• Kolom
  • SISI LAIN SCHOEMAKER #12: Menjadi Mentor Sukarno

SISI LAIN SCHOEMAKER #12: Menjadi Mentor Sukarno

Wolff Schoemaker menjadi mentor Sukarno di Technische Hoogeschool (THS) Bandung. Hubungan keduanya renggang setelah Sukarno terjun ke dalam dunia politik.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Sukarno ketika menjalani studi di Tecnische Hoogeschool (THS) Bandung. ( Foto: Reproduksi dari buku Kuantar Kau ke Gerbang, Ramadhan K. H.)

12 September 2023


BandungBergerak.id – Tidak banyak sumber yang menggambarkan kedekatan Wolff Schoemaker dengan Sukarno secara detail. Di antara sederet buku mengenai kisah Sukarno dan Wolff Schoemaker, terdapat tiga buku yang dapat dijadikan rujukan penting, antara lain, Sukarno an Autobiography as Told to Cindy Adams (1965). Buku ini mendapat ulasan yang cukup banyak dan sudah diterjemahkan oleh Mayor Bar Abdul Bar Salim pada tahun 1966 menjadi Bung Karno Penyambung Lidah Rakjat Indonesia.

Selain itu, ada juga buku berjudul Soekarno: Nederlandsch onderdaan Een biografie 1901-1950 karya Lambert Giebels (1999) yang telah diterjemahkan menjadi Sukarno: Biografi 1901-1950 tahun 2001. Lalu, Tropical Modernity: Life and Work of C.P. Wolff Schoemaker karya C. J. van Dullemen (2010) dengan versi bahasa Indonesia Arsitektur Tropis Modern: Karya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker (2018). Meski ketiga buku tersebut hanya menampilkan percikan kisah Sukarno bersama Wolff Schoemaker, tetapi di dalamnya ada beberapa bagian penting berupa relasi seorang guru dan murid sewaktu Sukarno menjalani studi di Technische Hoogeschool (THS) Bandung.

Memang, selain ketiga buku tersebut, masih ada buku lainnya yang menyebut Wolff Schoemaker sebagai guru sah Sukarno. Seperti pada roman Kuantar Kau ke Gerbang, karya Ramadhan K. H. Di situ hanya disebutkan bahwa Sukarno telah mewujudkan suatu pekerjaan dalam bidang bangunan karena menghormati gurunya, C. P. Wolff Schoemaker. Sisanya banyak mengisahkan sepak terjang Sukarno dalam dunia pergerakan berdasarkan cerita yang dituturkan Inggit Garnasih kepada Ramadhan K. H.

Baca Juga: SISI LAIN SCHOEMAKER #9: Berdebat dengan IEV
SISI LAIN SCHOEMAKER #10: Tentang Urusan Tanah
SISI LAIN SCHOEMAKER #11: Menjadi Anggota Nederlandsch Instituut van Architecten

Bertemu Wolff Schoemaker

Pada tahun 1921, Sukarno memulai kuliah perdananya di THS Bandung. Seraya menjalankan studi di situ, ia pun berkiprah membantu sesama aktivis pergerakan di Bandung dan juga menggarap proyek arsitektur yang berhubungan dengan tugas studinya. Tentu saja, Sukarno bertemu dengan Wolff Schoemaker yang menjadi pengajar untuk mata kuliah arsitektur dan bangunan kota. Di mata Schoemaker, sosok Sukarno ialah orang yang cerdas. Keterampilan Sukarno kerap dipuji oleh Schoemaker, terutama kemampuannya sebagai seorang arsitek. Schoemaker menganggap Sukarno sebagai mahasiswanya yang paling pandai (Giebels, 2001: 52, Kwantes, 1987: 300). Begitu pun bagi Sukarno, Wolff Schoemaker bukan sekadar seorang pengajar pada mata kuliah arstitektur di Technische Hoogeschool Bandung, tetapi juga telah menuntunnya pada seni dan pemahaman untuk tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan warna kulit.

Lewat penuturannya kepada Cindy Adams, Sukarno menyebut Schoemaker sebagai mahaguru sekaligus tokoh yang besar. Menurutnya, Schoemaker tidak mempersoalkan warna kulit atau perbedaan kebangsaan, tidak juga mempersoalkan keterkungkungan atau kebebasan. Yang jelas, menurut Sukarno, Schoemaker hanya menghormati seseorang yang mempunyai kemampuan, seperti penilaiannya terhadap kepandaian yang dimiliki Sukarno. Dari kemampuan Sukarno itu, Schoemaker mengajaknya untuk bekerja dalam proyek yang berasal dari Pemerintah Hindia Belanda, terutama selepas Sukarno lulus dari THS Bandung. Kendatipun, Sukarno menolak ajakan mentornya itu dengan salah satu pertimbangan bahwa ia tidak mau dipimpin oleh orang Belanda yang tidak tahu kondisi bangsa Bumiputera.

"Sungguh aku keberatan, ia menyerahkanku kepada Direktur Pekerjaan Umum yang memintaku untuk merencanakan suatu proyek perumahan Bupati. Insinyur kepalanya tentu seorang Belanda yang tidak mengenal sama sekali kehidupan orang Indonesia dan kebutuhannya...oleh karenanya aku tidak menghendaki pekerjaan ini" ucap Sukarno sebagaimana ditulis dalam Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat.

Tawaran Schoemaker terhadap Sukarno bukan kali itu saja. Sebelumnya, Schoemaker sempat menawarkan Sukarno untuk menjadi asisten mengajarnya. Sebagai mahasiswa yang baru saja lulus, Sukarno tentu berharap ada aktivitas yang dapat menghasilkan uang. Apalagi, kala itu ia sudah menikah dengan Inggit Garnasih. Tetapi, dalam pikiran Sukarno, tawaran yang diajukan Wolff Schoemaker untuk menjadi asisten dosen tidak akan menghasilkan uang, sekalipun kegiatan tersebut dianggapnya sebagai pekerjaan yang prestisius. Maka, dengan pertimbangan itu, pada akhirnya, Sukarno menolak juga tawaran dari sang mentor (Giebels, 2001: 56). 

Tentang Seni Arsitektur

Kedekatan Sukarno dengan Wolff Schoemaker tentu tidak hanya digambarkan dalam kondisi demikian. Karena memiliki keterampilan memahat dan melukis, di rumahnya, Schoemaker mengajarkan Sukarno pada seni menggambar. Dari pelajaran tambahan itu, konon, Sukarno terus mengasah skill-nya dan dapat menghasilkan karya seni lukis yang indah dengan gaya Hindia Belanda (Giebels, 2001: 56).

Selain itu, tak jarang juga ada dialog antara Sukarno dengan Wolff Schoemaker ihwal kajian seni arsitektur. Dalam penelitian Thijn Weststeijn berjudul De Indische wortels van het Nederlandse modernism: Ideeen over oosterse spiritualiteit bepaalden  de intereese in Indische kunst (2008), misalnya, bahwa Schoemaker sempat berdiskusi dengan muridnya tentang seni arsitektur timur dan barat. Menurut Schoemaker seni arsitektur barat dan timur bisa saja didamaikan karena telah melewati gerbang yang sama. Namun, tampaknya Sukarno berbeda pandangan. Ia  melihat jika gaya tropis telah terkontaminasi oleh ideologi barat. Sehingga perlu untuk mencari tahu bentuk bangunan modern yang betul-betul melingkupi semua kawasan, tidak saja berakar dalam tradisi Eropa, tetapi juga seluruh wilayah di dunia.

Baik Giebels maupun Dullemen sepakat bahwa kedekatan Schomaker dengan Sukarno dicirikan oleh kesukaan yang hampir sama. Dullemen, misalnya, menyebutkan jika keduanya menaruh perhatian pada dunia seni dan perempuan yang dapat menumbuhkan ikatan yang bermanfaat (2018: 61). Begitu pun menurut Giebels, baik Schoemaker maupun Sukarno, keduanya sama-sama menyukai arsitektur, ilmu pahat dan perempuan cantik. Kendatipun dari segi umur, Schoemaker terpaut lebih tua dua puluh tahun dari Sukarno (Giebels, 2001: 56), namun hal itu tidak menjadikan keduanya berjarak dan saling berkomunkasi sangat baik.

Sayangnya, kedekatan antara sang mentor dengan muridnya itu kian menjauh selepas Sukarno tamat dari Tehnische Hoogeschool Bandung. Pilihan Sukarno untuk terjun dalam dunia politik telah menentukan kehidupan selanjutnya yang lebih rumit, termasuk merenggangnya hubungan dengan Schoemaker. Konon, hal ini dipicu lantaran Schoemaker menolak gagasan dan kegiatan Sukarno dalam dunia politik. Bahkan sebelum Sukarno diasingkan ke Ende pada tahun 1934, kedua tokoh itu pernah berdiskusi secara serius sampai Sukarno menuduh Schoemaker telah mengkhianati rakyat Bumiputera karena seolah-olah menolak untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara penuh (Dullemen, 2018: 61).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//