• Kolom
  • SALAMATAKAKI #24: Tinkering dan Euforia Bentuk

SALAMATAKAKI #24: Tinkering dan Euforia Bentuk

Chad Williem, Erwin alias Merxdar, Dika Toolkit, dan Rangga Maulana Koto menyajikan karya di luar zona aman masing-masing dalam pameran Euforia Bentuk.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Pembicara, seniman, dan hadirin yang masih bertahan sampai akhir acara bincang seniman Euforia Bentuk diadakan di Wangirupa Studio pada 27 September 2023 petang. (Foto: Ilham Sadikin)

3 Oktober 2023


BandungBergerak.id“Yes. Because I’m a tinker. It’s who I am. And tinkers fix things.”-Tinkerbell

Tinkering adalah kata yang berulang kali diucapkan Ica Mangadil, kurator “Euforia Bentuk”, pameran yang berlangsung selama 9-30 September 2023 di Wangirupa Studio. Pada catatan kuratorialnya, Ica menulis, “Jika dilihat sebagai metode, tinkering merupakan kegiatan yang tidak formal secara konsep maupun teknis, melainkan dititikberatkan pada eksperimen dan eksplorasi terhadap obyek yang digunakan sampai mendapatkan hasil yang diinginkan.”

Aku suka kata tinkering. Bunyinya menyenangkan dan mengingatkanku pada peri kecil Tinkerbell dalam kisah Peter Pan. Jika diterjemahkan secara garis besar, tinkering artinya “mengutak-atik”. Bagiku, ada warna kekanakan berikut rasa ingin tahunya pada kata itu. Saat menikmati karya-karya “Euforia Bentuk” dan menyimak kisah di baliknya, aku yakin rona itu memang membias di sana. 

Kaki Sundea. (Foto: Sundea)
Kaki Sundea. (Foto: Sundea)

Keempat Seniman dan Karyanya

Chad Williem, Erwin alias Merxdar, Dika Toolkit, dan Rangga Maulana Koto adalah seniman yang berpameran dalam “Euforia Bentuk”.

Chad Williem seorang content creator yang akrab dengan fotografi, Merxdar adalah street artist yang biasa berkarya di tembok-tembok jalan, Dika Toolkit dikenal sebagai ilustrator, dan Rangga Maulana Koto menjalani keseharian sebagai desainer grafis. Di “Euforia Bentuk” keempatnya diberi kenyamanan berkarya di luar zona aman mereka. Ibarat anak-anak yang disemangati dengan slogan iklan “berani kotor itu baik”, keempatnya diberi keleluasaan mengutak-atik sebebas-bebasnya. Hasilnya adalah karya-karya eksploratif yang memperkaya mereka dengan pengalaman dan sudut pandang baru.

Kesepian dalam puisi sahabatnya, Vania, membangkitkan empati Chad. Menariknya, jika Chad merasa kesepian karena tumbuh di keluarga yang tidak utuh, Vania justru kesepian di tengah-tengah keluarga utuh. Chad mengaku tak terbiasa dengan teks, tetapi itu tak menghalanginya melakukan eksplorasi. Dibantu Ica dan Vania sendiri, Chad membedah puisi “Address to…?” dan “Purabaya”. Chad menerjemahkan puisi Vania ke dalam delapan bingkai karya yang terbagi dalam lima judul. Inner child menjadi suara yang digunakannya untuk bercerita. Di atas kertas yang umumnya menjadi media gambar pertama anak-anak, Chad menginterpretasi potongan puisi Vania dengan guratan warna-warni yang terkesan naif, tetapi membentuk narasi seperti rangkaian aksara.

Seperti Chad Williem, Dika Toolkit hadir dengan karya-karya serupa gambar anak-anak. Namun, tak ada narasi besar atau filosofi khusus dalam karya Dika. “Ini percobaan baru,” ungkap Dika. “Monster”, “Chaos”, dan “Corat-coret” (yang digambar di atas lembaran majalah Bobo) murni eksperimen dan eksplorasi karena jauh berbeda dengan karya-karya Dika sehari-hari. Lalu, akankah gaya ini berlanjut di karya-karya Dika selanjutnya? Kita lihat saja nanti, ya.

Sementara Merxdar mengaku seperti jetlag ketika merambah galeri. “Biasa just for fun, ini harus mempertanggungjawabkan karya,” selorohnya ketika wajib berbicara di sesi bincang seniman.

Kendati begitu, latar belakang berkarya yang diceritakan Merxdar dalam kondisi “jetlag” tetap seru untuk disimak. Merxdar menyampaikan ketertarikannya kepada tembok yang ada di mana-mana. Tembok kadang menjadi tanda, kadang menjadi pembatas, tetapi bagi street artist adalah media berkarya.  

Salah satu etika berkarya di tembok jalanan adalah meminta izin saat akan bersanding atau menimpa karya lain. Di “Euforia Bentuk”, visual tumpang tindih ini dihadirkannya meskipun di atas kanvas.

Rangga Maulana Koto yang belasan tahun menjadi desainer dan melayani kebutuhan klien merasa bosan dengan ritme hidupnya. “Brief, revisi, cair (honornya), party, terlalu pasti. Terlalu jelas, gitu, saya butuh sesuatu yang nggak jelas,” kata Rangga.

Di “Euforia Bentuk” Rangga dapat bermain-main sesuka hati saja dengan elemen desain yang dikenalnya, bukan untuk memenuhi pesanan seperti biasa. Sama seperti Dika, karya-karya Rangga adalah murni eksplorasi yang tak rumit mengusung makna. Mungkin bisa dibilang karya Rangga di “Euforia Bentuk” adalah sarana rekreasi untuk dirinya sendiri.

Ki-ka: Trio Muhammad, Ica Mangadil, Merxdar, Rangga, Dika, Chad, Pak Asmujo. (Foto: Ilham Sadikin)
Ki-ka: Trio Muhammad, Ica Mangadil, Merxdar, Rangga, Dika, Chad, Pak Asmujo. (Foto: Ilham Sadikin)

Baca Juga: SALAMATAKAKI #21: Di Balik Berang-berang yang Tak Pulang-pulang
SALAMATAKAKI #22: Mendaras Aman Pertama
SALAMATAKAKI #23: Vici Book Club Hendak Menaklukkan Siapa?

Bincang Seniman

Bincang seniman “Euforia Bentuk” diadakan di Wangirupa Studio pada 27 September 2023 petang. Selain menampilkan keempat seniman, hadir pula kurator seni rupa senior Pak Asmujo Irianto sebagai penanggap, kurator pameran Ica Mangadil, dan seniman sekaligus penulis Trio Muharam selaku moderator.

Setelah keempat seniman memaparkan karya dan proses kreatifnya, giliran Ica yang bercerita. “Kita rayakan saja apa yang sudah mereka bikin,” ujar Ica.

Bagiku, Ica adalah kurator yang telaten. Ia mampir ke studio seniman untuk menemani proses mereka. Ica pun memastikan, seni dapat menjadi ruang eksplorasi yang merdeka bagi setiap senimannya. Hasilnya, Chad, Dika, Merxdar, dan Rangga tampil percaya diri mempertanggungjawabkan karya mereka sendiri. Mereka tampak tak takut dihakimi wacana dan teori, serta berani berkreativitas seperti anak-anak yang tak dihantui larangan-larangan. “Euforia Bentuk” menjadi petualangan yang memperluas kekaryaan mereka. Keempat seniman kita tidak tersesat meskipun menempuh “jalan pulang” yang tak biasa menuju diri masing-masing.

Karya Rangga: Mr Jock, Tv Quiz Phd, Bags few Lynx. (Foto: Sundea)
Karya Rangga: Mr Jock, Tv Quiz Phd, Bags few Lynx. (Foto: Sundea)

“Biasanya pameran itu ada zoning-nya,” kata Pak Asmujo.

Beliau melihat setiap aktivitas kesenian sesuai konteksnya. Ada ruang-ruang yang padat dengan diskursus, ada yang perlu dilihat dengan kapasitas sensori, ada ruang seni yang populer, ada juga ruang-ruang seni lowbrow yang memberontak terhadap seni yang sudah mapan. Wangirupa dan “Euforia Bentuk” menawarkan warna berbeda yang segar dan menarik. Namun, Pak Asmujo tetap mengingatkan pentingnya membangun jenama.

“Keberhasilan in the end di how to brand the artist,” kata Pak Asmujo.  

Di dunia seni kontemporer, siapa pun boleh menyebut diri sebagai seniman dan apa pun—betul-betul apa pun—dapat disebut sebagai karya seni. “Kurasi adalah komplementer dari karyanya,” ujar Pak Asmujo. Artinya kurator mempunyai peran yang cukup penting untuk membangun jenama seniman dan mengantar mereka ke puncak arus utama dunia seni rupa.

Karya Dika Toolkit. Ki-ka: Chaos, Corat-coret, Mosnster. (Foto: Sundea)
Karya Dika Toolkit. Ki-ka: Chaos, Corat-coret, Mosnster. (Foto: Sundea)

Menurut Pak Asmujo, judul yang diberikan Ica terlalu berat dan masih terlalu luas untuk membingkai keempat seniman. Namun, Pak Asmujo memuji tulisan Ica yang nyaman dibaca dan mudah dimengerti. Ica, yang kini sedang melanjutkan S2 di Seni Rupa ITB, sudah aktif sebagai seniman sebelum mengambil peran sebagai kurator. Maka, ia tentu mengerti apa yang dibutuhkan dan dirasakan seniman dalam proses berkaryanya.

“Biasanya ke seniman muda saya lebih demanding,” ucap Pak Asmujo. Sebab, umumnya seniman muda masih harus membangun karakter solid yang memperkuat jenamanya. Sementara seniman senior umumnya lebih matang. Karya apa pun yang dihasilkannya adalah variasi dari perjalanan panjang kekaryaannya.

Pengunjung dan karya Chad Williem. Ki-ka: Gelombang Diri, Give, Vacuuming Under The Sea. (Foto: Ilham Sadikin)
Pengunjung dan karya Chad Williem. Ki-ka: Gelombang Diri, Give, Vacuuming Under The Sea. (Foto: Ilham Sadikin)

Parameter

Di forum bincang seniman aku sempat bertanya. Jika berkesenian adalah urusan meyakinkan galeri dan mengukuhkan jenama untuk naik ke arus utama, bagaimana membedakan kesenian dan industri? Bagaimana kita tahu suatu karya murni berangkat dari panggilan hati, bukan komersialisasi? Bagaimana kita tahu suatu karya memang mempunyai nilai, bukan naik karena gimmick saja? Ternyata diakui, parameter kualitas dalam kesenian memang rapuh. Kita pun hidup di dunia tidak ideal yang butuh dijalani dengan kecerdikan sekaligus kearifan.

Karya Merxdar. Ki-ka: Urban Labyrinth of Merxdar, Spray Painted Dreams, Defying Definitive. (Foto: Sundea)
Karya Merxdar. Ki-ka: Urban Labyrinth of Merxdar, Spray Painted Dreams, Defying Definitive. (Foto: Sundea)

Aku kembali pada kutipan Tinkerbell yang kutulis di awal artikel ini.  Jika parameter kualitas kesenian memang rapuh, tinkering mungkin perlu selalu dilakukan untuk—setidaknya—mereparasi nilai-nilai personal seniman yang rentan tergulung-gulung dinamika. Dunia memang tidak ideal. Namun, aku yakin tak perlu hidup di dunia ideal untuk peka mendengar suara hati sendiri. Berpikir dan menjaga kesadaran penuh membuat seniman tak akan pernah tersesat, sejauh apa pun wacana menjauhkannya dari jalan pulang.

Belakangan ini aku menghadiri beberapa pameran seni rupa. Aku mencoba mengingat-ingat. Sebelum hari itu, kapan terakhir kalinya aku melihat pameran seni rupa yang berani hadir telanjang, tanpa malu, karena meyakini kemurniannya?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//