Masalah Kronis Layanan Kesehatan di Wilayah Terpencil dan Perbatasan Jawa Barat
Isu-isu kesehatan di sejumlah wilayah terpencil menjadi perhatian Unpar. Wilayah Cirebon menjadi potret ketimpangan di bidang kesehatan di Jawa Barat.
Penulis Iman Herdiana21 September 2023
BandungBergerak.id - Layanan kesehatan di Indonesia tidak merata. Tenaga dan fasilitas kesehatan lebih banyak menumpuk di perkotaan, sementara di kawasan terpencil maupun perbatasan serba kekurangan. Ketimpangan di bidang kesehatan ini terjadi pula di Jawa Barat.
Terkait isu-isu kesehatan ini, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, menandatangani Nota Kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) bersama Yayasan Dokter Peduli (doctorSHARE), Rabu, 6 September 2023). Salah satu hal yang disepakati bersama yaitu kolaborasi untuk mengentaskan isu-isu kesehatan terutama di sejumlah wilayah terpencil di Indonesia.
Rektor Unpar Tri Basuki menuturkan, kolaborasi bersama doctorSHARE menjadi bagian dari langkah Unpar yang kini tengah menyiapkan pendirian Fakultas Kedokteran.
“Saya kira doctorSHARE akan sangat membantu kami ke depannya. Mohon doanya agar lancar dan Fakultas Kedokteran ini akan menambah keluarga baru di Unpar,” tutur Rektor, dikutip dari laman Unpar.
Sementara itu Ketua Yayasan doctorSHARE Tutuk Utomo mengatakan, banyak hal yang tentu ke depannya bisa dikolaborasikan terkait pelayanan kesehatan dan bantuan kemanusiaan.
“Ini sebuah inisiatif baik untuk bisa mengajak sivitas akademika agar bisa melihat secara langsung dan bekerja sama mengentaskan isu-isu kesehatan terutama di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia pun mengajak Unpar untuk lebih jauh terlibat dalam pelayanan di Program Rumah Sakit Apung yang telah berlangsung sejak 2013 lalu untuk mengatasi kebutuhan masyarakat yang kekurangan akan fasilitas kesehatan di pulau-pulau terpencil di Indonesia.
“Ini sebuah privilege dan kami berharap semoga kerja sama ini bisa melahirkan inisiatif-inisiatif baru di sektor kesehatan yang bisa menjangkau masyarakat di wilayah terpencil Indonesia,” ujarnya.
Diketahui, hingga 2022 Pendamping Perawat Honorer dan Swasta (PPHS) DPW PPNI Jawa Barat mencatat jumlah honorer di fasyankes se-Jawa Barat lebih dari 17.000 orang, baik honorer nakes maupun nonnakes. Jumlah tersebut belum termasuk bidan.
Ketimpangan Pelayanan Kesehatan di Wilayah Perbatasan Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat termasuk sebagai daerah yang menghadapi ketimpangan di bidang kesehatan. Masalah ini terutama dihadapi daerah-daerah perbatasan, salah satunya Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon.
Cucu Herawati (dari Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKes Cirebon) dan Syaeful Bakhri (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon) dalam “Afiasi: Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 4, No. 1, April 2019” menyatakan, Kabupaten Cirebon berbatasan dengan Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah dan daerah lain di Jawa Barat.
Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM) Kabupaten dan Kota Cirebon berdasarkan data BPS 2014 ditemukan indikasi adanya ketimpangan. IPM Kabupaten Cirebon hanya sebesar 66 persen sementara Kota Cirebon sudah memiliki IPM 73,3 persen. Pada tahun 2015 IPM Kabupaten Cirebon mengalami peningkatan menjadi 66,7 persen, namun Kota Cirebon juga mengalami peningkatan pada tahun 2015 mencapai angka IPM sebesar 73,7 persen.
“Banyak hal yang menjadi faktor dalam mempengaruhi belum meratanya pembangunan, di antaranya kurangnya partisipasi masyarakat, pola perencanaan pembangunan mengartikan makna partisipasi sebagai bentuk dukungan rakyat terhadap satuan rencana pembangunan yang sebelumnya telah dirancang, kurangnya sumber daya manusia,” terang Cucu Herawati dan Syaeful Bakhri, diakses pada jurnal berjudul “Ketimpangan Pelayanan Kesehatan Dasar dan Ekonomi di Wilayah Perbatasan”, Rabu, 21 September 2021.
Sarana pelayanan kesehatan pemerintah di Kabupaten Cirebon pada tahun 2014 terdiri dari Puskesmas 57 unit, dengan rincian delapan puskesmas dengan tempat perawatan (DTP) dan 49 tanpa perawatan. Memiliki jejaring Puskesmas pembantu sebanyak 69 unit yang tersebar di 40 kecamatan. Selain Puskesmas, ada dua rumah sakit, rumah sakit umum milik daerah, dan satu Rumah Sakit Khusus Paru milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Puskesmas yang merupakan ujung tombak dalam pemberian pelayanan kesehatan diupayakan dapat menjangkau masyarakat di semua wilayah dengan berbagai kondisi. Rasio Puskesmas terhadap penduduk 1 berbanding 40.289, artinya setiap 40.289 penduduk terdapat 1 puskesmas.
Baca Juga: Rendahnya Kualitas Ruang Publik Kota Bandung Berpengaruh Buruk pada Kesehatan Masyarakat
Kesehatan Mental di Indonesia belum Mendapat Perhatian
Data Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit Kota Bandung
“Rasio puskesmas terhadap penduduk yang ideal adalah 1 banding 25.000 sampai dengan 30.000,” tulis Cucu Herawati dan Syaeful Bakhri.
Tidak meratanya fasilitas kesehatan di wilayah Cirebon dapat dilihat dari dari penggunaan sarana pelayanan kesehatan milik Kota Cirebon yang banyak digunakan oleh masyarakat Kabupaten Cirebon di kawasan perbatasan. Contohnya, Kecamatan Kedawung yang berbatasan dengan Kecamatan Kejaksan dan Kecamatan Kesambi Kota Cirebon. Ini dikarenakan Kecamatan Kedawung merupakan salah satu wilayah terpadat dan jarak fasilitas kesehatan lebih dekat dengan Kota Cirebon.
Selain faktor jarak dan aksesbilitas penyebab adanya pelayanan lintas batas daerah juga disebabkan karena pelayanan lebih lengkap (tenaga dan peralatan kesehatan) dari tempat tinggalnya. Infrastruktur berperan menjadi salah satu komponen fisik utama bagi wilayah perbatasan mengingat pengembangan infrastruktur yang sistematis, terarah, dan juga konsisten akan mampu mengarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pada kawasan perbatasan.
“Ketersediaan pelayanan kesehatan dan sarana pendukung masih rendah karena persebarannya kurang merata dibandingkan dengan kota. Pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, jalan, transportasi serta fasilitas lainnya menunjukkan perkembangan yang signifikan tetapi belum mencapai apa yang diharapkan dan masih terkesan lamban,” papar Cucu Herawati dan Syaeful Bakhri.
Penelitian tersebut terjadi di masa lalu. Namun masalah ketimpangan ini masih terus terjadi sampai sekarang.
Menumpuk di Perkotaan
Arman Rifat Lette, dalam Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia Agustus 2020: “Jumlah dan Kebutuhan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Kota Kupang” (Universitas Citra Bangsa, diakses Rabu, 21 Desember 2022), mengatakan Indonesia termasuk dalam 57 negara yang menghadapi krisis tenaga kesehatan. Padahal 80 persen keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan SDM kesehatan.
Menurut Arman, secara nasional jumlah tenaga kesehatan belum memenuhi target per 100.000 penduduk. Jumlah dokter spesialis baru mencapai 7,73 dari target 9, dokter umum mencapai 26,3 dari target 30, perawat mencapai 157,75 dari target 158, dan bidan 43,75 dari target 75 per 100.000 penduduk.
Pada tahun 2025 diharapkan ketersediaan tenaga dokter spesialis mencapai 28 per 100.000 penduduk, dokter umum 112 per 100.000 penduduk, dokter gigi 11 per 100.000 penduduk, perawat 158 per 100.000 penduduk, bidan 75 per 100.000 penduduk, sanitarian 35 per 100.000 penduduk, tenaga gizi 56 per 100.000 penduduk.
“Namun berdasarkan proyeksi kebutuhan tenaga kesehatan maka diperkirakan masih akan ada kekurangan tenaga kesehatan sekitar 40-50 persen sampai tahun 2025, khususnya dokter umum dan dokter spesialis,” tulis Arman.
Pemerataan SDM kesehatan juga menjadi masalah. Arman mencatat, lebih banyak SDM kesehatan yang bekerja di kota-kota besar sedangkan di daerah pelosok cenderung lebih sedikit.
Dilihat dari wilayah, menurut Arman, berdasarkan penyebaran tenaga kesehatan di Puskesmas Indonesia lebih terkonsentrasi di wilayah Indonesia bagian barat di bandingkan wilayah tengah dan timur. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang lebih banyak dan fasilitas kesehatan di wilayah Indonesia bagian barat lebih lengkap dibandingkan wilayah bagian tengah dan timur Indonesia.
Konsekuensinya berdampak pada terhambatnya pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan berkualitas yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, kurangya jumlah SDM kesehatan berhubungan dengan kualitas/mutu pelayanan di fasilitas kesehatan. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan dibanding puskesmas yang ada, menjadikan beban kerja tenaga kesehatan puskesmas semakin tinggi dan tidak sesuai dengan tupoksi serta latar belakang pendidikannya.
“Sehingga pada akhirnya berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan di puskesmas,” kata Arman.
*Simak tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, atau tulisan-tulisan menarik tentang kesehatan