• Berita
  • DULU DIUNGGULKAN, SEKARANG DITINGGALKAN: Lagu Murung Proyek Mangkrak Mesin Parkir Elektronik Bandung

DULU DIUNGGULKAN, SEKARANG DITINGGALKAN: Lagu Murung Proyek Mangkrak Mesin Parkir Elektronik Bandung

Mesin parkir elektronik di Kota Bandung yang dulu dibanggakan kini dianggap gagal dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari parkir.

Mesin parkir di Jalan Braga, Bandung, 20 September 2023. Kota Bandung memiliki 455 mesin parkir. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana25 September 2023


BandungBergerak.id – Kinerja mesin parkir elektronik di Kota Bandung tidak efektif dalam mendulang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal mesin parkir ini sudah beroperasi di beberapa titik sejak 2017. Warga maupun tukang parkir lebih nyaman dengan sistem parkir manual alias karcis. Beberapa mesin parkir yang digadang-gadang sebagai petanda Bandung Smart City ini mati.

Davi (31 tahun), warga Bandung yang ditemui di Jalan Burangrang, mengaku lebih nyaman parkir dengan sistem karcis daripada memakai mesin parkir elektronik. Menurutnya, jangan samakan kemudahan pembayaran parkir dengan di tol.

Membayar tol tinggal menempelkan kartu e-money di pintu tol tanpa harus turun dari mobil. Berbeda dengan mesin parkir elektronik yang menuntut orang harus berjalan kaki untuk menempelkan kartu e-moneynya. Jika parkir di satu titik sementara mesin parkir ada di titik lain maka ia harus berjalan menuju titik tempat mesin parkir tersebut.

“Menurut saya kembali ke karcis. Kalau pakai e-money ribet, belum lagi harus top up dulu,” kata Davi, Jumat, 22 September 2023. 

Hal serupa disampaikan warga Bandung lainnya, Andika (26 tahun). Ia mengaku pernah mencoba beberapa kali menggunakan e-money untuk membayar parkir di mesin parkir elektronik. Operasionalnya cukup mudah, namun akan terasa repot karena saldo di kartu e-moneynya habis.

“Mending pakai karcis. Kalau ga ada saldo (e-money) jadi ribet. Lebih simpel pakai karcis,” kata Andika.

Keterangan serupa juga didapatkan dari tukang parkir di Jalan Braga. Kebanyakan konsumen tidak mau repot-repot memakai e-money dan lebih memilih pembayaran parkir secara manual. Untuk menjembatani masalah ini, petugas parkir dibekali kartu e-money. Konsumen yang membayar manual akan diterima oleh juru parkir, selanjutnya juru parkir akan memasukkan saldo e-money yang ada di kartunya ke mesin parkir. 

Ketidakpraktisan mesin parkir elektronik membuat teknologi yang sempat menjadi kebanggaan Kota Bandung ini tidak sedikit yang menganggur alias tidak berfungsi. Ciri-ciri mesin parkir elektronik yang menyala adalah ada indikator pada bagian layar. Pantauan BandungBergerak.id, beberapa mesin parkir yang lampu indikatornya mati terlihat di Jalan Lodaya, Jalan Talaga Bodas, Jalan Buarangrang, dan Jalan Palasari dekat Taman Malabar. 

Rino (58 tahun), juru parkir di Jalan Lodaya, tidak mengetahui sejak kapan mesin parkir di wilayahnya mati. Yang jelas, selama bertugas ia melayani parkir seacara manual sesuai permintaan masyarakat pengguna parkir.

Warga kebanyakan bayar kontan. Ga mau ribet. Mesinnya juga paeh (mati),” kata Reno, seraya menunjuk ke mesin parkir persegi panjang berwarna oranye tersebut.

Reno kemudian menunjukkan cara kerja mesin ini. Jika mesinnya menyala, konsumen tinggal menempelkan kartu di tubuh mesin. Setelah itu, konsumen harus memilih tombol mobil atau motor, masukan nomor pelat kendaraan, dan menekan tombol pembayaran.

Di samping mesin parkir terdapat plang bertuliskan tarif parkir untuk berbagai jenis kendaraan. Untuk mobil ditarif 4.000 rupiah pada jam pertama, didambah 4.000 rupiah pada jam berikutnya. Untuk motor ditarif 2.000 rupiah pada jam pertama dan ditambah 2.000 rupiah pada jam berikutnya.

Namun karena mesin parkir tersebut mati, baik mobil maupun motor kebanyakan membayar parkir 2.000 rupiah saja. Menurut Reno, mesin parkir tersebut tidak dirancang secara otomatis untuk menghitung durasi parkir. Konsumen yang parkirnya lebih dari satu jam, maka ia harus menekan tombol pembayaran selama dua kali.

Masalahnya, konsumen yang dipandu juru parkir untuk melakukan pembayaran dengan emoney suka mempertanyakan mengapa harus menekan tombol pembayaran sampai dua kali. Padahal hal ini dilakukan karena konsumen tersebut telah parkir lebih dari satu jam.

“Jadi akhirnya banyak yang hanya bayar 2.000 (rupiah) meski parkirnya berjam-jam. Baik mobil maupun motor,” ucap Reno yang sudah satu tahun menjadi juru parkir.

Ia menyarankan sebaiknya pembayaran parkir dikembalikan lagi dengan cara karcis. Pencatatan satu jam pertama dengan karcis pun dianggap lebih mudah.

Warga melintas di depan mesin parkir elektronik yang mati, Jalan Lodaya, Bandung, Jumat, 22 September 2023. (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)
Warga melintas di depan mesin parkir elektronik yang mati, Jalan Lodaya, Bandung, Jumat, 22 September 2023. (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Kontroversial Sejak Awal 

DPRD Kota Bandung mengeluhkan kinerja mesin parkir elektronik yang tadinya untuk menjaring kehilangan potensi pendapatan (potential loss) di bidang parkir. Mesin parkir elektronik dianggap tidak optimal.

Sorotan terhadap mesin parkir elektronik ini terjadi dalam rapat Pansus 1 (LKPJ) DPRD Kota Bandung bersama Dinas Perhubungan, Senin, 11 April 2022. Rapat ini memang terjadi tahun lalu, namun kinerja mesin parkir elektronik yang dipermasalahkan ini sudah beroperasi sejak 2017 yang diresmikan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Jika ditarik pada tahun sekarang, mesin parkir elektronik sudah beroperasi pada tahun ketujuh. Dan selama tujuh tahun itulah pendapatan dari mesin parkir terus dipertanyakan.

Menurut anggota Pansus 1 Rizal Khairul pemanfaatan mesin parkir elektronik tidak ada peningkatan. Padahal hal tersebut menjadi salah satu hal yang masuk dalam rekomendasi LKPJ Tahun 2020.

"Sejauh ini, kami juga belum mendapatkan laporan terkait kendala apa yang sebenarnya terjadi dari upaya optimalisasi pemanfaatan mesin parkir elektronik ini. Bahkan, dari target yang tidak tercapai ini, berapa banyak mesin yang masih beroperasi dan berapa yang rusak, juga di mana saja titiknya, dan apa alasannya, ini yang belum terjawab hingga saat ini," ujar Rizal Khairul, diakses dari laman resmi Jumat, 22 September 2023. 

Bukan satu dua kali saja dewan menyoroti rendahnya PAD Kota Bandung dari parkir. Pada Rapat Paripurna 2019, wakil rakyat juga mempersoalkan rendahnya realisasi retribusi parkir dibandingkan target yang ditetapkan. Penyebabnya karena belum optimalnya penggunaan mesin parkir di tepi jalan umum dan terbatasnya tenaga pengawas lapangan terhadap penggunaan mesin parkir.

Bahkan anggota komisi B DPRD Kota Bandung Aan Andi menilai mesin parkir elektronik sebagai bentuk pemborosan anggaran (APBD). Sebab, sejak diterapkannya penggunaan mesin tersebut tidak memiliki manfaat berarti. Dia menyebutkan, selama ini pendapatan restribusi parkir tidak maksimal (Jurnal Ilmu Politik Vol.2 No.1 yang ditulis Diki Suherman (2020)).

Kendati demikian, Pemkot melalui UPT Parkir Dishub Kota Bandung mengklaim pendapatan dari parkir selalu naik setiap tahunnya. Dalam siaran pers 29 Mei 2022, disebutkan kehadiran mesin parkir mendongkrak pendapatan daerah hingga 3,39 miliar rupiah. Dalam dua tahun terakhir, mesin parkir elektronik menyumbang pendapatan daerah masing-masing 3,39 miliar rupiah pada tahun 2020 dan 2,6 miliar rupiah pada 2021.

“Jumlah itu belum seberapa dibanding pendapatan sebelum masuknya pandemi Covid-19. Pada 2018, mesin parkir elektronik pernah mencatatkan angka pendapatan hingga 10 miliar (rupiah),” demikian klaim Pemkot Bandung

Namun Pemkot tidak merinci data target dan potensi parkir Kota Bandung. Adapun dalam Jurnal Ilmu Politik Vol.2 No.1 yang ditulis Diki Suherman, Aan Andi membeberkan target PAD Kota Bandung dari parkir adalah 135 miliar rupiah dalam setahun, tetapi hanya tercapai 6 miliar rupiah saja. Kondisi ini tidak ada bedanya sebelum ada mesin parkir.

Aan mengungkapkan, proyek mesin parkir elektronik telah menelan anggaran pemerintah hingga 80 miliar rupiah dengan pengadaan berdasarkan e-katalog dengan merek Cale dengan harga 125 juta rupiah per unit. Keterangan dari Aan Andi juga masuk dalam kliping jabar.bpk.go.id.

Jika mengacu pada data yang disampaikan Aan, maka pendapatan dari parkir elektronik pada tahun 2020 belum menutup biaya pengadaan mesin parkir sendiri.

Namun data dari dewan berbeda dengan yang disampaikan Pemkot Bandung. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung 2017 Didi Ruswandi menyebutkan, pengadaan untuk 445 unit mesin parkir elektronik di 58 ruas jalan dengan anggaran sebesar 55 miliar rupiah. Di tempat sebanyak itu, tercatat ada sekitar 700 juru parkir yang harus bertransformasi dari menarik uang parkir manual menjadi nontunai (cashless)

Warga melintas di trotoar tempat sebuah mesin parkir yang tidak berfungsi di Jalan Oto Iskandar di Nata, Kota Bandung, Jumat (23/12/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Warga melintas di trotoar tempat sebuah mesin parkir yang tidak berfungsi di Jalan Oto Iskandar di Nata, Kota Bandung, Jumat (23/12/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Mesin Parkir Elektronik di Bandung: Nisan di Kuburan Smart City
Menelisik Kegagalan Penerapan Parkir Elektronik di Kota Bandung
Masalah Parkir Kota Bandung, TPE yang Belum BEP

Meleset dari Target Sosialisasi

Penerapan mesin parkir elektronik diresmikan langsung oleh Wali Kota Bandung M. Ridwan Kamil di Jalan Braga Pendek, Jumat, 4 Agustus 2017. Tujuan penggunaan mesin parkir elektronik, kata Ridwan Kamil, untuk meningkatkan pendapatan retribusi parkir. Selama ini, pendapatan dari parkir tidak sesuai dengan potensi yang ada. Ada banyak uang parkir yang tidak masuk ke kas negara.

Meskipun demikian, Ridwan tidak menampik bahwa program ini membutuhkan waktu agar sesuai dengan ekspektasi. Sosialisasi kepada masyarakat adalah pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh Dinas Perhubungan.

"Ini kan hal baru di mana membayar parkir yang biasa manual menjadi elektronik. Pastilah butuh waktu dari masyarakat yang puluhan tahun terbiasa bayar parkir ngambil uang kemudian bayar ke manusia ke tukang parkir tiba-tiba harus berubah meluangkan waktu," tutur Ridwan Kamil usai peresmian mesin parkir elektronik. 

Ridwan menyebutkan setidaknya butuh 1,5 tahun agar program ini bisa dikatakan sukses dijalankan.

"Jadi kalau ada yang bilang belum apa apa sudah gagal, baru juga mulai. Kadang-kadang orang tidak sabar. Nanti dievaluasi setelah satu tahun, apakah pendapatan naik seperti tujuan kita harapannya begitu, harapannya semua lancar," imbuh Ridwan Kamil.

Masalah-masalah yang muncul dengan penerapan mesin parkir elektronik pada tahun pertama meliputi: pengguna parkir enggan memanfaatkan mesin parkir karena belum punya kartu uang elektronik (e-money), karena pembayaran mesin parkir menggunakan uang elektronik (nontunai). Masalah lain, pengguna parkir membayar tidak sesuai lama parkir. Misalnya, parkir tiga jam tetapi membayar hanya satu jam. Masalah berikutnya, perlu optimalisasi pengawasan dari juru parkir.

Setahun kemudian, persoalan serupa juga muncul. Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perparkiran Dinas Perhubungan Kota Bandung Nasrul Hasani mengungkapkan, kendala yang dihadapi adalah belum berubahnya pola pikir masyarakat agar segera beralih ke nontunai. Untuk itu, edukasi secara berkelanjutan akan terus dilakukan.

Kendala lainnya, ungkap Nasrul, para pengguna parkir belum memiliki uang elektronik (e-money). Sedangkan e-money sudah bisa diperoleh di bank-bank penyedia layanan uang elektronik dan minimarket terdekat.

"Biasanya kita minta mereka ke bank. Tetapi dalam rangka sosialisasi ini, kami gandeng pula bank-bank untuk membuka gerai dan menjual kartu uang elektronik," jelas Nasrul, dalam siaran pers tentang edukasi mesin parkir elektronik, Senin, 07 Mei 2018

Potensi kerugian juga masih tetap terjadi, salah satunya di kawasan ramai Jalan Braga yang mengalami kesenjangan signifikan antara potensi pendapatan dan kondisi riil. "Braga ini potensinya sangat besar, tapi ternyata masih banyak yang membayar tunai. Makanya saya jadikan sasaran pertama," terangnya.

Kini sudah lebih dari setahun setengah dari yang ditargetkan Ridwan Kamil, mesin parkir elektronik masih terus menjadi sorotan DPRD maupun publik. Riset paling mutakhir mengenai mesin parkir elektronik di Kota Bandung dilakukan dosen Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Tutik Rachmawati dan Kusuma Dwi Fitriyanti yang menyatakan penerapan parkir elektronik di Kota Bandung gagal mengoptimalkan pendapatan daerah.

E-government yang digadang-gadang pemerintah ternyata belum bisa menghadirkan layanan berbasis digital untuk warganya. Setidaknya terdapat empat faktor yang membuat parkir elektronik ini tidak bekerja efektif, yaitu adanya kesenjangan digital, rendahnya kualitas tenaga parkir, tidak adanya rencana strategis yang menjadi pijakan regulasi, dan tidak adanya mekanisme pemeliharaan mesin parkir (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 25 yang terbit 1 Juli 2021).

* Simak tulisan Iman Herdiana lainnya atau tulisan-tulisan menarik bandungbergrek.id tentang mesin parkir elektronik 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//