• HAM
  • Ranperpres PKUB tidak Berpihak pada Kerukunan Umat Beragama

Ranperpres PKUB tidak Berpihak pada Kerukunan Umat Beragama

Pemerintah merumuskan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Ranperpres PKUB). Banyak pasal bermasalah.

Mural bertema toleransi menghiasi dinding gang masuk Kampung Toleransi di Paledang, Kota Bandung. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Penulis Iman Herdiana16 September 2023


BandungBergerak.idPemerintah sedang merumuskan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Ranperpres PKUB) yang diharapkan bisa memperbaiki proses Pendirian Rumah Ibadat khususnya bagi warga minoritas. Selama ini regulasi Pendirian Rumah Ibadat belum bisa memberikan perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas keagamaan.

Namun, berdasarkan draf Ranperpres PKUB yang diterima oleh jaringan masyarakat sipil, peraturan tersebut masih memuat beberapa hal yang bisa menyulut konflik antarumat beragama dan mendiskriminasi kelompok minoritas. Ranperpres PKUB belum mampu menjamin hak beragama dan beribadah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Ranperpres PKUB ini dirumuskan pemerintah untuk menggantikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat (PBM).

Namun, berdasarkan draf Ranperpres PKUB yang diterima oleh jaringan masyarakat sipil, peraturan tersebut masih memuat beberapa hal yang bisa menyulut konflik antarumat beragama dan mendiskriminasi kelompok minoritas. Ranperpres PKUB belum mampu menjamin hak beragama dan beribadah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Contohnya, Ranperpres PKUB belum memasukkan unsur penghayat kepercayaan dalam keanggotaan Forum Kerukunan Umat Beragama. Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 telah memberikan afirmasi bagi Kepercayaan yang setara dengan Agama.

Ranperpres ini juga masih mempertahankan aturan pendirian rumah ibadah dengan format 90 pengguna dan 60 pendukung, ditambah syarat izin beribadah bagi yang tidak menggunakan rumah ibadah. Pengaturan ini jelas bertentangan dengan konstitusi dan akan menjadi pemicu konflik antarumat beragama.

Direktur PUSAD Paramadina Ihsan Ali-Fauzi memaparkan tujuh catatan yang perlu diperhatikan oleh publik dalam Ranperpres PKUB berdasarakan draf pembahasan terakhir pada 27 Juli 2023.

Ihsan mengatakan, sampai hari ini publik belum mengetahui apa basis atau alasan utama munculnya Ranperpres PKUB. Tidak ada basis data, kajian ilmiah atau naskah akademik yang mengevaluasi PBM Pendirian Rumah Ibadah.

Baca Juga: Data Jumlah Gereja dan Umat Kristen di Kabupaten Bandung 2000-2020: Anjlok dan Bolong-bolong
Jawa Barat Peringkat Dua dalam Catatan Pelanggaran Kebebasan Beragama
Beragama, Persimpangan antara Iman dan Penguasaan Diri

"Kenapa Presiden Jokowi ingin menggantikan PBM? Saya enggak tahu, mungkin juga pembahasannya tidak terbuka untuk publik," kata Ihsan, dalam siaran pers yang diterima BandungBergerak.id, Sabtu, 16 September 2023.

Ihsan berbicara dalam diskusi catatan kritis terhadap Ranperpres PKUB yang dihelat Koalisi Advokasi Keberagaman Yogyakarta bersama jaringan Mitra YKPI di wilayah Aceh dan NTT, Kamis, 14 September 2023.

Ranperpres PKUB, lanjut Ihsan, akan menghilangkan peran pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan untuk kerukunan umat beragama. Ihsan menilai ada upaya untuk menghilangkan semangat desentralisasi sebagaimana selama ini terfasilitasi dalam Peraturan Bersama Menteri Pendirian Rumah Ibadah.

"Kelemahan PBM 2006 itu tidak diperbaiki. Peran pemerintah daerah justru hilang dalam Ranperpres PKUB," kata dia.

Catatan Ihsan berikutnya, Ranperpres akan membentuk FKUB di tingkat nasional, yang sebelumnya tidak ada dalam PBM 2006. Ihsan menilai kebijakan itu akan menimbulkan masalah karena pada dasarnya orang-orang lokal adalah yang paling mengerti permasalahan di tempat mereka.

"Munculnya FKUB Nasional menunjukkan adanya upaya sentralisasi seperti masa Orde Baru. Pusat ingin cawe-cawe urusan daerah," ujar Ihsan.

Selanjutnya, muncul aturan tentang keterwakilan perempuan dalam keanggotan FKUB, yang sebelumnya tidak diatur di PBM Pendirian Rumah Ibadah. Ihsan mengapresiasi kebijakan tersebut sebagai langkah maju, tetapi masih perlu pertimbangan bahwa anggota FKUB harus diisi oleh orang-orang yang memiliki wawasan tentang kerukunan.

Revisi Pasal yang Berpotensi Menghalangi Pendirian Rumah Ibadat

Ranperpres PKUB juga menghapus kewenangan khusus FKUB untuk memberi rekomendasi tertulis permohonan pendirian rumah ibadah. Nantinya, FKUB lebih berperan dalam memitigasi dan mendukung resolusi konflik keagamaan yang berskala kabupaten/kota. Ihsan menilai ini keputusan yang baik, tetapi belum didukung dengan mekanisme yang jelas tentang insentif bagi anggota FKUB Kabupaten/kota.

Selain itu, syarat pendirian rumah ibadat di Ranperpres masih menggunakan format 90:60. Aturan ini bermasalah dan problematik karena menghambat pendirian rumah ibadah. Namun, ada contoh baik di beberapa daerah yang tetap bisa mendirikan rumah ibadah walaupun tidak memenuhi aturan 90:60. Seperti yang terjadi di Kupang yang menggunakan fungsi musyawarah mufakat.

Shinta Maharani dari AJI Indonesia mengatakan persoalan pendirian rumah ibadah akan terus disorot oleh media massa. Sudah banyak berita yang menyorot masalah pembangunan rumha ibadah di Aceh Singkil, Yogyakarta, Jawa Barat, Riau dan daerah-daerah lainnya.

"Laporan terakhir dari Majalah Tempo menunjukkan bahwa munculnya Ranperpres PKUB ini tidak lepas dari peran Wapres Ma'ruf Amin, termasuk soal masih adanya aturan 90:60," kata Shinta.

Dengan berbagai catatan kritis di atas, Koalisi Advokasi Keberagaman Yogyakarta meminta pemerintah untuk memperhatikan kembali Ranperpres PKUB dan merevisi beberapa pasal yang berpotensi menghalangi pembangunan rumah ibadah. Pemerintah harus berani menghapus format 90;60 yang sering mengganjal proses pembangunan rumah ibadah.

Koalisi Advokasi Keberagaman Yogyakarta terdiri dari beberapa lembaga masyarakat sipil, seperti LBH Yogyakarta, LKiS, Jaringan Gusdurian, Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC), dan AJI Yogyakarta.

Catatan Toleransi Jawa Barat

Pendirian rumah ibadat erat kaitannya dengan toleransi di masyarakat. Bagaimana situasi toleransi di Jawa Barat? Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebelumnya melakukan survei terkait Kekerasan Ekstrem, Toleransi dalam Kehidupan Beragama di Jawa Barat.

Ketua peneliti LSI Rizka Halida mengatakan, hasil survei menunjukkan mayoritas masyarakat Jabar menolak kekerasan ekstrem, namun juga masih ada kelompok masyarakat yang mendukung kekerasan ekstrem, seperti ingin ikut berperang atas nama agama ke negara-negara konflik.

Rizka juga menyebutkan, dari hasil survei berdasarkan kelompok umur, kebanyakan responden yang setuju kekerasan ekstrem dengan alasan membela agama berasal dari kalangan kelompok umur remaja. Sedangkan kelompok umur dewasa dan lebih tua lagi tidak setuju.

"Data dari kalangan remaja yang setuju kekerasan ekstrem atas nama agama bisa mencapai 45 persen, makanya perlu dijadikan catatan penting dan perhatian terutama dari pemerintah, bahwa potensinya ada," ujar Rizka.

Sementara itu, Setara Institute juga pernah melakukan survei dengan hasil mencemaskan, bahwa praktik intoleransi remaja berbasis sekolah menengah atas semakin meningkat. Setara Institute melakukan survei di lima kota terpilih pada Januari-Februari 2023, jumlah pelajar intoleran aktif di sekolah tingkat menengah atas (SMA).

Metode pengumpulan data survei toleransi tingkat SMA dilakukan di dua kota di Jawa Barat, yakni Bandung dan Bogor, kemudian di Surabaya, Surakarta, dan Padang. Metode purposive sampling digunakan untuk menentukan sekolah-sekolah yang dituju. Jumlah sampel yang sebanyak sebanyak 947 dengan margin of error 3,3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Penelitian ini diselenggarakan pada Januari-Maret 2023.

* Simak tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, atau tulisan-tulisan lain tentang Kerukunan Umat Beragama

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//