• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #34: Rubrik Pagoejoeban Sagawe, Atikan, Pergerakan, dan Pakasaban

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #34: Rubrik Pagoejoeban Sagawe, Atikan, Pergerakan, dan Pakasaban

Sejumlah rubrik di Sipatahoenan mencerminkan ideologi politik nasionalisme organisasi Paguyuban Pasundan dalam kiprahnya di bidang politik, ekonomi, dan sosial.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Edisi pertama rubrik “Pagoejoeban Sagawe”. (Sumber: Sipatahoenan, 8 Januari 1930)

23 September 2023


BandungBergerak.id – Sejak Sipatahoenan menjadi harian pada 2 Januari 1930, banyak rubrik baru yang mengisi halaman-halaman tambahan yang disediakan di surat kabar tersebut. Secara umum, istilah yang digunakan di dalam Sipatahoenan adalah “rubriek”.

Hingga 1942, memang banyak rubrik baru dalam Sipatahoenan. Di antaranya ada “Pagoejoeban Sagawe”, “Atikan”, “Pergerakan”, “Pakasaban”, “Panganggoeran”, “Kota”, “Ti Djakarta”, “Kaboedajan”, “Gentra Istri”, “Ngobrol”, “Tjiamis”, “Koran Batoer”, “Kiriman”, “Telegram”, “Nagara Deungeun”, “Tjarita Pondok”, “Bedja-Bedja”, “Pakidoelan Tasik”, “Ti Tjiandoer”, “Tjirebon”, “Kota Tasikmalaja”, “Volksraad”, “Decentralisatie”, “Programma Radio”, “Sport”, “Indonesia”, “Djoeroe”, dan lain-lain.

Kali ini, saya akan membahas empat rubrik, yaitu “Pagoejoeban Sagawe”, “Atikan”, “Pergerakan”, dan “Pakasaban”. Kehadiran keempat rubrik tersebut, saya kira erat terpaut erat dengan tujuan Paguyuban Pasundan yang tertuang dalam anggaran dasarnya. Anggaran dasarnya disahkan melalui Surat Keputusan Pemerintah No. 46 tanggal 9 Desember 1914 dan dimuat dalam Javasche Courant No. 3 tanggal 8 Januari 1915.

Di dalamnya disebutkan bahwa tujuan Paguyuban Pasundan adalah “memperbaiki kebutuhan rakyat di daerah Sunda; dengan jalan memperbaiki perkembangan kecerdasan, kesusilaan, dan kehidupan masyarakatnya; dengan melalui pendidikan dan pengajaran; dengan berusaha meningkatkan pengetahuan rakyat dan oleh karena itu memperbaiki kehidupan penduduk”.

Cara-cara yang ditempuhnya antara lain dengan menerbitkan majalah; mempertahankan dan mengembangkan bahasa Sunda; membangkitkan minat terhadap sejarah suku Sunda dan pengetahuan tentang kehidupan masyarakat di Tanah Sunda; menyebarkan tulisan-tulisan berguna; menyelenggarakan ceramah-ceramah dan bacaan-bacaan; memajukan pengetahuan bahasa Belanda; dan memberikan bantuan penerangan-penerangan (Suharto, Perkumpulan Lokal dan Nasionalisme Indonesia: Studi Kasus Paguyuban Pasundan, 1913-1942, 1999: 17-18).

Namun, seiring terbentuknya Volksraad (dewan rakyat) pada Mei 1918, Paguyuban Pasundan aktif di bidang politik. Untuk itulah, empat pasal anggaran dasarnya diubah. Perubahannya disahkan dengan Keputusan Pemerintah No. 72 tanggal 13 Juni 1919. Menurut Suharto (1999: 18) dengan adanya perubahan itu, Paguyuban Pasundan menjadi organisasi yang bergerak di bidang politik, ekonomi, dan sosial.

Ideologi politik yang dianut Paguyuban Pasundan adalah nasionalisme. Penyebaran ideologi ini secara intensif di Indonesia mulai berlangsung pada tahun 1924, setelah berdirinya kelompok-kelompok studi (studieclub) yang disusul dengan berdirinya PNI oleh Sukarno.

Paguyuban Pasundan mulai tampak melibatkan diri dalam gerakan nasionalisme dengan menjadi anggota komite Persatuan Indonesia pada September 1926, meskipun komitenya hanya sebentar. Pasundan kemudian hadir lagi pada pembentukan badan federasi perhimpunan-perhimpunan bumiputra tanggal 17-18 Desember 1927 di Bandung, yang mewujud dengan terbentuknya Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Ketegasan ideologi nasionalisme yang dianut Paguyuban Pasundan disampaikan ketuanya R. Otto Koesoema Soebrata saat Kongres Paguyuban Pasundan tanggal 30 Maret – 1 April 1929 di Tasikmalaya. Ia antara lain menyatakan bahwa orang Sunda merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan Paguyuban Pasundan didasarkan pada cita-cita persatuan Indonesia. Bahkan sejak dipimpin R. Oto Iskandar di Nata pada 1931, perhatian paguyuban ini kian dipusatkan pada bidang politik (Suharto, 1999: 22-25).

Namun, bidang pendidikan juga tetap menjadi perhatian. Karena sejak 1922, perhimpunan ini memiliki satu sekolah HIS Pasundan di Tasikmalaya dan sejak 1929 bertambah MULO Pasundan. Pada kongres di Tasikmalaya (31 Maret – 1 April 1929) mengemuka wacana desentralisasi pengajaran bumiputra dan sekolah-sekolah kejuruan. Saat kongres di Bogor (4 – 5 April 1931), beberapa cabang mengusulkan agar ada badan pusat pengurus sekolah-sekolah Pasundan dan akhirnya terbentuk Bale Pamulangan Pasundan (BPP). Setelah terbentuk BPP, jumlah sekolah Pasundan bertambah banyak. Sebagai catatan, tahun 1935, Pasundan memiliki 29 sekolah dan tahun 1941 jumlahnya bertambah menjadi 51 (Suharto, Pendidikan Swasta di Indonesia pada Masa Kolonial: Studi Kasus Sekolah Pasundan, 1922-1942, 2000: 29-32).

Saya pikir, demikianlah yang melatari kehadiran rubrik “Pagoejoeban Sagawe”, “Atikan”, “Pergerakan”, dan “Pakasaban” di Sipatahoenan sejak tahun 1930. Keempatnya berkaitan dengan politik (“Pagoejoeban Sagawe” dan “Pergerakan”), pendidikan (“Pakasaban”), dan ekonomi (“Pakasaban”) yang menjadi perhatian Paguyuban Pasundan.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #31: Turut Mendirikan Persatoean Djoernalis Indonesia
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #32: Asikin, Abas Nataadiningrat, dan Kosim
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #33: Bangsa Haen dan Bangsa Herman

Rubrik Serikat Sekerja

Istilah “Pagoejoeban Sagawe” kemungkinan besar terjemahan dari bahasa Indonesia “serikat sekerja”, seperti Gabungan Serikat-serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI) dan Persatuan Serikat Sekerja Indonesia (PSSI). Dengan kata lain, istilah “Pagoejoeban Sagawe” sama dengan serikat pekerja atau serikat buruh yaitu organisasi buruh yang berusaha mencapai tujuan seperti upah, jam dan kondisi kerja.

Rubrik ini mulai ada pada edisi 8 Januari 1930. Di situ dimuat tulisan opini berjudul “Bogor” oleh Astahiam mengenai sarekat sekerja guru-guru di Hindia Belanda, Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) cabang Bogor. Ia menanggapi tulisan seorang anggota PGHB yang dimuat dalam Sipatahoenan edisi 3 Januari 1930. Selain itu, ada tulisan “Verslagever verg. PGHB Bogor” yang sama-sama mengkritik penulis laporan pertemuan PGHB cabang Bogor.

Kecenderungan opini, polemik, dan laporan agaknya menjadi ciri khas “Pagoejoeban Sagawe”. Terbukti pada edisi 9 Januari 1930 dimuat dua tulisan karya Gantara (Hoofdschatter Pagadean Banjar) berjudul “PPPH Daerah Priangan” dan Pakatjar yang menulis mengenai “Loerah Bond”. Gantara membela perhimpunan PPPH dari serangan Aspirin (“Waleran ka djrg. Aspirin”). Sementara Pakatjar menanggapi gembira pembentukan asosiasi lurah di Bandung dan Garut, sekaligus rencana penerbitan berkala perhimpunan tersebut, yaitu Soeara Desa. Selanjutnya ia memberikan saran-saran kepada pengurus Loerah Bond ihwal gaji seorang lurah dan sawah carik yang dimiliki oleh sebuah desa.

Dalam edisi 11 Januari 1930 ada kabar singkat tentang didirikannya serikat sekerja pegawai rumah sakit di Tasikmalaya bulan Desember 1929 dan bertanya apakah di Ciamis para pegawainya akan diam? (“Koe ngadegna perkoempoelan noe diadegkeun koe pagawe roemah sakit di Tasikmalaja boelan kamari, aja harepan nekab ka sedjen-sedjen roemah sakit”). Pada edisi itu juga ada tulisan tanggapan mengenai berkala terbitan PGHB (“Orgaan Persatoean Goeroe). Dari tulisan ini saya tahu PGHB beranggotakan perhimpunan-perhimpunan PSO, HKSB, KB, PGAS, FNS, dan PGB.

Dalam perkembangannya, rubrik “Pagoejoeban Sagawe” disingkat “Pag. Sagawe”. Misalnya pada edisi 26 Mei 1931 yang memuat pidato Soepjan Iskandar dalam rapat propaganda terbuka PGHB di Banjar (“Biantarana Djrg. Soepjan Iskandar dina Openbare Propag. Vergadaring PGHB di Bandjar”). Ketua dan sekretaris VOB Cabang Talaga Soekartaatmadja dan Kartawiria menulis laporan rapat anggota VOB di Sekolah Desa Genteng, Talaga, pada hari Minggu, yang dimuat dalam edisi 20 Juli 1933. Pengumuman rapat tahunan Vereeniging Indonesisch Personeel Irrigatie Waterstaat en Waterschappen (VIPIW) di Solo pada 15-17 November 1935 dalam edisi 14 November 1935.

Agaknya rubrik ini terus bertahan hingga akhir 1930-an. Antara lain saya menemukan laporan penyelenggaraan rapat tahunan pertama serikat sekerja juru gambar di Gedung Mardi Hardjo, Pangeran Soemedangweg, Bandung, pada hari Minggu, sejak pukul 09.30. Satu contoh lagi adalah tinjauan umum atas penyelenggaraan konferensi Perserikatan Normaalschool (PNS), yang pengurus pusatnya di Bogor, di 16 tempat. Tulisannya bertajuk “Pamandangan Oemoem dina Conferentie PNS noe geus kaliwat” dalam edisi 23 April 1938.

Rubrik Pendidikan

Rubrik “Atikan” mulai ditayangkan dalam edisi 9 Januari 1930. Rubrik ini berisi tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pendidikan terutama untuk bumiputra. Pada edisi perdananya, yang diangkat adalah tulisan-tulisan singkat dengan subjudul-subjudul yang berkaitan dengan pendidikan yaitu “Tina Hal Njarita” (mengenai berbicara), “Tina Hal Pikiran” (mengenai pikiran), “Basa” (bahasa), “Hal Pakean” (mengenai pakaian), “Perloena Matja” (pentingnya membaca).

Sebagai gambaran, SA, penulisnya, antara lain menyatakan, “Kapan pangadjaran matja teh, lain ngan sina bisa matjana bae, aloes lentongna dina matja, tapi koedoe nepi ka djadi mikaresepna kana matja. Koe sabab eta, henteu aja deui akalna, kadjaba ti anoe mere atikan teh, koedoe ichtiar sangkan boekoe boekoe noe dipake ngadjar matja teh, matak pikaresepeun noe diadjarna, kitoena deui, tangtoe bae koedoe noe hade eusina”.

Artinya, pengajaran membaca itu bukan hanya agar bisa membaca belaka, bagus lagam saat membaca, tetapi harus menyebabkan rasa menyukai pada kegiatan membaca. Oleh karena itu, tiada lagi akalnya kecuali bagi pemberi pendidikan (para pengajar) harus berikhtiar agar buku-buku yang dipakai belajar membaca itu menyebabkan timbulnya rasa suka bagi pembelajarnya. Dengan demikian pula, tentu saja isi bukunya harus bagus pula.

Pada edisi 10 Januari 1930, Compres mendedahkan pengalamannya mengenai guru yang kejam (“Goeroe noe telenges”), karena menganiaya muridnya pada Sabtu, 4 Januari 1930, sehingga mereka harus mengantre ke rumah sakit pada Senin, 6 Januari 1930. Pada edisi 14 Januari 1930 yang dimuat adalah bagian pertama makalah D.K. Ardiwinata pada pertemuan Perkoempoelan Permoepakatan Islam di Bandung (“Lezingna Djrg. D.K. Ardiwinata dina alg. Vergadering Perkoempoelan Permoepakatan Islam di Bandoeng”), dengan judul “Bab Mangpaatna Agama”. Pada edisi 15 Januari 1930 dimuat sambungan makalahnya.

SK menuliskan pandangannya tentang bagaimana seharusnya mengajar anak-anak Perempuan (“Koedoe koemaha ngatikna baroedak awewe”) dalam edisi 8 Februari 1930. Intinya, katanya, anak-anak perempuan harus diproyeksikan sebagai kepala rumah tangga, harus memiliki pengetahuan untuk memperoleh kehidupan, dan harus punya pengetahuan tentang bagaimana mengurus anak dan mengajarnya (“oerang ngatik baroedak awewe teh, kahidji koedoe diantjokeun kana djadi kapala roemah tangga, soepaja oelah aja koetjiwa engkena, kadoea koedoe sina boga boga pangarti geusan njiar kahiroepan sorangan, ka tiloe koedoe sina ngarti tina bab ngoeroes boedak djeung ngatikna”).

Selain tulisan lepas dan makalah, ada pula laporan-laporan. Di antaranya ada tulisan “Nationale Studiefonds” oleh Riona dalam edisi 17 Januari 1930 mengenai pandangan perwakilan Paguyuban Pasundan Cabang Garut yang mengajukan biaya pendidikan nasional dalam kongres Paguyuban Pasundan di Bandung. Ada tulisan mengenai lulusan sekolah polisi Sukabumi (“Kaloear ti Sakola Politie Soekaboemi”) dari Pulau Jawa dan tanah seberang dalam edisi 29 Januari 1930.

Rubrik “Atikan” bertahan lama. Paling tidak hingga tahun 1937 saya masih menemukannya. Di antaranya ada tulisan “Saoer djrg. Oemar Bey (Hoofd ULO Pasoendan Tasikmalaja)” dalam edisi 4 Maret 1937. Menurutnya pendidikan adalah untuk memandu perkembangan manusia. Panduan tersebut sangat penting, sebab bagaimana akibatnya bila seorang anak tidak dipandu atau diurus orang tua. Hal-hal yang berkaitan dengan keanehan, seperti tumbuhnya tumbuhan, satwa dan manusia yang tidak begitu susah mengurusnya (“Atikan hartina noengtoen dina ngagedeanana djelema. Eta pingpinan teh katjida perloena, sabab koemaha pibaloekareunana oepama aja hidji boedak henteu dipingpin koe noe djadi sepoeh, tegesna henteu dioeroes. Tina perkawis noe gaib2, sapertos ngagedeanana pepelakan, sasatoan sareng manoesa anoe teu patos sesah ngoeroesna”).

Edisi pertama rubrik “Atikan”. (Sumber: Sipatahoenan, 9 Januari 1930)
Edisi pertama rubrik “Atikan”. (Sumber: Sipatahoenan, 9 Januari 1930)

Rubrik Pergerakan

Kehadiran rubrik “Pergerakan” dapat dibaca dari pengumuman (“Bewara ti PNI”) Sartono sebagai pengurus PNI cabang Jakarta, dengan titimangsa Jacatra, 6 Januari 1930, yang ditujukan bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya (“Ka sakabeh rajat di Jacatra djeung di sakoerilingna”) dan dimuat pada edisi 9 Januari 1930.

Isinya kabar penggeledahan dan penyitaan surat-surat di rumah puluhan tokoh PNI dan tokoh pergerakan lainnya, termasuk di Kota Jakarta dan sekitarnya pada hari Minggu, 29 Desember 1929. Konon, alasan penggeledahan dan penyitaan tersebut adalah karena PNI disangka akan melakukan keributan pada tahun 1930 (“doemeh party oerang disangka rek ngariboetkeun dina pananggalan taoen 1930”). Hingga 6 Januari 1930, tokoh-tokoh banyak yang masih diperiksa tetapi belum ada yang di tahan (“nepi ka poe ieu di Jacatra mah tatjan aja kokodjo PNI cabang Jacatra anoe ditahan”).

Atas kejadian tersebut, Sartono mengajak agar pekerjaan PNI di Jakarta terus dijalankan. Di antaranya kursus-kursus ABD di Gedung PNI di Tanah Abang, Concslatie Bureau untuk memberikan saran terutama urusan korban lintah darat tetap dibuka di Gang Kenari dan Gedung PNI Tanah Abang, urusan tabungan di kampung-kampung untuk sementara dihentikan, dan lain-lain.

Tulisan-tulisan lainnya ada “Naon noe narik hate oerang hajang bergerak?” (apa yang menarik hati kita agar mau bergerak?) dalam Sipatahoenan edisi 11 Januari 1930 tanpa disebutkan identitas penulisnya. Kemudian pada edisi 14 Februari 1930 ada tiga tulisan yang dimasukkan ke dalam rubrik “Pergerakan”, yaitu “Indonesia Moeda” karya Goenadarma, pidato S. Soeradiradja pada saat didirikannya Anti Woeker Vereeniging Cabang Sukabumi tanggal 9 Februari 1930 dan pandangan Dn terhadap praktik lintah darat dan organisasi-organisasi yang berusaha untuk mengatasinya (“Njerot getih djeung ngabantahna”).

Selain pergerakan perhimpunan, rubrik ini juga banyak mewadahi laporan kegiatan Paguyuban Pasundan dan cabang-cabangnya. Di antaranya saya membaca mengenai kegiatan Cabang Tasikmalaya yang mengadakan rapat anggota pada 6 Mei 1936 di G.P.R.T, yang dibuka oleh ketuanya A. Soedradjat pada pukul 20.00 lebih. Laporan tersebut dimuat dalam edisi 9 Mei 1936. Satu lagi mengenai laporan kongres Partai Indonesia Raya pertama (“Congres Partai Indonesia Raya ka I”) oleh redaksi pada edisi 20 Mei 1937.

Rubrik Mata Pencaharian

Urusan ekonomi, terutama berkaitan dengan mata pencaharian, perniagaan, dan koperasi, diberi wadah dalam rubrik “Pakasaban”. Bila tidak keliru telusur, rubrik ini mulai ada sejak edisi 10 Januari 1930.

Pada edisi tersebut ada tulisan yang berisi keluh kesah kaum pedagang (“Kasoesahna padagang”). Menurut penulis, saat ini rata-rata pedagang bangsa bumiputra mengalami kesusahan. Penyebabnya banyak, di antaranya karena kurang laku, barang-barang produksi Indonesia (termasuk hasil bumi) rata-rata sangat turun. Hal ini berdampak pada daya beli petani sehingga mereka tidak dapat berbelanja (“Ari noe ngalantarankeun kana eta kasoesah roepa-roepa pisan noe djadi lantaranana. Lain bae ngan koe koerang pajoena, tapi harga barang kaloearan Indonesie rata-ratana katjida toeroenna. Koe sabab hasil boemi oge katjida toeroenna, tangtoe bae bangsa patani henteu bisa meulian barang-barang kaperloeanana”). Hasil-hasil bumi yang diekspor dari Indonesia dan mengalami penurunan saat itu adalah pucuk teh dan kopra dari Priangan Timur.

Dalam hal ini, penulis menyarankan pentingnya membentuk perhimpunan seperti bank yang dapat mengatasi paceklik perniagaan (“Malakmandar bae, sakoer noe geus karasa karipoehanana koe kaom dagang teh bisa djadi loeang geusan kahareupnakeun, bisa ngarti kana kaperloeanana pagoejoeban, meureun ari geus goejoeb mah, gampang pisan meunang kakoeatan”). Sebab, umumnya pedagang Indonesia tidak tahu harus ke mana untuk mencari solusi mengenai niaga yang diusahakannya.

Selanjutnya ada notulen rapat anggota Pakoempoelan Koperasi Boemipoetra Dagang djeung Tani (PKBDT) Ciparay (Garut) pada 24 Januari 1930. Laporan ini dimuat dalam edisi 1 Februari 1930. Dalam edisi 4 Februari 1931 dimuat tulisan “Kongeurensi Batik” mengenai proyeksi industri batik di masa depan. Salah satu sebabnya karena berpotensi besar, tandanya sudah lama menyebar ke Sumatra, banyak disukai baik perempuan maupun laki-laki, dan belum lama, kegemaran ini dibesar-besarkan oleh orang Deli.

Sayang, akhirnya kesukaan mereka terhadap batik jadi berkurang, bahkan menganggap jelek, konon seperti baju kuli di perkebunan. Dan sebagai gantinya mereka memilih kain polekat (“Ti bareto batik teh geus njebar kana tanah Sumatra sarta geus rea djelema, awewe lalaki, noe raresep. Tatjan lila karesep make batik teh digaledekeun koe oerang Deli, lain bae di imah, tapi oepama njaraba oge nja kitoe bae. Laoen-laoen karesepan make batik teh beuki ngoerangan … srata ajeuna beunang diseboetkeun 60 pCt koerangna …”).

Tulisan-tulisan lainnya banyak yang berkaitan dengan bank atau koperasi bumiputra. Misalnya tulisan “Verificatie Commissie Raad van Comissarisen Pagoejoeban Bank Leles” (edisi 26 April 1932), “Verslag Ledenvergadering Cooperatie Bank Roekoen Ihtiar Boemipoetra” di Pameungpeuk, Banjaran, pada 25-26 Juli 1934 (1 Agustus 1934), “Vergadering tahoenan Cooperatie di Padasoeka (Bandoeng)” (11 Januari 1935), “Jaarverslag Bank Cooperatie Persaudaraan Boemipoetra [BCP] Inl. Rechtpersoon ddo. 15 Mei 1935 No. 299 di Pamegatan Tjikadjang” (9 April 1936), dan “Perkoempoelan Economie Kebangsaan” yang mengadakan rapat tahunan di Gedung Sekolah Pasundan di Pasoendanweg, Bandung, tanggal 18 April 1937 (19 April 1937).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//