• Opini
  • Beragama, Persimpangan antara Iman dan Penguasaan Diri

Beragama, Persimpangan antara Iman dan Penguasaan Diri

Sampai saat ini, sejumlah tokoh banyak memperdebatkan berbagai teori tentang bagaimana konstruksi kesadaran akan pengalaman religius eksis.

Benediktus Hasiholan Gultom

Mahasiswa Filsafat Budaya Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Kendaraan pemudik maupun komuter terjebak macet dampak dari aktivitas di pos penyekatan larangan mudik di Cibiru, Bandung, 7 Mei 2021. Mudik disebut-sebut memiliki pengalaman religi karena ada silaturahmi ke kampung halaman dan orangtua. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

30 Agustus 2022


BandungBergerak.id“Emosi terindah yang dapat kita alami adalah yang mistikal. Ini merupakan inti dari semua seni dan sains. Orang yang tidak memiliki emosi ini, yang tidak bisa lagi bertanya-tanya serta tertegun kagum, sama saja sudah mati,” kata Albert Einstein, fisikawan.

Dalam suatu refleksi panjang mengenai pengalaman religius manusia, terciptalah suatu pertanyaan mengenai: ‘apakah pengalaman religius berasal dari Tuhan, ataukah pengalaman itu merupakan sekadar hasil proyeksi otak dalam suatu kinerja neuron?

Beberapa tokoh dan studi kepustakaan telah banyak berdebat memperdebatkan berbagai teori yang berusaha memenangkan argumen mutlak tentang bagaimana konstruksi kesadaran akan pengalaman religius terbangun dan eksis. Namun hal ini, nampaknya tak banyak disadari bahwa pengalaman religius, ungkapan iman dan keyakinan selalu bersama kita setiap harinya dan menyadari kita sebagai makhluk yang berakal budi. Jadi, dalam hal ini, sebetulnya Tuhan yang menciptakan otak, ataukah otak yang menciptakan Tuhan? Hal ini nampaknya merupakan konsekuensi problematis bagi manusia yang beriman dan berakal budi.

Sama seperti pengalaman P3M (Pendidikan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) yang memberikan saya pertanyaan reflektif atas adanya tindakan pemerasan dari satu pihak ke pihak lain dengan dalih toleransi dan kerukunan umat beragama. Adanya tindakan memeras ini sama seperti manusia menciptakan konsep Tuhan bagi dirinya sendiri. Superioritas tidak dimaknai sebagai suatu kekuatan namun dipakai sebagai senjata penindas bagi minoritas.

Dalam hal ini, pertanyaan problematis yang berangkat dari pertanyaan sebelumnya ialah apakah Tuhan sendiri salah dalam memperkenalkan ajarannya melalui perantaraan para nabi dan para tokoh dalam agama sehingga memunculkan misspersepsi atau kesalahpahaman dalam interpretasi nilai-nilai yang diturunkan?

Manusia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Ia memiliki kemampuan untuk berkehendak yang di mana salah satunya ialah menghendaki apa yang ia suka bahkan memilih apa yang dikehendakinya. Objek atau arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut tujuan, juga bisa disebut sebagai orientasi.

Namun terkadang kata orientasi sendiri cenderung lebih tepat apabila menempatkannya pada wilayah sentral atau “pijakan” hidup manusia. Hal ini senantiasa adalah suatu kebaikan. Kebaikan ini tentu berupa kebaikan moral di mana kebaikan yang baik bagi manusia adalah sebagai “ada” yang bebas, kemudian kebaikan semu adalah kejahatan untuk manusia kalau ia dipandang dalam keseluruhan. Kejahatan itu tampak sebagai kebaikan untuk suatu tendensi yang lebih rendah, misalnya suatu obat penenang, atau katakanlah ekstasi yang rasanya memberikan efek menenangkan adalah suatu kenikmatan fisik yang salah apabila kita salah menggunakan atau tidak pada kadar dan situasinya. Hal ini memang berkaitan dengan wilayah moral dalam dunia medis. Namun, apabila manusia mengikuti kebodohannya, kehendaknya cenderung mengarah kepada hal-hal yang secara objektif buruk, begitu juga sebaliknya. 

Segala tindakan manusia atau self-control (penguasaan diri) adalah salah satu perwujudan dari kehendak. Dalam hal ini, biasanya kita menyadari akan sebuah kenyataan bahwa dalam diri kita terdapat suatu kecenderungan untuk “menguasai” daripada kecenderungan-kecenderungan yang lain. Berangkat dari teori dan gagasan serta banyaknya argumen para Freudian, bahwa penguasaan diri itu bisa saja diterangkan melalui super-ego manusia. Super-ego itu hanyalah hasil dari kecenderungan-kecenderungan alami atau naluri serta tekanan-tekanan sosial dan sama sekali tidak melibatkan pengaruh kehendak atau kebebasan memilih yang sebenarnya.

Harus diakui bahwa terdapat banyak persoalan di mana hanya ada moralitas yang sifatnya semu yang justru mengarah kepada Super-ego. Manusia tahu betul membedakan antara mana moralitas yang sifatnya semu dan mana moralitas yang asli dan sadar. Pengaruh dari Super-ego itu sulit atau bahkan tidak bisa disangkal. Namun, harus diakui juga bahwa pengaruh-pengaruh tersebut seratus persen normal terutama pada masa kanak-kanak, sebagai tahap pertama ke arah suatu moralitas yang autentik, meskipun tampaknya agak sama sekali berbeda pembahasan dan arahnya.

Baca Juga: Menilik Posisi Agama di Abad ke-21 |
Jawa Barat Terus Bergelut dengan Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Membedah Hubungan Pancasila dan Agama

Manusia dan Kebebasan

Secara umum, kata “kebebasan” berarti “ketiadaan paksaan”. Kita bisa melihat suatu kebebasan melalui apa itu rasanya ketika menjalani sesuatu tanpa adanya rasa paksaan. Kebebasan moral misalnya, adalah ketiadaan paksaan secara moral hukum atau kewajiban yang dipaksakan dalam lingkup yang besar, misalnya tidak ada paksaan, hukum atau misalnya keharusan apa pun bagi seorang untuk berdoa setiap hari.

Kebebasan yang ada dalam ranah psikologis atau kebebasan sebagai suatu pilihan adalah ketiadaan paksaan yang bersifat psikologis. Suatu paksaan dari aspek psikologis biasanya berupa kecenderungan-kecenderungan yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu atau sebaliknya yang membuatnya tidak mungkin untuk melakukan beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seekor kelinci dipaksa oleh instingnya yang memberikan sinyal bahaya dan tekanan yang menghasilkan ketakutan untuk melarikan diri, kelinci tersebut dipaksa melakukan hal tersebut oleh instingnya yang memberikan sinyal berupa ketakutan.

Hal itu serupa dengan bagaimana kekuatan kita sebagai manusia untuk melindungi diri dan mencari jalan atau alternatif suatu masalah yang tidak lain adalah bagian dari keharusan moral. Terkadang manusia dipaksa berbuat demikian karena pengaruh segala sesuatu atau katakanlah fenomena yang menekan kecenderungan-kecenderungan mereka. Secara psikologis tentunya mereka tidak bebas. Namun sebaliknya, katakanlah saat manusia yang lapar dan tidak ada makanan yang bisa ia makan namun dapat menahan diri untuk tidak makan, atau seorang prajurit yang ditakutkan oleh bom-bom mempunyai kesanggupan untuk tetap berada di posnya. Manusia secara psikologi bebas. 

Kebebasan psikologi disebut juga kebebasan untuk memilih, karena kebebasan itulah yang memungkinkan si subjek untuk memilih antara berbagai tindakan. Orang menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak yang dapat berbuat atau tidak berbuat, kebebasan berbuat dengan cara begini atau cara begitu. Setiap kali membicarakan kehendak manusia, kebebasan psikologis itulah yang dimaksudkan.

Dapat dikatakan bahwa kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk melakukan apa yang diingininya. Mungkin dapat kita bedakan melalui binatang. Binatang-binatang dapat berbuat apa pun menurut kemauan mereka, namun bukan karena kemampuan mereka untuk memutuskan dan menentukan apa yang ingin mereka perbuat, melainkan sifat alaminya dan lingkungan merekalah yang memutuskan atau menentukan perbuatan mereka.

Sebaliknya manusia tidak hanya berbuat apa yang diinginkannya, tetapi juga memutuskan apa yang ingin diperbuatnya. Apa yang ingin diperbuatnya tergantung padanya dan ia tidak dikendalikan oleh suatu paksaan. Hal ini bisa kita soroti melalui tiga tahap menuju satu proses dasar ontologis dari kebebasan dan suatu keberlanjutan atau kontinuitas yang sekiranya bersifat dinamis.

Pertama, biasanya mulai dari mempertanyakan: kebaikan manakah yang akan dapat memenuhi secara total kedirian manusia? Semua orang mungkin akan setuju untuk menjawab bahwa satu-satunya hal yang baik dapat memuaskan adalah yang baik, kebaikan yang secara penuh atau total, sempurna dan tak terbatas. Itulah yang merupakan cita-cita manusia, mengapa? Karena dinamisme kehendak merupakan suatu kemampuan dari roh yang ciri khasnya adalah dipimpin atau diterangi oleh inteligensi. Inteligensi atau kemampuan berpikir itu terbuka atas keseluruhan yang ada, ada yang tak terbatas. Oleh sebab itu objek kehendak akan mempunyai suatu perluasan yang tak kalah dengan keterbukaan intelegensi, karena kedua kemampuan itu terikat dengan erat satu sama lain.

Kedua, “kebahagiaan yang sempurna tidak terdapat di bumi ini”. Karena dalam dunia ini, manusia hanya menemukan berbagai kebaikan yang dirasa-rasa selalu kurang. Hal-hal yang baik adalah yang sifatnya tak terbatas jumlahnya atau tidak bisa dihitung.

Ketiga, tidak ada satu pun kebaikan terbatas yang dapat memaksa manusia untuk mengikutinya. Oleh karenanya, sejauh keadaan-keadaan tidak mengganggu aktivitas normal dari kemampuan-kemampuannya, maka manusia akan bebas terhadap setiap kebaikan yang terbatas. Dengan kata lain, kita bebas menghendaki atau tidak menghendaki kebaikan konkret, namun dapat dikatakan: “ini adalah sesuatu yang baik, tetapi tidak baik secara sempurna”.

Demikianlah bagaimana agama bekerja. Semua agama mengajarkan kebaikan. Seolah-olah proses memanusiakan dalam proses agama atau beragama merupakan proses humanisasi. Namun pada kenyataannya, proses humanisasi terkadang malah jatuh ke dalam proses dehumanisasi. Artinya, ada kebaikan yang sifatnya lebih tinggi, lebih sempurna dalam agama dari pada hanya sekadar mengatas namakan kebaikan dengan membawa agama.

Rasio atau kemampuan intelektual dan intelegensi sangat berperan dalam hal ini. Menentukan setiap tindakan yang akhirnya menghasilkan rasionalitas terhadap tindakan beragama. sehingga bermuara pada kesimpulan bahwa kebebasan yang menentukan dibimbing oleh berbagai aspek, di antaranya rasio dan iman yang berjalan beriringan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//