• Nusantara
  • Kelompok Akademik Mendesak Negara Membatalkan Rencana Pertambangan di Wadas

Kelompok Akademik Mendesak Negara Membatalkan Rencana Pertambangan di Wadas

Warga Wadas dipaksa melepaskan hak-hak mereka atas tanah. Pemerintah bersikuhuh melakukan pertambangan di Wadas.

Sejumlah mahasiswa dan aktivis berorasi di Aksi Kamisan Unisba di Jalan Tamansari, Bandung, Kamis (10/2/2022). Aksi ini mengusung solidaritas untuk warga Wadas terkait aksi represif polisi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau7 September 2023


BandungBergerak.idWarga Wadas yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) kembali mendapatkan tekanan dari pemerintah. Melalui undangan dari kantor pertanahan, warga dipaksa untuk setuju melepaskan hak tanah dalam rangka penambangan andesit.

Undangan tersebut datang dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dengan nomor surat 2175 1/UND-33.06.AT.02.02/VIII/2023 tertanggal 29 Agustus 2023. Pertemuan kemudian dilakukan pada Kamis, 31 Agustus 2023 di Balai Desa Wadas. Poin dalam undangan menyatakan bahwa warga yang tidak hadir akan dianggap menerima bentuk dan besaran ganti kerugian.

Di hari pertemuan, warga Desa Wadas yang memperjuangkan lingkungan mereka bergerak menuju Balai Desa Wadas untuk memenuhi undangan. Menjelang pertemuan, perwakilan dari kantor pertanahan bersikukuh warga harus menandatangani daftar kehadiran jika pertemuan itu hendak dimulai. Namun, warga menolak karena belajar dari pertemuan April 2018 lalu, tanda tangan kehadiran disalahgunakan sebagai bukti persetujuan warga atas rencana penambangan.

Meski pada agenda undangan tersebut tentang musyawarah, namun praktinya berbeda. Warga dihadapkan pada tidak ada kondisi tidak bisa menentukan pilihan, termasuk menolak bentuk dan besaran ganti kerugian. Mereka terpaksa mengikuti prosedur yang ditentukan sepihak oleh pemerintah.

Warga diwajibkan hadir dalam pertemuan itu. Bila mereka tak hadir, mereka dianggap setuju perihal pemberian ganti rugi, sesuai dengan Peraturan Menteri ATR Nomor 19 tahun 2021. Benar saja, pertemuan tersebut dianggap oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bahwa warga telah sepakat. Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Tengah mengabarkan bahwa “Warga Desa Wadas telah secara mufakat setuju dengan penambangan batu andsit untuk material kebutuhan proyek Bendungan Bener”.

Padahal, warga menyatakan tatkala musyawarah berlangsung, warga tetap saja dipaksa untuk menerima pemberian ganti rugi. Tak ada ruang bagi warga untuk menolak.

Salah satu warga Wadas Siswanto menceritakan bahwa dalam pertemuan warga tak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Warga dipaksa untuk setuju dengan pemerintah.

Warga sudah sempat melakukan perlawanan, surat dibalas surat, akan tetapi tahapan itu tidak berjalan. Terakhir setelah tahapan-tahapan pengecekan ulang tanah, muncullah undangan musyawarah pelepasan.

“Yang kita lihat diproses itu kita sudah tolak, sebelum dilakukan mestinya tidak ada lagi musyarah penyampaian bentuk dan besaran. Hadir tidak hadir dianggap setuju,” ungkap Siswanto, dalam konferensi pers yang diselenggarakan Akademisi Peduli Wadas, Selasa (5/9/2023).

Kondisi warga saat ini menurut Siswanto, secara sikap terus berjuang semampunya. Namun jika dihadapkan dengan peraturan yang tidak bisa dihadang warga, ia mengaku seolah tak punya kekuatan.

“Secara kekuatan batin atau lahir warga tetap kuat. Ingin sekali Wadas tidak ada tambang. Tapi melihat aturannya kayak gitu apa yang bisa kita lakukan?” katanya.

“Makanya dengan beberapa updaten terakhir, menandatangi daftar hadir menjadi posisi yang betul sulit. ketika tidak menandatangani daftar hadir, agenda musyawarah seolah bubar. Konsekuensinya warga dianggap menyetuji besaran dan nominal itu,” ungkap Siswanto.

Selepas pertemuan tersebut, warga masih menghadapi satu tahapan lagi, yakni pelepasan hak dan penerimaan ganti rugi. Padahal, kata Siswanto, warga masih berharap bisa mempertahankan ruang hidup mereka dan menolak pertambangan.

“Apa pun yang terjadi terhadap Wadas ini, setidaknya tambang itu berhenti. Itu satu-satunya menjadi harapan warga. Saya berharap banget kita pikirkan bersama, ke depan betul-betul tidak terjadi,” ungkapnya.

Konferensi pers Akademisi Peduli Wadas dihadiri Rikardo Simarmata (Ketua Pusat Kajian Djojodigoeno FH UGM), Herdiansyah Hamzah (Ketua Pusat Studi Anti Korupsi FH UNMUL), Rina Mardiana (Dewan Penasehat Pusat Studi Agraria IPB dan Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB), Dhia Al Uyun (Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dosen FH UB), dan Herlambang P. Wiratraman (Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM).

Akademisi Peduli Wadas menilai klaim sepihak tanah Wadas oleh pemerintah bertentangan dengan kenyataan bahwa warga Wadas pejuang lingkungan penolak tambang masih konsisten menolak rencana penambangan. Akademisi Peduli Wadas juga menyoroti masa berlaku surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah dengan nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaharuan atas penetapan lokasi (IPL) Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah justru telah habis pada tanggal 7 Juni 2023.

Surat undangan yang dilayangkan berserta indimidasi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo tersebut sama sekali tidak memiliki legitimasi hukum. Di tengah penolakan warga dan Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang telah habis, pemerintah terus memaksa warga menyerahkan tanah dan melanjutkan proyek pertambangan.

Cara Kotor Pemerintah Merampas Tanah Rakyat

Salah satu dosen anggota Akademisi Peduli Wadas Rina Mardiana menyatakan, Wadas merupakan situs yang mempertunjukkan kelindan relasi kekuasaan dan paragidma pembangaunan (pertumbuhan ekonomi) hingga terjadinya krisis sosio agrarian-lingkungan di tingkat tapak. Peristiwa Wadas menunjukkan mekanisme pengadaan tanah bagi pembanguan yang menggunakan instrumen kebijakan negara, pengerahan aparatur negara, yang kemudian berdampak pada krisis sosio agrarian dan lingkungan, kemudian konflik sosial di masyarakat.

Proses pengadaan tanah atas nama pembangaunan yang berlangsung di Wadas telah memicu kontestasi antara negara verus rakyat di mana negara menggunakan kekuasaan. Sementara warga Wadas berjuang melawan negara dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif.

Penundukan warga melalui kekuasaan negara telah sukses mendulang peralihan lahan dari tangan rakyat ke negara. Warga yang takluk itu selanjutnya disebut sebagai pihak pro. Sementara warga yang terus berjuang melawan potensi ancaman krisis agraria-lingkungan di tanah air mereka disemati stigma kontra.

“Padahal, sejak isu pertambangan batu andesit ditetapkan sepihak oleh negara, serentak warga Wadas yang bekerja di sektor pertanian, baik yang memiliki lahan pertanian ataupun tidak (buruh tani), seluruhnya tegas menyatakan penolakan atas tambang,” ungkap Rina Mardiana.

Secara vertikal, konflik agraria-lingkungan di Wadas menjadi pemicu terjadinya ketidakpercayaan rakyat pada kerja-kerja pemerintahan yang sepihak. Dalam imajinasi warga, pemerintah layaknya penjajah, maka mereka harus berjuang untuk mempertahankan tanah air. 

Praktik kekuasaan Negara atas nama pembangunan semacam ini telah menggerus kepercayaan rakyat terhadap keadilan hukum. Ruang hidup dan sumber nafkah warga Wadas terguncang. Bahkan kondisi banjir dan hilangnya sumber mata air menjadi konsekuensi logis yang terjadi di Wadas baik bagi bagi warga yang pro maupun kontra.

Herdiansyah Hamzah, dosen dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menyatakan ancaman konsinyasi jelas adalah cara kotor pemerintah untuk merampas tidak hanya tanah warga Wadas, tapi juga ruang hidup serta masa depan anak cucu mereka. Bahkan secara prinsip, metode konsinyasi tidak dikenal dalam rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pertama, Pasal 42 ayat (2) UU a quo menyebutkan bahwa konsinyasi hanya bisa dilakukan jika “penerima yang berhak” tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam perkara di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan/atau masih menjadi jaminan bank.

“Dengan demikian, maka sikap warga Desa Wadas yang menolak pertambangan batuan andesit tersebut tidaklah memenuhi klausul persyaratan konsinyasi,” ungkap Herdiansyah Hamzah.

Kedua, Pasal 10 UU a quo secara eksplisit menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum.

“Berdasarkan kedua alasan tersebut, maka upaya konsinyasi yang hendak dilakukan oleh pemerintah, jelas adalah bentuk intimidasi yang bertujuan untuk merampas tanah dan ruang hidup warga Desa Wadas.”

Baca Juga:

Akademisi Peduli Wadas Menuntut Pemerintah Membatalkan Penambangan

Konferensi pers tersebut melahirkan pernyataan sikap Akademisi Peduli Wadas. Mereka mengingatkan pemerintah termasuk Pemda Jawa Tengah, Pemkab Purworejo, BPN/Kantor Pertanahan, Kementerian Agararia dan Tata Ruang (ATR);

Pertama, dari sisi hukum agraria, begitu mudah dan banyak dijumpai kecacatan yang terjadi dalam proses pengadaan tanah ataupun proses formal menuju pelepasan hak. Ini sekaligus membuktikan rezim hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa dengan mudah menyalahgunakan hak warga negara untuk mendapatkan ruang hidup yang layak dan terhindar dari ancaman eksklusi atas dasar ‘kepentingan umum’.

Kedua, Akademisi Peduli Wadas mengingatkan betapa besar konsekuensi yang akan terjadi bila Proyek Strategis Nasional terus dijalankan, tanpa keberpihakan sisi kemanusiaan dan ekologis, serta belajar dari kasus Wadas, penghancuran sosial budaya warga dan perusakan alam itu demikian nyata terjadi.

Ketiga, kasus di Wadas merefleksikan bahwa telah terjadi kesewenang- wenangan penguasa terhadap warga negaranya, pelanggaran hak konstitusional, serta politik hukum yang kian jauh dari tujuan negara.

“Pada akhirnya, kami mendesakkan Negara, terutama Pemerintah, untuk mengetuk nurani kemanusiaan, mengupayakan pembatalan atas rencana penambangan yang kian hari kian jelas berdampak buruk secara kemanusiaan dan ekologis, dan pula begitu banyak menghilangkan hak hak dasar warga negara yang dijamin tegas dalam UUD NRI 1945,” ungkap Herlambang, mewakili pernyataan sikap Akademisi Peduli Wadas.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//