• Kolom
  • PAYUNG HITAM #13: 1 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Keadilan Tertiup Angin

PAYUNG HITAM #13: 1 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Keadilan Tertiup Angin

Pemerintah tidak pernah serius menuntaskan penanganan Tragedi Kanjuruhan. Simpul-simpul solidaritas harus diperkuat, keadilan harus direbut.

Fayyad

Pegiat Aksi Kamisan Bandung

Peringatan 1 tahun tragedi Kanjuruhan di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, Senin, 2 Oktober 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

5 Oktober 2023


BandungBergerak.id - Satu tahun yang lalu, tepatnya pada 1 Oktober 2022 malam, di Stadion Kanjuruhan, Malang, terjadi pembantaian dengan dalih tindak pengamanan. Jumlah korban, 135 nyawa melayang dan 750-an orang luka-luka, bukan sekadar angka statistk. Mereka korban kebrutalan aparat keamanan.

Tindakan-tindakan eksesif bahkan cenderung represif dan brutal secara jelas dilakukan oleh pihak aparat keamanan pada malam itu. Mulai dari pemukulan menggunakan tangan kosong dan baton-pentungan hingga menendang secara beringas dengan sepatu lars. Mulai dari memiting begitu keras hingga menembakkan gas air mata ke arah lapangan berikut tribun penonton secara membabi buta tanpa banyak pertimbangan. Asas nesesitas dan proposionalitas jelas sekali dilanggar.

Melihat serentetan tindakan yang dilakukan aparat keamanan tersebut, kita semakin menyadari bahwa slogan melayani, melindungi, dan mengayomi tidak lebih dari bualan belaka. Kehadiran aparat keamanan tidak didasari dengan alasan yang jelas. Kebrutalan di Kanjuruhan dapat dikategorikan sebagai salah satu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat karena telah terjadi tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 9 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai “perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…” Dalam Tragedi Kanjuruhan, ribuan suporter di stadion itulah penduduk sipil.

Di sisi lain, berkaca dari penanganan Tragedi Kanjuruhan, kita juga melihat bagaimana perputaran bisnis masih didudukkan di atas segalanya, bahkan masih jauh di atas kemanusiaan itu sendiri. Semua aktor yang mestinya bertanggung jawab atas kejadian memilukan ini masih melenggang. Mulai dari panitia pelaksana dan penyelenggara, pihak manajemen, hingga sponsor-sponsor. Masalah struktural yang menjadi salah satu pemicu bencana, mulai dari pengurusan tiket, ketidaksiapan infrastruktur, hingga manajemen jadwal pertandingan, tidak tersentuh. Pemberhentian sementara liga juga dianggap menjadi hambatan dan penyebab kerugian bagi perputaran bisnis sepak bola modern. Pertunjukan harus terus berlangsung, sementara kasusnya tidak pernah benar-benar diusut tuntas.

Berbagai bentuk belasungkawa palsu pasca tragedi hanya menambah luka korban dan juga keluarganya. Mereka yang seharusnya bertanggung jawab mengira bahwa nyawa sepadan dengan beberapa juta rupiah yang digelontorkan. Ada yang bahkan menawari korban dan keluarga korban untuk dinikahkan dengan anggota polisi ataupun dipermudah untuk menjadi anggota kepolisian. Semua ini tidak lain adalah upaya menutup mulut mereka yang mencoba menuntut.

Tindakan lain untuk membungkam korban dan keluarga mereka berupa ancaman keras, penculikan, sabotase, serta penangkapan. Penahanan secara sewenang-wenang terhadap delapan orang arek Malang merupakan tindakan yang nyata terjadi dilakukan pada korban juga keluarga korban, tapi tidak banyak terungkap ke publik.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #12: September Hitam dan Parade Melawan Kekerasan Negara
PAYUNG HITAM #11: Seberapa Penting, sih, Hak Masyarakat Adat di Mata Negara?
PAYUNG HITAM #10: Agustus, Menerka Merdeka dalam (Belenggu) Kebebasan

Simpul Solidaritas

Memori dan trauma individu maupun kolektif masih dirasakan siapa pun yang menjadi korban kekerasan negara. Keluarga, teman sejawat, bahkan juga kita yang tidak hadir di lokasi kejadian pun merasakan betapa perasaan emosional ini akan menjadi pengingat yang buruk karena negara jelas-jelas menunjukkan keengganannya untuk melakukan pemulihan yang berkeadilan dengan mengedepankan perspektif korban.

Jika negara terus diam, bahkan menujukkan gelagat ketidakpedulian kepada para korban dan keluarga korban, kami menyerukan pada momentum 1 tahun Tragedi Kanjuruhan agar kita bersama-sama menghimpun persatuan sebagai modal kekuatan. Simpul-simpul solidaritas di banyak titik menjadi senjata utama yang dapat digalang warga terdampak kekerasan negara. Tagar #UsutTuntasTragediKanjuruhan akan terus digaungkan beriringan dengan kampanye #RefuseTearGas (Tolak Gas Air Mata) dan #AgainstModernFootball (Lawan Sepak Bola Modern).

Ketika keberpihakan pada korban dan juga keluarga korban tidak lagi hadir, ketika keadilan pergi menjauh tertiup angin, kita bisa memaknai ulang momen 1 tahun Tragedi Kanjuruhan ini sebagai ruang untuk introspeksi dan refleksi, juga untuk memasifkan gerakan. Keadilan harus direbut karena negara tak pernah benar-benar memberikannya secara utuh.

Hidup Korban!

Jangan Diam!

Lawan!

*Kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolobarasi BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//