. 

Selalu Turun dari Menara Gading 

T Bachtiar mulai mengenal lebih dekat Hasan Djafar pada 2008. Kesan pertama T Bachtiar pada ilmuwan yang memperdalam studi di bidang Epigrafi dan Sejarah Kuna Indonesia di Kern Instituut? Rijksuniversiteit te Leiden? Belanda (1984/1985) itu adalah sosoknya yang santun kepada siapa pun, kepada orang baru maupun rekan lama.

“Saya kurang begitu bergaul lama tapi ini kesan pribadi ketika berkenalan dengan beliau. Selalu santun berbagi ilmunya, tidak ada yang ditutupi, selau bruk-brak, sangat terbuka memberikan ilmu yang beliau kuasai, arkeologi, efigrafi, naskah, prasasti, bahasa kuno,” ungkap T Bachtiar.

Meski demikian, Hasan Djafar tidak akan memberikan banyak penjelasan jika tidak ditanya. Hal ini bisa jadi karena sikapnya yang santun sehingga tidak mau banyak bicara seolah-olah yang paling tahu tanpa mendapatkan pertanyaan terlebih dahulu.

“Selama [kegiatan] dengan saya. Kalau bertanya beliau akan menjawab dengan mendalam tentang apa yang saya tanyakan. Menjawab apa yang dibutuhkan. Dan tidak menutupi apa yang dia tahu. Apa yang dia tahu dia terbuka,” katanya.

Sikap tersebut dinilai langka bagi seorang ilmuwan. Tidak sedikit ilmuwan yang tidak mau banyak berbagi ilmu karena dia merasa sudah mengeluarkan banyak energi untuk melakukan penelitian, sehingga merasa tidak perlu membuka semuanya.

Sebaliknya, Hasan Djafar begitu terbuka. Dengan sikap ini kredibilitasnya justru semakin meningkat, semakin banyak orang tahu bahwa dia memiliki kompetensi di bidangnya. Hal ini membuat kapasitasnya di bidang ilmu-ilmu kuno terus membesar.

Sepeningal Hasan Djafar, T Bachtiar berharap ada generasi penerus yang bisa melanjutkan peran almarhum. Meskipun mencari ilmuwan yang memiliki karakter sama dengan Hasan Djafar tentunya nyaris mustahil.

“Karakternya khas. Luar biasa, dan wajahnya bersih, selalu senyum itu luar biasa.
Tidak kereng. Tidak menakutkan bagi yang bertanya. Keilmuannya mumpuni dalam bidangnya. Banyak karyanya. Itu yang paling penting, tentang bidang yang digelutinya,” kata T Bachtiar.

Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten ini berharap, ada pihak atau lembaga yang mengumpulkan semua karya Hasan Djafar, baik terjemahannya terhadap naskah atau prasasti, interpretasi-interpretasinya, maupun makalah-makalah ilmiahnya yang banyak tercecer.

Selama hidupnya, Hasan Djafar sudah melakukan banyak rintisan untuk diterbitkan dalam sebuah buku. Ia banyak meneliti naskah atau prasasti nusantara. Beberapa penelitiannya dilakukan pada prasasti-prasasti di Jawa Barat yang sebagian sudah diseminarkan. Semua itu harus diterbitkan sebagai harta karun arkeologi nusantara.

“Kalau tak ada penerbit, negara harus ikut mendorong penerbitan itu,” katanya.

Baca Juga: Pengangkutan Kapur Bakar dari Pangkalan ke Candi Batujaya Melalui Ci Beet dan Ci Tarum
Curug Jompong, Tempat Bobolnya Danau Bandung Purba 16.000 Tahun yang Lalu
Danau Bandung Purba Tidak Bobol di Sanghyangtikoro

Perjalanan Mang Hasan

Hasan Djafar merupakan pria kelahiran Pamanukan, pantai utara Jawa (Pantura), Jawa Barat, 16 Februari 1941. Dalam buku “Penulisan Sejarah Peradaban Jakarta” (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah DKI Jakarta, 2018) disebutkan, ia lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan skripsi Gir?ndrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir, 1975. Selanjutnya Hasan Djafar memperdalam studi bidang epigrafi di Belanda.

Hasan Djafar menyelesaikan Program Pascasaarjana Arkeologi di Universitas Indonesia pada 2007 dengan disertasiKompleks Percandian di Kawasan Situs Batujaya, Karawang: Kajian Sejarah Kebudayaan di Daerah Pantai Utara Jawa Barat (diterbitkan 2010). Ia tercatat sebagai dosen di sejumlah kampus, seperti Universitas Indonesia (1971), Universitas Indraprasta PGRI (2008), Akademi Pariwisata UNAS.

Di luar kampus, ia didapuk sebagai Documentalist dan Editor for Southeast Asia pada Proyek Internasional ABIA (Annual Biblography of Indian Archaeology): South and Southeast Asian Art and Archaeology Index, International Institute for Asian Studies (IIAS), Asesor Kompetensi Bidang Cagar Budaya Kemdikbud, dan narasumber Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Kemdikbud.

Ia tercatat sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Kemdikbud 2015-2018. Beberapa karya tulisnya antara lain: Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Indonesia dalam Arus Sejarah, Masa Akhir Majapahit. Selamat jalan Mang Hasan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//