MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #5: Sowan ke Habib, Ngaji d Malem Senen
Aku juga diajak Baba-ku ke daerah Kwitang, Jakarta Pusat, untuk berziarah ke makam Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau Habib Ali Kwitang.
Asmali
Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.
1 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Tradisi masyarakat Betawi bisa dibilang lekat dengan nilai-nilai keislaman. Tidak heran kalau kemudian di lirik lagu pembuka serial “Si Doel Anak Sekolahan” yang legendaris itu menyebutkan anak Betawi “kerjaannye sembahyang mengaji”. Ya, memang begitu. Sekolah formal misalnya tidak cukup, perlu diimbangi oleh sekolah agama. Bahkan untuk banyak keluarga Betawi, ilmu agama jauh lebih penting ketimbang pendidikan formal. Pengalaman ini pula yang aku alami sebagai anak Betawi.
Aku masih ingat waktu kecil Baba-ku cukup rajin membawaku ke tokoh-tokoh Islam. Entah itu kiyai atau habaib, panggilan jamak untuk habib, sebutan untuk pemuka agama Islam yang masih memiliki garis keturunan menyambung sampai Nabi Muhammad SAW. Salah satu habib yang sering dikunjungi oleh Baba-ku adalah Habib Nohval.
Aku masih ingat nama jalannya: Jalan Gang Pedati. Kalau sowan ke Habib Nohval, kebiasaan orang tuaku, aku selalu diminta untuk dibacakan doa oleh beliau. Biasanya aku duduk dipangkuan habib sambil habib mengusap ngusap kepalaku. Biasanya nanti setelah itu Baba-ku akan ngobrol lama dengan sang habib.
Bukan hanya itu, hampir setiap hari Minggu pagi aku juga diajak Baba-ku ke daerah Kwitang, Jakarta Pusat. Jaraknya sangat jauh dari rumahku yang kini masuk wilayah administrasi Jakarta Selatan. Yang aku ingat, untuk ke Kwitang kami harus naik turun bus. Sesekali aku dipangku, sesekali juga duduk sendiri bersebelahan dengan Baba-ku. Tujuan ke Kwitang untuk berziarah ke salah satu makam habib yang masyhur di daerah Jakarta, yakni Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau yang dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang. Dalam beberapa sumber dinyatakan bahwa Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (20 April 1870 – 13 Oktober 1968) adalah salah seorang tokoh penyiar agama Islam terdepan di Jakarta pada abad ke-20. Ia juga pendiri dan pimpinan pertama pengajian Majelis Taklim Kwitang yang merupakan satu cikal-bakal organisasi-organisasi keagamaan lainnya di Jakarta.
Seketika turun dari bus, kami lalu jalan sambil tanganku digenggam Baba. Dari jauh sudah terdengar suara orang mengaji. Tidak lama kemudian maka sampailah kami di Makam Habib Ali. Di situ selalu banyak orang.
Pada halaman masjid banyak orang yang berdagang bersatu dengan yang mau masuk masjid. Tak lama kemudian sampailah aku dan orang tuaku ke dalam area masjid.
Tidak hanya ziarah, di dalam juga terlihat banyak para habaib yang bergantian memberikan ceramahnya. Di dalam masjid juga aku lihat makam-makam. Aku tidak tahu tahun berapa aku sering diajak Baba ke Kwitang. Yang jelas saat itu aku masih duduk di sekolah dasar. Dan aku ingat, kebiasaan orang tuaku kalau bubar pengajian, ia akan menunggu sampai jamaah lainnya pulang dan masjid lebih lenggang.
Setelah itu Baba akan mendatangi para habib. Lalu adegan di rumah Habib Nohval kembali terjadi. Aku duduk di pangkuan para habaib, diusapnya kepalaku sambil diiringi oleh doa-doa baik. Setelah itu aku diserahkan lagi kepada orang tuaku dan aku kembali di pangkuannya.
Seperti biasa orang tuaku tak langsung pulang. Ia lanjut mengobrol dengan para habaib itu. Tak jarang aku mendengarkan, atau memilih asyik sendiri. Kemudian kami pamit, aku bangun dari pangkuan orang tuaku dan aku cium tangan ke para habaib sambil aku diciumnya juga. Setelah itu Baba menuntunku keluar dari masjid. Hari sudah makin siang, di luar masjid masih banyak yang berdagang. Baba lalu menghampiri salah satu pedagang. Dibelikannya aku talas yang dimakan bersama gula aren. Sementara minumnya, dibelikannya aku minuman buah lontar.
Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #2: Jakarta Yang Dulu, Bukan Yang Sekarang
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #3: Anak Pasar, Anak Angon
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #4: Mainan dan Pelajaran Ketika SD
Ngaji Malam Senen
Dan pada setiap malam Senin, ketika aku sudah lebih dewasa, aku mulai rutin mengikuti pengajian dari rumah ke rumah. Pengajian ini dipimpin oleh guru agama di kampungku yang dikenal dengan nama Ustaz Syatiri Azhari. Kitab yang dibaca dikenal dengan nama Kitab Parumunan Melayu, sebuah kitab fiqh yang ditulis dalam aksara pegon. Biasanya aku yang kebagian membaca kitab itu.
Selain itu dibaca juga kitab Riyadus Shalihin. Kitab ini dibaca oleh seorang senior di lingkaran pengajian ini, yang karib kusapa dengan sebutan Bang Tong. Setelah kitab dibaca, baru ustaz menjelaskan maknanya.
Pengajian ini diikat dengan arisan. Kalau bahasa di kampungku, kami menyebutnya engkoan. Bedanya kalau arisan sudah ditentukan nilai uang yang disetor tiap pertemuan, kalau engkoan sifatnya bebas. Tidak berlebihan, secukupnya saja.
Tapi sebagai anak kecil tentu saat itu pun aku hanya ikut ngaji saja, tidak itu setor engkoan.
Entah kenapa di kampungku sejak dulu memang dikenal sebagai kampung santri. Banyak kyai besar seperti di antaranya Kyai Haji Mansur Fatih. Ada juga Kyai Haji Rohmani yang saat itu di tahun-tahun 70-an masih seorang kyai muda yang baru pulang mondok di Gontor.
Dengan kondisi begini, praktis aktivitas keagamaan menjadi keseharian kami. Di madrasah kami tunduk kepada seorang kyai dan setiap muhadloroh (sesi pidato ke-Islaman), maulidan (prosesi pembacaan puji-pujian untuk Nabi), atau imtihan (kenaikan kelas madrasah), aku selalu disuruhnya baca doa. Kepadaku pak kyai sering bilang: “Nanti kalau sudah besar kamu akan tahu kalau orang yang baca doa akan didahulukan, akan dipasang sejajar dengan pejabat”. Aku hanya mengiyakan.
Aku baca doa di podium. Babaku melihatnya, karena banyak orang tua yang hadir setiap ada acara madrasah seperti maulidan. Setelah itu aku turun podium, aku hampiri dia, dan cium tangannya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Asmali, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang Agama Islam