Suara Kritis Mahasiswa Bandung atas Putusan MK Menolak Gugatan UU Cipta Kerja
Mahasiswa Bandung turun ke jalan menyuarakan protes terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Pemberlakuan UU Cipta Kerja diyakini berimbas buruk ke rakyat.
Penulis Awla Rajul9 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Sejumlah mahasiswa di Bandung menggelar mimbar bebas untuk menyuarakan kritik terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugutan terhadap Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di Taman Dago Cikapayang, Sabtu 7 Oktober 2023 petang. Melenggangnya peraturan kontroversial ini bakal berimbas buruk pada kehidupan rakyat.
"(Undang-undang) Ciptaker adalah aturan anti-demokrasi. Melanggengkan perampasan. Menindas petani, buruh, pegiat lingkungan, bahkan seluruh masyarakat," teriak salah satu mahasiswa dengan bantuan corong pengeras suara.
Penolakan oleh MK, menurut mahasiswa, membuktikan bahwa rezim saat ini tidak pro rakyat. Hakim MK telah meninggalkan hati nurani dan lebih mementingkan kepentingan investor. Mereka mengabaikan pelegalan pemotongan upah dan pencabutan pesangon para buruh atas nama undang-undang.
Turut bergabung dalam mimbar bebas bertajuk "Merayakan Kebobolan Sang Penjaga Demokrasi" ini adalah Unit Kajian Sosial dan Kemasyarakatan (UKSK) Universita Pendidikan Indonesia (UPI), Sema Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB), BEM KM Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), dan Forum Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung. Selama aksi, mereka membentangkan poster-poster penolakan mengarah kepada pengguna lalu lintas di Jalan Ir. Djuanda. Tertulis dalam poster-poster itu: "Cabut Undang-Undang Cipta Kerja", "Stop Represi pada Rakyat", dan "Jokowi Fasis".
Sebagaimana diketahui, pada Senin 2 Oktober 2023 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sejumlah kelompok buruh terhadap Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Tidak hanya di Bandung, keputusan ini menuai protes dari beragam elemen masyarakat di berbagai kota di Indonesia.
Adinda, anggota UKSK UPI, menyebut bahwa idealnya memang UU Cipta Kerja dicabut dan jangan diberlakukan. Namun persoalannya, sejak 2019 hingga putusan MK yang terbaru, negara menunjukkan "kediktatorannya". Ketika MK memutuskan UU Ciptaker berstatus inkonstitusional bersyarat dan tidak mengeluarkan UU turunan pada 2020, pemerintah terus mengeluarkan regulasi turunan demi kelancaran investasi.
Adinda mencontohkan kasus-kasus yang terjadi di Pulang Rempang dan yang terbaru di desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Berjuang menuntut hak, tiga warga tertembak dan satu di antaranya meninggal terkena peluru polisi. Pembukaan lapangan kerja pada kenyataannya dibarengi dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Kenapa pemerintah itu membuka lapangan pekerjaan dengan melucuti hak hidup rakyatnya?" kata mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini.
Menurut Adinda, pemberlakukan UU Ciptaker juga bakal berdampak besar bagi para mahasiswa. Mulai dari biaya kuliah yang mahal hingga nanti urusan lapangan kerja.
Petang itu, para mahasiswa menyuarakan pendapatnya untuk menolak putusan MK. Juga mereka bersolidaritas kepada seluruh rakyat yang akan mendapatkan penindasan dan menjadi korban pembangunan. Selain orasi, para mahasiswa menumpahkan ide lewat pertunjukan musik dan pembuatan mural.
Seperti Adinda, Ichsan Nurdiansyah, Presiden Mahasiswa BEM KM Unjani, menyakini UU Ciptaker bakal menyengsarakan dan merugikan masyarakat kecil. Aturan ini dapat melegalkan perampasan aset maupun lahan.
Ichsan turut membuat mural. Ia menggambar sosok hakim MK dengan balutan tentakel gurita di sekelilingnya sebagai simbol jeratan oligarki.
"Nanti ada tulisan ‘Mahkamah Keluarga’ karena kita gak bisa tutup mata kayak keluarga,” ucapnya. “Negeri ini seperti dicengkeram oleh segelintir orang itu."
Baca Juga: Turun ke Jalan, Mahasiswa Bandung Menolak Perpu Cipta Kerja
Buruh dan Mahasiswa Bandung Raya Menuntut Pencabutan UU Cipta Kerja ke DPRD Jabar
Kontroversial sejak Awal
UU Cipta Kerja bermula dari tahun 2019 ketika Presiden Joko Widodo berpidato tentang dibutuhkannya sebuah penyederhanaan regulasi menggunakan metode omnibus law. Hanya butuh waktu kurang dari tiga bulan untuk menyusun dan mengesahkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lewat putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional sehingga pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan turunan baru.
Pemerintah menanggapi keputusan itu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Ciptaker demi peningkatan iklim investasi, pemulihan ekonomi pasca Covid-19, serta pembukaan lapangan kerja massal. Perppu ini digugat kembali. Ketika proses hukum masih berjalan, pemerintah malah mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
UU No. 6 Tahun 2023 ini yang kemudian digugat kembali oleh sejumlah serikat buruh dan kalangan masyarakat sipil. Terdapat lima gugatan uji formal yang oleh majelis hakim dinyatakan tidak diterima secara seluruhnya. Dengan keputusan itu, UU No. 6 Tahun 2023 itu tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan berlaku.
Dalam siaran pers mereka, UKSK UPI, Sema STHB, BEM KM Unjani, dan FMN Bandung menyatakan sikap sebagai berikut:
- Pengesahan UU Cipta Kerja adalah bukti kediktatoran Rezim Jokowi-Ma'ruf Amin terhadap konstitusi dengan tak mengindahkan putusan MK bahwa UU Cipta Kerja berstatus Inkonstitusional Bersyarat. Akan tetapi, rezim tetap menerbitkan berbagai aturan turunan yang dapat memperkuat posisi UU Cipta Kerja.
- Pemberlakuan UU Cipta Kerja adalah bukti bahwa rezim Jokowi-Ma'ruf Amin hanya mau tunduk pada kepentingam investasi dengan melucuti hak hidup rakyat Indonesia melalui perampasan upah, tanah, kerja.
- Putusan MK tentang UU Cipta Kerja juga adalah bukti bauwa lembaga yudikatif hari ini sudah dapat menjadi alat kepentingan rezim yang dibuktikan dengan adanya campur tangan rezim dengan menerbitkan revisi UU MK yang melemahkan independensi lembaga sehingga terjadinya pengkhianatan terhadap demokrasi.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Awla Rajul, atau juga artikel-artikel tentang aksi mahasiswa Bandung