• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #32: Asikin, Abas Nataadiningrat, dan Kosim

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #32: Asikin, Abas Nataadiningrat, dan Kosim

Asikin pernah menjadi administratur (1930-1935), Abas Nataadiningrat pernah jadi redaktur (1934-1935), dan Kosim juga pernah menjadi redaktur (1936 hingga 1938).

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

R. Asikin menjadi administratur Sipatahoenan antara 1930-1935. (Sumber: Sipatahoenan, 30 Agustus 1935)

8 September 2023


BandungBergerak.id – Setelah Sipatahoenan menjadi harian, ada beberapa orang yang baru bergabung untuk mengelola surat kabar berbahasa Sunda tersebut. Ada yang terlibat sebagai adiministratur, ada yang menjadi direktur, dan ada pula yang pernah menjadi redaktur yang baru, meskipun sebentar. Mengenai hal ini, antara lain, saya mendapatkan gambarannya dari tulisan E.M. Dachlan dengan judul “Notitie. Sipatahoenan 15 Taoen” (Sipatahoenan, 20 April 1938). Di situ Dachlan antara lain menyebutkan adanya nama-nama R. Abas Nataadiningrat, R. Asikin, Mochmad Enoch, O. Sanoesi, Oto Iskandar di Nata, Kosim, dan Nitisoemantri.

Untuk tulisan kali ini, saya akan membahas tiga nama yang turut mengelola Sipatahoenan antara tahun 1930 hingga 1938 seturut urutan waktu. Ketiganya adalah Asikin yang menjadi administratur antara tahun 1930 hingga 1935, R. Abas Nataadiningrat yang menjadi redaktur antara April 1934 hingga 1 Februari 1935, dan Kosim yang juga pernah menjadi redaktur sejak tahun 1936 hingga 1938.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #29: Telegram Pers
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #30: Soeriadiradja, Redaktur di Batawi
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #31: Turut Mendirikan Persatoean Djoernalis Indonesia

Asikin, Sang Administratur

Dalam subbahasan “Sipatahoenan djadi Dagblaad” (10 Taoen Sipatahoenan, 1933: 2) dikatakan, “Administratie dipigawe koe Djrg. Asikin dibantoe koe sababaraha oerang pagawe noe sedjen” (Administrasi dikerjakan oleh Tuan Asikin dibantu oleh beberapa orang pegawai yang lain). Bila dikaitkan dengan uraian sebelum kalimat itu, pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa Asikin menjadi administratur Sipatahoenan sejak tahun 1930, yaitu saat surat kabar tersebut terbit sebagai harian.

Di sisi lain, Dachlan (1938) menulis, “Siga anoe teu awet djodo Sipatahoenan teh, dina enggoning njitak djeung anoe ngoeroes teh. Sanggeus kaloear tina hoekoeman di Soekamiskin (boelan Mei 1935) dina boelan September taoen eta keneh, Djoeragan Bakrie Soeraatmadja djeung Djoeragan R. Asikin (Administateur) liren tina masing-masing padamelanana. Pimpinan redactie diteroeskeun koe Djoeragan Mohamad Koerdie anoe teroes djadi Hoofdredacteur nepi ka ajeuna (Dalam hal yang mencetak dan mengelola Sipatahoenan agaknya tidak awet. Setelah keluar dari hukuman di Sukamiskin, pada bulan Mei 1935, pada bulan September tahun tersebut, Tuan Bakrie Soeraatmadja dan Tuan R. Asikin [administratur] berhenti dari pekerjaannya masing-masing. Pemimpin redaksi dilanjutkan oleh Tuan Mohamad Koerdie yang terus menjadi pemimpin redaksi hingga kini)”.

Memang, saat peristiwa delik pers yang melibatkan Bakrie, Asikin sebagai administratur termasuk yang diminta datang dan diminta keterangan oleh polisi. Ihwalnya saya peroleh dari berita singkat “Perkara Persdelict Sipatahoenan” (Sipatahoenan, 6 Maret 1934). Di situ dikatakan, “Ngantet djeung papariksaan Hoofdbureau van Politie afdeeling politiek, ka Hoofdredacteur djeung Corrector Supatahoenan noe geus ditjaritakeun ti heula tea, dina powe ieu pisan dipariksa di Hoofdbureau van Politie keneh Administrateur Sipatahoenan Djrg. Asikin djeung Chef Drukkery noe njitak Sipatahoenan Djrg. I. Sasmitaatmadja (Berkaitan dengan pemeriksaan kepala biro polisi bagian politik kepada pemimpin redaksi dan korektor Sipatahoenan yang sudah diceritakan sebelumnya, persis hari ini yang diperiksa di kepala biro itu adalah administratur Sipatahoenan Tuan Asikin dan kepala percetakan yang mencetak Sipatahoenan Tuan I. Sasmitaatmadja)”.

Hingga 9 Maret 1934 (“Perkara Persdelict Sipatahoenan”; Sipatahoenan, 9 Maret 1934) yang dimintai keterangan pada kasus Bakrie adalah Bakrie sendiri, Asikin, Sasmitaatmadja, Corrector Onong Somadinata, Expediteur Soemirat, Krantenlooper Mardjoek, Krantenlooper Idi, ditambah dengan Opmaker Gandamihardja (“nepi ka powe ieu, djaba ti geus mariksa Hoofdredacteur Bakroe Soeraatmadja teh, geus mariksa Administrateur Asikin, Chef drukkery Sasmitaatmadja, Corrector Onong Soma di Nata, Expediteur Soemirat, Krantenlooper Mardjoek djeung Krantenlooper Idi tea”) dan pencetak Wahjoedi (“geus mariksa Opmaker Sipatahoenan Gandamihardja djeung drukker Wahjoedi di drukkery deukeut kantoor Sipatahoenan, dipariksa dipenta kateranganana”).

Pengunduran diri Asikin sebagaimana dimaksudkan Dachlan saya temukan dalam tulisan “Patoeraj” dalam Sipatahoenan edisi 30 Agustus 1935. Di situ Asikin menguraikan alasannya, yaitu kesehatannya yang terganggu (“Noe djadi margi teu aja sanes djabi ti kaperloean sim koering di loeareun padamelan, malah babakoenan pisan mah ganggoean kawarasan”).

Dengan demikian, sejak 31 Agustus 1935, dia memutuskan untuk mengundurkan diri hitung-hitung sebagai rehat dulu sebelum nantinya barangkali dapat bergabung membantu Sipatahoenan lagi (“Koe margi eta, etang-etang pamitanana, ka Sipatahoenan hoesoesna, ka lezers sareng adverteerders oemoemna, koe djalan ieu seratan sim koering ngawartosan jen ti ngawitan dinten ieu (sajaktosna 31 Augustus) sim koering parantos njoehoenkeun liren ti Sipatahoenan, etang-etang reureuh heula, manawi kapajoenna tiasa iloe-bioeng deui didamel kangge kapentingan ieu serat kabar”).

Abas Nataadiningrat, Redaktur yang Menjadi Anggota Dewan

Tentang Abas Nataadiningrat, Dachlan (Sipatahoenan, 20 April 1938) mengatakan “Ti mimiti boelan April 1934, rengrengan redactie katambahan koe djoeragan R. Abas Nata Adiningrat, anoe dina tanggal 1 Februari 1935 andjeunna moendoet liren deui patali djeung garapan2 anoe kedah didjalankeun koe andjeunna (Sejak bulan April 1934, jajaran redaksi bertambah dengan Tuan R. Abas Nataadiningrat, yang pada tanggal 1 Februaru 1935 ia mengundurkan diri berkaitan dengan adanya garapan-garapan yang harus ia jalankan)”.

Dengan demikian, Abas menjadi redaktur Sipatahoenan hanya sekitar sebelas bulan atau setahun kurang sebulan. Lalu, bagaimana pengalaman Abas selama menjadi redaktur surat kabar ini? Jawabannya bisa kita simak dari warta yang disajikan Sipatahoenan.

Satu-satunya kabar yang saya dapatkan adalah kala Abas Nataadiningrat dipanggil oleh biro kepala polisi bagian kriminal pada 21 November 1934 terkait delik yang menimpa Sipatahoenan (“Kamari redacteur Sipatahoenan Abas Nataadiningrat geus dipenta datang ka Hoofdbureau v. Politie afdeeling Crimineele recherche sarta koedoe mawa Sipatahoenan tanggal 16 Juli 1934”). Ini dilaporkan pada edisi 22 November 1934 dengan tajuk berita “Persdelict, Saha noe Nanggoeng Risico? (Delik pers, siapa yang menanggung risiko)”.

Bila membaca kutipan tersebut, kasus yang menimpa Abas terkait dengan pemberitaan Sipatahoenan tanggal 16 Juli 1934. Namun, dalam paragraf selanjutnya dikatakan pemanggilannya bukanlah sebagai terdakwa, sebab dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan polisi belum tentu siapa yang harus bertanggungjawab (“Lain sabagi ‘sakitan’ da noeroetkeun djalanna pertanjaan mah, henteu atjan bisa ditangtoekeun saha-sahana noe koedoe nanggoeng risicona”). Masalahnya hanya memuat ulang berita dari surat kabar lain, yaitu dari De Koerier, tetapi kemudian surat kabar lainnya, yaitu Nicork mengutipnya lagi dengan sumber dari Sipatahoenan. Namun, di Nicork ada digunakan kata “knevelary”, padahal baik dalam De Koerier maupun Sipatahoenan kata tersebut tidak digunakan.

Itulah satu-satunya kabar terkait Abas Nataadiningrat dalam kapasitasnya sebagai redaktur Sipatahoenan. Karena setelah tidak lagi menjadi redaktur surat kabar, agaknya ia aktif sebagai politikus, yaitu sebagai anggota dewan Kabupaten Bandung sebagai perwakilan dari daerah Cicalengka. Ini diberitakan Sipatahoenan edisi 26 Juni 1937, dengan judul “Nambahan lantera di jalan (Menambah penerangan di jalan)”.

Dalam berita dikatakan, “Lid R.R. Rd. Abas Nataadiningrat geus ngasongkeun voorstelan ka Kangdjeng Dalem Bandoeng, rehna aja panoehoen sawatara pendoedoek kota distrik Tjitjalengka, lantera di djalan hajang ditambahan. Ajeuna djoemblahna panerangan djalan teh aja 6 lampoe listrik noe 75 watt sahidjina, kabeh aja di djalan Groote Postweg bae (Anggota dewan kabupaten Rd. Abas Nataadiningrat sudah mengajukan permohonan kepada bupati Bandung bahwa ada permintaan sebagian penduduk kota distrik Cicalengka, agar lampu penerangan jalan ditambah. Sekarang jumlah penerangan jalan baru ada 6 lampu listrik yang 75 watt per lampunya dan semuanya hanya ada di jalan raya pos belaka)”.

Di edisi yang sama, Abas disebutkan diangkat sebagai anggota pemilihan untuk kota distrik Cicalengka bersama dengan M. Ardipoetra, Camat Rancaekek (“Geus diangkat kana elid stemkantoor kiesdistrict Tjitjalengka: M. Ardipoetra, Assistent Wedana Rantjaekek djeung Rd. Abas Nataadiningrat”).

Agaknya Abas Nataadingrat termasuk yang berkali-kali menjadi anggota dewan Kabupaten Bandung, karena dalam tulisan “2e Raadsvergadering” (Sipatahoenan, 30 Desember 1937) dikatakan sejak periode sebelumnya Abas dikenal sebagai anggota dewan yang menonjol bila dibandingkan dengan anggota dewan lainnya, yaitu karena kemampuan berbicaranya dan pengetahuannya (“Djoeragan Abas Nataadiningrat memang geus lawas, ti periode toekang keneh katembong nondjolna ti leden noe rea teh, boh dina tabahna njarita, boh dina pangaweroeh oemoemna, katambah djeung tabah njarita deuih”).

Pada tahun 1938, Abas Nataadiningrat masih menjadi anggota dewan Kabupaten Bandung dari Cicalengka. Terbukti dalam tulisan “Petitie-voorstel Abas Nataadingrat cs” (Sipatahoenan, 26 April 1934) dikatakan “Dina koempoelan RR noe panganjarna, ieu materie dibadamikeun. Loba noe njarios diantarana djrg. Abas Nataadiningrat, lid ti Tjitjalengka voorstelan gecommitteerden soepaja ieu bisloeit Raad noe ti heula ditahan heula bae (Pada rapat dewan kabupaten yang terbaru, materi ini didiskusikan. Banyak yang angkat bicara, di antaranya Tuan Abas Nataadiningrat, anggota dari Cicalengka yang mengajukan permohonan agar keputusan dewan ini ditahan terlebih dahulu)”.

Acara tinjauan pers oleh Kosim, redaktur Sipatahoenan, di depan corong radio VORL pada Minggu, 1 Agustus 1937. (Sumber: Sipatahoenan, 31 Juli 1937)
Acara tinjauan pers oleh Kosim, redaktur Sipatahoenan, di depan corong radio VORL pada Minggu, 1 Agustus 1937. (Sumber: Sipatahoenan, 31 Juli 1937)

Kosim, Tinjauan Surat Kabar di Corong Radio

Mengenai Kosim, E. M. Dachlan (Sipatahoenan, 20 April 1938) juga memberikan keterangannya. Katanya, “Sanggeusna di Bantjeuj, rengrengan redactie katambahan koe Djoeragan Kosim (Setelah di Banceuy, jajaran redaksi bertambah dengan Tuan Kosim)”.

Maksud Dachlan dengan setelah di Banceuy adalah setelah Sipatahoenan mempunyai percetakan sendiri, yaitu Percetakan Pangharepan, sejak Agustus 1936 yang beralamat di Bantjeuj 36  dan sekaligus akhirnya menjadi kantor redaksi Sipatahoenan. Dengan demikian, besar kemungkinan, Kosim menjadi redaktur setelah bulan Agustus 1936.

Hal menarik yang saya dapatkan berkaitan dengan Kosim adalah ia menjadi redaktur Sipatahoenan yang selalu menyampaikan tinjauan surat kabar di depan corong radio swasta VORL di Bandung, paling tidak antara tahun 1937 hingga 1938. Acaranya bisanya berlangsung pada hari Minggu malam, selama sekitar 30 menit. Data paling lama yang saya temukan adalah agenda acara VORL pada hari Minggu, 13 Juni 1937, antara pukul 19.45 hingga 20.15 diisi dengan “Persoverzicht oleh toean Kosim Redacteur Sipatahoenan” atau tinjauan pers oleh tuan Kosim, redaktur Sipatahoenan (Sipatahoenan, 12 Juni 1937).

Kegiatan setiap malam Senin itu terus berlangsung. Antara lain pada Minggu, 27 Juni 1937 (Sipatahoenan, 26 Juni 1937); Minggu, 1 Agustus 1937 (Sipatahoenan, 31 Juli 1937); Minggu, 22 Agustus 1937 (Sipatahoenan, 21 Agustus 1937); Minggu, 29 Agustus 1937 (Sipatahoenan, 28 Agustus 1937); Minggu, 5 September 1937 (Sipatahoenan, 4 September 1937); Minggu, 12 September 1937 (Sipatahoenan, 11 September 1937); Minggu, 26 September 1937 (Sipatahoenan, 25 September 1937); Minggu, 13 Maret 1938 (Sipatahoenan, 11 Maret 1938); Minggu, 20 Maret 1938 (Sipatahoenan, 19 Maret 1938); Minggu, 27 Maret 1938 (Sipatahoenan, 26 Maret 1938); dan Minggu, 17 April 1938 (Sipatahoenan, 16 April 1938).

Dengan fakta-fakta tersebut, saya bukan saja baru tahu bahwa antara tahun 1937-1938 di Bandung sudah ada tradisi menyampaikan tinjauan surat kabar yang disampaikan secara langsung di depan corong radio, melainkan juga bahwa tradisi yang dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi swasta Indonesia, yang juga punya lini usaha surat kabar cetak, untuk menyampaikan tinjauan surat kabarnya yang akan diterbitkan esok harinya adalah tradisi yang tidak baru. Namun, melanjutkan apa yang sudah dilakukan di depan corong radio berpuluh-puluh tahun sebelumnya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//