• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #4: Mainan dan Pelajaran Ketika SD

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #4: Mainan dan Pelajaran Ketika SD

Kebanyakan orang tua Betawi di masa itu tidak terlalu menitikberatkan pada pendidikan formal.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Pergi bersama-sama ke sekolah. (Foto: Ilustrasi Karya Asmali)

24 September 2023


BandungBergerak.id – Kali ini aku akan menceritakan kisahku yang lebih detail saat duduk di Sekolah Dasar (SD). Seperti sudah aku cerita sebelumnya bahwa aku mengenyam pendidikan SD di beberapa sekolah yang berbeda. Aku tidak tahu kenapa aku sekolah berpindah-pindah, tetapi setiap sekolah yang aku sempat huni punya kesan masing-masing. Terlebih sekolah di mana akhirnya aku lulus ini.

Ini adalah sekolah negeri yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku. Aku tidak ingat di usia atau kelas berapa aku pindah ke sekolah ini. Namun yang aku ingat, di sekolah ini aku berpakaian rapi dengan rambut tersisir dan tertata. Beda dengan di sekolah sebelumnya, di sekolah ini bahkan aku membawa tas koper untuk membawa buku pelajaran. Meski sesekali aku juga masih membawa tas kain dengan tali serot berumbai seperti handuk.

Meski aku baru di sekolah ini, aku sudah banyak kenal dengan teman-teman karena mereka adalah teman sekampungku. Seingatku guru di sekolahku dulu tidak banyak. Hanya seorang kepala sekolah dengan guru yang mungkin tidak lebih dari lima.

Ada satu guru yang sangat baik padaku. Aku selalu disapanya dan menjadi perhatiannya. Apalagi saat jam istirahat. Sesekali aku di kasihnya uang jajan, tapi aku selalu menolaknya. Ketika ia tanya kenapa aku hanya geleng kepala lalu pergi menjauh, berlari ke lapang untuk bermain bersama kawan-kawan.

Bermain dan Belajar

Aku pergi ke sekolah pagi-pagi dan pulang sebelum azan zuhur. Di sekolahku dulu satu orang guru mengajar beberapa mata pelajaran dan bahkan beberapa kelas. Kepala sekolah juga ikut mengajar dan sesekali pergi ke tanah lapang untuk berolahraga, di antaranya senam bersama.

Setelah selesai senam, biasanya ada permainan yang dipimpin oleh guru olahraga kami. Murid-murid dijajarkan untuk membentuk barisan dan dimulailah permainan mengirim berita. Bagaimana permainan itu?

Biasanya nanti siswa paling ujung akan dibisiki satu kalimat oleh pak guru untuk kemudian disampaikan ke temannya yang ada di barisan depan dan seterusnya. Nanti siswa yang berada di ujung barisan lainnya harus menjawab kalimat apa yang tadi disampaikan berantai dari guru sampai ke dirinya.

Misalnya pak guru membisiki “makan jangan sambil jajan”, maka nanti para siswa akan membisiki temannya bergiliran sampai ke ujung. Sering kali kalimat yang dibisiki tidak sama dan jadi kacau sampai ke siswa yang paling terakhir. Ia bisa saja menjawab “makan jangan sambil jalan” atau lainnya. Lucu sekali.

Aku juga masih teringat kalau ada pelajaran kesenian maka biasanya kita akan menyanyikan lagu. “Lihat kebunku, penuh dengan bunga …”, lagu itu di antaranya yang aku ingat.

Memang aku cukup kerasan di sekolahku yang ini. Walaupun aku bukan termasuk anak pintar juara kelas. Jujur saja, aku anaknya malas belajar. Sehingga tidak heran kalau tidak sepintar murid lain. Aku rajin pergi ke sekolah karena di sekolah adalah tempat berkumpulnya teman-teman sekampungku.

Ngomong-ngomong soal malas belajar, kemalasan itu makin menjadi ketika sampai di rumah. Dibandingkan zaman sekarang, aku pikir segala situasinya memang jauh berbeda untuk menunjang anak belajar.

Di kampungku waktu kecil, kalau malam sudah tiba, otomatis gelap atau penerangan yang seadanya karena listrik belum masuk. Memang iya sih sepi dan seharusnya lebih konsentrasi karena jarak satu rumah ke rumah lain relatif jauh. Paling-paling hanya suara hewan malam yang hinggap di pohon-pohon besar dekat rumah. Namun situasi ini tak jarang bikin aku yang masih kecil ketakutan. Apalagi kalau hujan dan ada kabar orang meninggal. Itu bisa bikin aku membayangkan yang macam-macam.

Yah begitulah, atau itu hanya alasanku saja agar tak belajar? Entah lah.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #1: Masa SD dan Kenangan Dibonceng Motor
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #2: Jakarta Yang Dulu, Bukan Yang Sekarang
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #3: Anak Pasar, Anak Angon

Ujian Kelulusan Sekolah

Di SD ini aku memang tak lama. Tak terasa sudah kelas 6 saja dan artinya akan ada ujian yang menentukan antara lulus dan tidaknya aku. Sejujurnya aku masih betah di sekolah ini. Jadi ada sedih kalau tahu tak lama lagi aku akan berpisah dengan guru-guruku di sini juga dengan teman-temanku.

Bagaimana pun situasinya, pasti ada saja perpisahan itu. Kalau aku tidak lulus, berarti teman-temanku akan meninggalkanku juga. Bahkan kalau kami semua lulus, ada kenangan yang kami tinggalkan juga. Ah aku pun saat itu memilih untuk tidak terlalu memikirkan lulus atau enggak. Tapi yang pasti aku akan selalu ingat sekolah ini.

Waktu terus berjalan, saat-saat ujian sebentar lagi tiba. Mau tidak mau aku pun harus mulai membuka buku untuk mengingat kembali soal-soal ulangan harian dan semester. Aku memaksakan diri belajar di rumah tanpa ada yang mengajari. Maklum orang tuaku sibuk dan seperti kebanyakan orang tua Betawi saat itu, tidak terlalu menitikberatkan pada pendidikan formal.

Untuk membantuku, paling-paling Nyak —panggilanku untuk ibu— dan Baba memanggil tetangga pendatang, tetangga dekat rumah orang tuaku yang pintar untuk pelajaran berhitung. Maka diajarilah aku. Biasanya pelajaran tambahan itu aku dapat di rumah kakak perempuanku yang usianya terpaut cukup jauh denganku.

Tibalah saatnya ujian. Ini tak banyak kuingat. Yang kuingat setelah ujian kami menunggu beberapa waktu hingga akhirnya Alhamdulillah aku dinyatakan lulus dari SD negeri tersebut. Seingatku itu antara tahun 1972.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//