• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #46: Desa Bayangan

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #46: Desa Bayangan

Jika bayangan kita sejak dulu terhadap desa adalah bayangan keindahan mengenai alam, kini justru sebaliknya. Desa yang sekarang kita tinggali hanyalah desa bayangan.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Jalan yang rusak karena terdampak pembangunan jalur ganda kereta api Bandung-Cicalengka. (Foto: Muh. Zaky Maulana Malik/Penulis)

16 Oktober 2023


BandungBergerak.id Bandung heurin ku tangtung, ungkapan ini mencirikan bahwa bangunan-bangunan yang ada membuat kota Bandung terlihat begitu sempit. Seiring waktu yang terus berjalan, ungkapan tersebut tampak juga berlaku hingga ke wilayah kabupaten, termasuk Cicalengka yang kini sudah laik disebut sebagai kawasan metropolitan. Dari tahun ke tahun perubahan wilayah ini terus menunjukkan ke arah drastis. Mal, konter-konter elektronik disertai toko kecil lainnya turut memperlihatkan hiruk-pikuk masyarakat di Cicalengka. Kendatipun, hal ini tidak bisa diklaim sebagai suatu kemajuan, karena terdapat kesenjangan sosial yang masih belum dapat diselesaikan.

Selain itu, masifnya pembabatan lahan di area perbukitan dinilai telah menghilangkan identitas suatu desa yang berada di Cicalengka. Satu per satu perumahan dengan pelabelan asing yang menjanjikan dibangun tanpa memperhatikan risiko terhadap warga, sehingga lambat-laun menjadi bencana yang tidak terelakkan. Setiap tahun selalu saja ada banjir dengan skala besar atau bahkan longsor yang menerjang wilayah dataran tinggi di Cicalengka.

Di Desa Dampit, misalnya, yang merupakan salah satu titik paling parah selalu menjadi langganan bencana disebabkan oleh hilangnya lahan hijau yang tergerus oleh proyek pembangunan yang diinisiasi oleh pihak pemodal. Begitupun dengan desa lainnya seperti Tanjungwangi dan Narawita, sampai saat ini kondisinya terus bergeser ke arah pembabatan lahan untuk vila maupun perumahan. Tulisan besar yang bertengger dengan nama Buana Cicalengka Raya, dapat kita temui di Desa Narawita dengan lokasi yang cukup curam. Memang perumahan ini terlihat asri dan luas, namun letaknya yang berada di posisi kemiringan tampak cukup mengkhawatirkan.

Jika bayangan kita sejak dulu terhadap desa adalah bayangan keindahan mengenai alam, kini justru sebaliknya. Penglihatan kita terhadap desa tidak lagi tertuju pada pohon-pohon rimbun disertai dengan cuitan burung dan persawahan hijau. Desa yang sekarang kita tinggali hanyalah desa bayangan, karena terus disisipi dinding-dinding beton yang beralaskan keramik. Bahkan terkadang penglihatan kita terfokus pada alat-alat berat pengeruk tanah yang menjadi penanda akan dimulainya pembangunan baru.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #43: Anak dan Masa Depan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #44: Rintangan Kehadiran Pojok Baca
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #45: Hilang Acuan

Kondisi Desa-desa di Cicalengka

Kurang lebih sekitar dua bulan yang lalu, Komite Nasional Pemuda Indonesia Cicalengka mengadakan diskusi bertajuk Perubahan Masyarakat Desa. Diskusi tersebut diisi oleh Pijar Maulid selaku pembicara sekaligus sebagai pengurus KNPI Cicalengka. Dalam diskusi itu pembicara menyampaikan beberapa poin terkait desa. Pertama, mengenai karakteristik masyarakat desa. Kedua, mengenai tinjauan sejarah desa. Lalu yang ketiga, tentang perkembangan desa saat ini.

Saling-silang pendapat pun turut dalam diskusi ini, termasuk muncul kritik mengenai kondisi Cicalengka yang sudah jauh beralih dari desa ke kota. Dalam sistem administratif di Kabupaten Bandung, Cicalengka memang berlaku sebagai kecamatan. Tetapi, nama Cicalengka sendiri mencakup pada dua nama desa, yakni Desa Cicalengka Wetan dan Desa Cicalengka Kulon. Di samping itu kini dua desa tersebut bahkan berada di tengah-tengah pusat perekonomian. Sebagaimana alun-alun yang berada di kawasan Desa Cicalengka Kulon, sementara Pasar Cicalengka yang berada di Desa Cicalengka Wetan. Kedua desa ini merupakan wilayah sentral yang tidak luput dari hiruk-pikuk keramaian, bahkan terus mengalami penambahan pusat-pusat pembelanjaan yang jauh dari terminologi desa. Yang lebih menarik, seorang audiens menilai jika pertumbuhan desa atas nama pembangunan akan mencerabut karakteristik desa itu sendiri seperti yang ditunjukkan oleh dua desa di Cicalengka itu.

Tentu saja, diskusi pun semakin hangat. Pembahasan desa mengerucut pada konteks Cicalengka seiring dengan problem-problem ekologis lainnya dan juga teknologi yang kian berkembang menghampiri masyarakat.

Berkaca pada Kampung Adat

Selain sesi diskusi, KNPI Cicalengka juga menyajikan pemutaran film dokumenter yang berdurasi kurang dari satu jam. Film tersebut merupakan buah karya Dandhy Dwi Laksono dkk. yang diwadahi oleh Watchdoc Documentary dengan menampilkan tontonan ihwal tradisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Dalam film itu, ada banyak nilai-nilai kearifan yang bisa kita gali dan kita peroleh, di antaranya mengenai suatu karakteristik masyarakat desa yang ideal.

Meski melekat sebagai kampung adat, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak menolak arus perkembangan teknologi seperti televisi yang masuk ke area desa. Malah mereka mempercayai bahwa teknologi sangat dibutuhkan untuk kepentingan warga lokal yang diwujudkan ke dalam bentuk solidaritas gotong royong, seperti membuat siaran televisi yang cakupannya bisa ditangkap untuk warga sekitar saja. Lalu, mereka juga berhasil membuat pembangkit listrik tenaga air dengan memanfaatkan aliran sungai yang ada. Semua ini tentu saja dihasilkan berkat usaha solidaritas gotong royong masyarakat desa Kasepuhan Ciptagelar. Yang jelas, dalam keyakinan mereka apa yang sudah ditanam oleh para leluhur tidak boleh dikurangi. Hal ini berlaku pada hasil kekayaan alam seperti beras atau padi, sehingga dari kepercayaan ini mereka bisa hidup dari alamnya sendiri dan tidak bergantung pada pemerintah.

Itulah mengapa setiap tahunnya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menggelar ritual seren taun. Upacara ini disebut-sebut sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus merupakan penanda datangnya keberkahan alam berupa hasil panen padi yang dapat menghidupi semua warga Kasepuhan Ciptagelar. Biasanya, padi hasil panen yang melimpah itu dimasukkan ke dalam leuit atau lumbung padi dengan pasokan yang bisa digunakan cukup lama. Tradisi seperti ini, sebetulnya, bisa juga dijumpai di dalam masyarakat adat Sunda lainnya seperti di Kanekes, Lebak, Banten. Yang pasti, karakteristik desa ideal telah diwujudkan oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, yang tidak hanya memanfaatkan dan memelihara kekayaan alam sebagai kebutuhan utama, tetapi juga memanfaatkan arus teknologi untuk keperluan warga tanpa harus merusak alam.

Berangkat dari konteks itu, kita mesti berkaca bahwa istilah pembangunan desa tampaknya tidak sesuai bila pembangunan disisipi dengan kepentingan politik dan ekonomi. Konsep pembangunan desa ala pemerintah, misalnya, tentu akan berbenturan karena bagi mereka pembangunan dapat memperlihatkan kemajuan yang sekadar gimik, atau bahkan bisa menghasilkan suatu nilai ekonomis. Demikianlah, bila hal ini terus dijalankan, maka desa yang kita tinggali hanyalah desa bayangan akibat hilangnya nuansa alam yang bisa dinikmati secara cuma-cuma.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Muhammad Luffy atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//