SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #31: Turut Mendirikan Persatoean Djoernalis Indonesia
Kelahiran Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi) dilatari kebutuhan organisasi wartawan di Hindia Belanda. Bakrie Soeraatmadja sebagai salah seorang pendirinya.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
1 September 2023
BandungBergerak.id - Banyak pustaka yang menunjukkan andil jurnalis Sipatahoenan untuk mendirikan Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi). Di antara berbagai pustaka yang sempat menyebutkannya antara lain ada tulisan Soebekti (“100 Tahun perkembangan pers Indonesia didaerah Djawa Tengah” dalam Kenangan Sekilas Sedjarah Perdjuangan Pers Sebangsa, 1958), Jagat Wartawan Indonesia (1981) susunan Soebagijo I.N. dan Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras: Pers Zaman Kolonial antara Kebebasan dan Pemberangusan, 1906-1942 (2003) karya Mirjam Maters.
Mirjam mengetengahkan konteks kelahiran Perdi. Ia menyebutkan Perdi adalah upaya keempat yang dilakukan jurnalis bumiputra untuk mendirikan organisasi kewartawanan di Hindia Belanda. Kata Mirjam (2003: 248), upaya pertama dilakukan pada 6 Oktober 1925 dengan pembentukan Journalistenbond Asia (Ikatan Wartawan Asia), meskipun tidak berkembang. Upaya kedua didirikannya Perserikatan Journalis Asia pada Agustus 1928. Upaya ketiga dengan berdirinya Persatoean Kaoem Journalis (PKJ) tahun 1931 dan akhirnya barulah Perdi juga pada tahun 1931.
Dalam catatan Soebekti (1958: 186) barulah disebutkan tentang peran Bakrie Soeraatmadja sebagai salah seorang pendiri Perdi. Antara lain dia mengatakan “Dan di Solo kemudian atas moga Sudarjo Tjokrosisworo, dapat dibentulk sebuah persatuan wartawan, jakni Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi). Pengurus pertama Sutopo Wonobojo, Samsju Hadiwijoto (marhum), Bakri Suraatmadja, Sudarjo Tjokrosisworo dan lain”.
Namun, Sudarjo Tjokrosisworo (1958: 208) dalam catatan tulisan Soebekti keliru menyebutkan tahun pendiriannya, yaitu 1933, seharusnya 1931. Katanya, “Persatoean Djoernalis Indonesia, Perdi, lahir diserambi belakang gedung pertemuan Habiprojo (pasar Singosaren sekarang), pada hari Saptu tanggal 23 Desember 1933, tepat djam 24.00. Lengkapnja Pengurus terdiri dari Ketua Soetopo Wonobojo, Hoofdredacteur mingguan Djawa Kumandang Rakjat Solo; Panitera Soedarjo Tjokrosisworo, Midden-Java Redacteur harian Soeara Oemoem Surabaja; Bendahara Sjamsu Hadiwijoto (marhum), Directeur harian Adil, Solo; para pembantu: Bakri Sura Atmadja, Hoofdredacteur harian Sipatahunan Bandung; Inu Perbatasari Mertokesuma (marhum), Hoofdredacteur harian Oetoesan Indonesia Jogjakarta; Sjamsuddin Sutan Ma’mur, Hoofdredacteur harian Daja Oepaja Semarang dan Junus Dirk Syaranamual, Hoofdredacteur Soeara Oemoem Surabaja”.
Selain Bakrie, ternyata Mohamad Koerdie juga terlibat dalam kepengurusan Perdi. Mengenai hal ini, Soebagijo I.N. (1981: 77 dan 616) menyatakan bahwa Mohamad Koerdie termasuk anggota pengurus pusat Perdi hasil Kongres PERDI ke-III diadakan di Jakarta pada tanggal 17 dan 18 Mei 1937 dan dalam kepengurusan Perdi yang terakhir.
Pembentukan Perdi
Keterangan lengkap pembentukan Perdi tentu saja dapat kita simak dari laporan-laporan yang disajikan oleh Sipatahoenan. Pada edisi 25 Juli 1931, tersaji tajuk rencana mengenai konferensi wartawan bumiputra di Semarang yang akan dihelat antara 8-9 Agustus 1931. Judul tulisannya “Indonesische Journalisten Bond”. Pada awal tulisan disebutkan, “Bedja geus njebar ka sakoeliahna, jen dina tanggal 8, 9 boelan hareup di Semarang baris aja Journalisten Conferentie. Anoe pada pada ngaregepkeun kana ajana ieu conferentie teh, lain ngan kaoem Journalisten bae, tapi henteu koerang koerang publiek noe pada ngaregepkeun ... pada harajang njaho koemaha kaboektianana” (Berita telah tersebar ke semua arah, bahwa pada tanggal 8 dan 9 bulan depan di Semarang akan ada konferensi para jurnalis. Pihak yang hendak menyimak konferensi tersebut bukan saja kaum jurnalis, tapi tidak kurang pula publik yang menyimak ... hendak mengetahui bagaimana buktinya).
Selanjutnya disebutkan yang akan dilangsungkan di Semarang bukanlah pembentukan asosiasi para jurnalis bumiputra, melainkan hanya memperbincangkan hal-hal yang penting menurut jurnalis bumiputra. Meskipun, konon, ada pula yang menganggap perlu adanya pembentukan perhimpunan itu. Penulis tajuk rencana teringat pula bahwa sudah pernah beberapa kali diupayakan membentuk asosiasi tersebut, tetapi tidak terus dapat hidup, karena mendapatkan berbagai kendala. Inti masalahnya kesepahaman dan persatuan di antara para jurnalis bumiputra.
Memang ia menganggap penting adanya perhimpunan, tetapi harus dicari dulu penyebab mengapa jurnalis bumiputra tidak dapat bersatu (“Perloe diingetkeun koe noe hajang ngadegkeun pagoejoeban Joernalisten tea, kadjadian noe diseboet tjikeneh teh. Pagoejoeban Journalisten memang perloe koedoe diajakeun, tapi nja eta samemeh ngoedag noe djaoeh teh, lingkoengan sorangan koedoe diteangan naon noe djadi sabab sababna pangna henteu bisa ngahidji”).
Sipatahoenan menurunkan laporan pelaksanaan kongres jurnalis di Semarang pada edisi 11 Agustus 1931. Penulisnya utusan Sipatahoenan yang hadir di Semarang (“Journalisten Congres di Semarang. Bedja telegram ti oetoesan Sip”). Pada awal laporannya terbaca demikian, “Malem minggoe kamari di gedong Luna-Theatre geus diajaan congres Indonesische Journalisten. Anoe datang pohara lobana, tempat nepi ka henteu tjoekoep. Congres nampa telegram ti Alg. Secretarie, kalawan asmana GG netelakeun kahandjakalanana henteu iasa ngaloeoehan eta congres, ngan samboeng doea bae soepaja congres noe kaseboet di loehoer hasil maksoedna, keur ngadjoengdjoeng harkat daradjatna Journalisten Indonesia. Aja deui bedja ti Voorzitter Volksraad, Procureur Generaal, Gouverneur Midden Java, sawatara regent djeung hoofdbestuur perkoempoelan perkoempoelan Indonesia anoe lantaran aja halangan, nembongkeun kahandjakalanana henteu bisa noengkoelan eta congres”.
Artinya, malam minggu kemarin di gedung Luna-Theatre sudah diselenggarakan kongres jurnalis Indonesia. Orang-orang yang datang sangat banyak, sehingga tempatnya tidak cukup. Panitia kongres menerima telegram dari Sekretaris Umum Hindia Belanda, atas nama gubernur jenderal, yang menyatakan merasa menyesal tidak bisa menghadiri kongres, tetapi mendoakan agar maksud kongres tersebut berhasil demi meningkatkan harkat derajat jurnalis Indonesia. Ada lagi kabar dari ketua Volksraad, Procureur Generaal, gubernur Jawa Tengah, beberapa bupati dan pengurus pusat perhimpunan-perhimpunan Indonesia yang menyesal tidak bisa hadir karena ada halangan.
Selanjutnya, penulis melaporkan kongres itu dipimpin oleh Saeroen (plaatsvervanger hoofdredacteur Siang Po). Sementara yang berpidato di antaranya Joenoes (hoofdredacteur Bahagia) tentang perusahaan koran, Bakrie Soeraatmadja (hoofdredacteur Sipatahoenan) tentang perhimpunan jurnalis, Parada Harahap (hoofdredacteur Bintang Timoer) tentang kaitan jurnalistik dengan ekonomi, dan Hadji Agoes Salim (Mustika) tentang keadaan pers bangsa Indonesia.
Kongres juga mengajukan mosi tentang pengawasan pers oleh pemerintah dan pembentukan asoasiasi jurnalis Indonesia. Yang terpilih menjadi ketuanya adalah Saeroen, sekretaris merangkap bendahara Parada Harahap dan para komisaris yang terdiri atas Bakrie Soeraatmadja, Joenoes dan Koesoemadiardjo (“Joernalistenkring [Indonesische] dina ieu congres diadegkeun, kalawan dipoersiteran koe djrg. Saeroen, Secretaris-Peningmeester djrg. Parada Harahap djeung commissarissen djrg. djrg. Bakrie Soeraatmadja, Joenoes djeung Koesoemadiardjo”). Redaksi Sipatahoenan memberi catatan bahwa laporan lengkap mengenai kongres tersebut akan disusulkan (“Verslag anoe leuwih tetela bakal disoesoelkeun”).
Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #28: Mohamad Ambri, Bapak Realisme dalam Sastra Sunda
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #29: Telegram Pers
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #30: Soeriadiradja, Redaktur di Batawi
Pidato Bakrie Soeraatmadja
Sebagaimana yang sudah dijanjikan, Sipatahoenan menurunkan laporan lengkap kongres jurnalis di Semarang sejak edisi 12 Agustus 1931 dengan tajuk “Verslag Journalistencongres di Semarang”. Pada edisi 13 hingga 15 Agustus 1931 dimuat secara bersambung pidato lengkap Bakrie Soeraatmadja. Di antaranya ia menyatakan bahwa jumlah jurnalis Indonesia semakin bertambah sebagai pertanda banyak yang menyukai profesi sebagai wartawan, mengingat pentingnya jurnalistik bagi peri kehidupan bumiputra (“Koe sarera oge kanjahoan, djoemblahna journalisten bangsa oerang teh beuki dieu beuki nambahan, hidji tanda jen bangsa oerang teh beuki loba bae anoe mikaresep kana ieu pagawean, babakoenan mah lantaran ngingetkeun kana kapentinganana journalistiek keur kamadjoean hiroep koemboeh, lantaran henteu saeutik pangaroehna soerat-soerat kabar dina hal ngoedag kamadjoean”).
Menurut Bakrie, kemajuan jurnalistik bisa menjadi tolok ukur kemajuan suatu negara. Dalam konteks Hindia Belanda, ia menyatakan bahwa banyak halangan yang menjadi kendala bagi majunya pers, antara lain berupa ancaman Wetboek van strafrecht dan meskipun pemerintah kolonial memberikan kelonggaran kepada pers melalui keputusan pemerintah No. 22 tanggal 22 Juli 1905 tapi para pejabatnya banyak yang tidak ingat pada kelonggaran tersebut. Intinya ada anggapan yang merendahkan pers bumiputra.
Dengan demikian, Bakrie menilai (Sipatahoenan, 14 Agustus 1931) bahwa “Anggapan anoe ngarendahkeun kana daradjatna journalisten bangsa oerang teh kakara bisa leungit lamoen oerang geus ngabogaan organisatie anoe koekoeh” (Anggapan yang merendahkan derajat jurnalis bangsa bumiputra baru akan hilang bila kita mempunyai organisasi yang kukuh).
Selain sambungan pidato Bakrie, pada edisi 14 Agustus 1931 dimuat pula mosi kongres di Semarang dengan tajuk “Indonesische Journalistenkring djeung ontwerp persordonanntie”). Isinya, seperti yang dinyatakan dalam berita singkat pada 11 Agustus 1931, adalah berupa mosi bagi “segala pihak pergerakan berorganisatie dengan djalan pers Indonesia”. Pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar mosi tersebut adalah uraian-uraian dalam kongres “tentang kesempitan peratoeran peratoeran hoekoem jang merintangi kemerdikaan soeara dalam pers” dan “antjaman jang lebih hebat jang dihadapi pers oemoem, istimewa pers Indonesia, dalam rentjana ordonanntie jang telah diandjoerkan oleh Pemerintah, kepada Volksraad dengan nama ‘Maatregelen tegen ongewenschte periodieke drukwerken’”.
Dalam mosi disebutkan aturan-aturan yang mengekang pers tersebut akan menghalangi kemajuannya, padahal pers “perloe mendjadi perlindoengan keamanan ramai dengan djalan memboeatkan pelbagai kedjahatan orang dan kenistaan keadaan, jang hanja dapat dilawan dan dihilangkan dengan publiciteit” dan “melahirkan kejakinan bahwa wadjiblah segenap pergerakan rakjat jang economie, jang sociaal, dan teroetama jang politiek membangoenkan gerakan besar dan melahirkan soeara djelas menjangkal dan merobah terdjadinja peratoeran ontwerp ordonanntie itoe”.
Dalam edisi 15 Agustus 1931 masih ada sambungan pidato Bakrie Soeraatmadja ditambah laporan Bapa Obing yang hadir juga dalam kongres (“Laladjo Congres Journalisten”). Sebagai tambahan informasi, Bapa Obing menyatakan bahwa penyelenggraan kongres jurnalis di Semarang itu berbarengan dengan dihelatnya Pasar Malem.
Tapi Bapa Obing lebih memilih hadir di Geong Luna Bioscoop karena seumur-umur, katanya, baru pertama kali mendengar adanya kongres para jurnalis. Terutama ia penasaran dan hendak berkenalan dengan Bung Bakrie Soeraatmadja yang mendukung kongres (“katoeroeg toeroeg hajang ningal kawas koemaha woedjoedna sareng dedeganana Boeng Bakri, pendekna mah hajang kenal, sapedah bedjana bade miloe ngarodjong kana eta congres, ari ka asmana mah sarerea asa moal aja noe bireuk ka djoeragan Bakri teh, komo koering mah noe saban powe kapanggih, ngan kana dinisna Boeng Bakri tatjan paham”).
Bapa Obing datang ke kongres sore hari. Ia menyimak pidato Bakrie Soeraatmadja yang konon sangat jelas dan dapat dipahami publik yang hadir. Di ujung pidato, hadirin bertepuk tangan hampir tak berhenti saking menariknya. Bahkan, Bapa Obing mendengar orang-orang yang masih membicarakan pidato tersebut setelah bubar kongres hari pertama (“Saboebarna tina congres di djalan kadenge pating ketjewis madjar ‘Kae wong Bandoeng Hoofdredacteur Sipatahoenan DJEMPOL’, atoeh koering teh beuki boengah bae jen djago koering koe oerang Samarangna kapimanah, komo ari kenalan kenalan koering mah make pilistiren sagala ka koering, djadi harita dianggepna koering teh djadi Boeng Bakri”).
Pada edisi-edisi selanjutnya hingga 22 Agustus 1931 masih dimuat secara bersambung pidato-pidato lengkap dari Parada Harahap, Bakrie Soeraatmadja (pidato yang kedua), dan Hadji Agoes Salim.