• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #6: Masa SMP, Membantu Orang Tua, dan Mengajar Ngaji

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #6: Masa SMP, Membantu Orang Tua, dan Mengajar Ngaji

Aku sudah lupa dengan wajah sebagian murid-muridku yang masih kerap memanggilku ustaz, sebutan yang membuatku malu karena ilmuku belum seberapa.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Ilustrasi masyarakat Jakarta tempo dulu. (Foto: Dibuat oleh AI di Bing.com)

8 Oktober 2023


BandungBergerak.idSetelah lulus dari sekolah dasar aku melanjutkan pendidikan SMP-ku di SMP 48 filial. Tidak seperti di zaman SD, di SMP aku tidak pindah-pindah. Tiga tahun kutamatkan di sekolah ini. Letaknya relatif tidak jauh dari rumahku. Hanya berbeda kampung. Untuk pergi ke sekolah aku selalu berjalan kaki bersama teman-teman sekampungku.

Jarak tempuh antara sekolah ke rumah kurang lebih 30 menit perjalanan. Cukup dekat untuk zaman dulu, apalagi aku tak pernah mengukur jarak dan memperhitungkan waktu di jalan. Saat itu jalan-jalan yang kulalui terbilang sepi dari lalu lalang kendaraan. Saat aku menulis cerita ini banyak teman-temanku SMP telah tiada. Dipanggil Allah lebih dulu.

Masa SMP-ku tidak begitu jauh berbeda dengan masa SD. Seperti biasa aku bantu apa yang bisa kubantu dari pekerjaan baba dan nyak-ku. Kebetulan di rumah nyak —panggilanku untuk ibuku— membuka warung yang menjajakkan keperluan sehari-hari. Kalau pagi ada kue atau nasi lengkap dengan masakannya. Kalau luang ya aku bantu juga nyak-ku mempersiapkan warungnya.

Ngomong-ngomong soal nyak, ia adalah perempuan yang rajin. Ia tipikal perempuan yang selalu menemani suami dan tak segan membantu. Misalnya, ia bangun begitu pagi, lalu memasak tidak hanya untuk keluarga tetapi juga persiapan dagang. Jika hari sudah menjelang siang, nyak pergi ke pasar, membeli kebutuhan dapur yang biasa diperlukan oleh ibu-ibu di kampungku.

Hal ini menular padaku. Meskipun aku tak pernah punya cita-cita berdagang, tetapi hidup dari dua orang tua yang pedagang membuatku sedikit-sedikit kenal cara berdagang. Begitu pun dengan kebiasaan seperti bangun pagi. Apalagi sedari kecil aku sudah dibiasakan saolat Subuh oleh nyak. Setelah salat aku pergi mengambil kue untuk dijual di warung nyak. Karena selain makanan buatan nyak, kadang kue-kue yang dijajakkan ini juga di-supply oleh saudara sekitar.

Di sisi lain, baba-ku pun mulai menambah unit bisnisnya. Tidak hanya jualan songkok tetapi juga toko bahan bangunan yang ia dirikan di dekat rumah. Meski tak sesering seperti membantu nyak, aku juga selau membantu baba, walaupun sudah ada satu orang pekerja di toko bahan bangunan. Seingatku pekerjanya itu dari Jawa Tengah. Ke mana pun dia mengirim barang sesekali aku menemaninya. Aku tidak tegaan orangnya.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #3: Anak Pasar, Anak Angon
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #4: Mainan dan Pelajaran Ketika SD
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #5: Sowan ke Habib, Ngaji d Malem Senen

Mengajar Ngaji

Di kelas dua SMP aku sudah dipercaya untuk mengajar di madrasah oleh seorang kyai. Biasanya pengajian digelar di rumah sehabis Magrib sampai habis waktu Isya. Lumayan banyak murid yang mengaji padaku saat itu. Seingatku ada sekitar 40 anak yang berasal dari berbagai kalangan. Entah itu cucu-cucu kyai yang mengamanatkan diriku untuk mengajar, anak pak lurah, anak pedagang, atau pekerja kantoran. Dalam sepekan, madrasah hanya libur satu hari yakni hari Jumat saja. Sementara mengaji di rumahku yang digelar setiap malam liburnya di malam Jumat.

Alhamdulillah sampai kini pun murid-muridku masih kenal aku. Meski aku sendiri, jujur saja sudah lupa. Di usiaku yang sekarang, kalau sudah berpapasan dan mereka memperkenalkan diri sebagai muridku tapi aku tidak ingat, aku hanya bisa minta maaf. Sudah tua dan juga sudah terlalu lama.

Apalagi masih ada yang memanggilku dengan sebutan ustaz, suatu panggilan yang terhormat bagiku. Tetapi sejujurnya, aku merasa malu dipanggil dengan sebutan itu. Karena ilmuku tidak seberapa. Jangankan untuk orang lain, untuk diriku sendiri saja masih banyak kekurangan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Asmali, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang Agama Islam 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//