MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #8: Antara Meneruskan Pendidikan Agama Atau ke Sekolah Umum
Popularitas KH Zainuddin MZ berjuluk Dai Sejuta Umat di awal 1980an memotivasi banyak orang tua dan generasi muda menuntut ilmu di bidang pengajaran agama Islam.
Asmali
Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.
22 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Di usiaku yang sudah menginjak remaja, mulai banyak hal yang aku ingat dan menentukan jalan hidupku kelak. Seperti saat aku harus memilih pendidikan yang akan aku tempuh setelah tamat SMP ini. Iya, seingatku waktu itu aku mengurus semua proses kelulusan sendiri. Tidak ada orang tua datang ke sekolah. Di hari kelulusan, aku pulang dengan membawa ijazah dan bukti lulus sendiri lalu menyerahkannya kepada orang tuaku. Tidak lama aku tiba dan orang tua melihat ijazahku, mereka nyatanya telah memiliki rencana untuk ke mana aku meneruskan jenjang pendidikan menengah atasku.
Waktu itu memang banyak sekali pilihan. Selain Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang kini lebih dikenal sebagai Sekolah Menengah Atas atau SMA atau juga Sekolah Teknik Menengah atau STM yang kini disebutnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Namun pilihan orang tuaku ternyata bukan di dua sekolah jenis ini. Mereka berharap aku bisa meneruskan sekolah di Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri atau SP IAIN.
Pada masa itu, SP IAIN adalah sekolah setingkat SMA yang dipersiapkan bagi calon mahasiswa IAIN. IAIN adalah institut agama Islam yang ada di sejumlah daerah di Indonesia yang belakangan lebih dikenal dengan nama Universitas Islam Negeri (UIN). Di Jakarta, kampus IAIN-nya bernama IAIN Syarif Hidayatullah dan rintisannya sudah berdiri sejak 1957.
Tetapi jujur saja, aku sendiri tidak langsung sreg dengan rencana Baba-ku. Aku yang saat itu tidak terpikir untuk meneruskan ke SP IAIN agak malas mendengarnya. "Waah, bakalan (duduk) sila terus nih. Masa mau sila terus," begitu pikirku.
Ya mungkin orang tuaku memilih SP IAIN bukan tanpa sebab. Ia melihat potensiku. Sejak kecil aku sudah punya basic kuat di ilmu agama dan di usia SMP sudah mengajar ngaji. Tapi saat itu aku mungkin berpikir untuk mencoba hal baru. Dalam hatiku, aku sudah sering duduk sila. Ngajar ngaji di rumah, bersila. Ngaji malam Senen, bersila juga. Ngaji matan Jurumiah, bersila lagi. Begitu yang aku tahu waktu masih kecil.
Ngomong-ngomong soal pengajaran agam Islam, seingatku saat itu, jelang awal dekade 80an, memang pengajaran agama Islam sedang ramai-ramainya. Salah satu sosok yang sangat populer KH Zainuddin MZ. Ia adalah seorang penceramah yang hingga kini masih terkenal karena punya gaya yang khas. Zaman dulu ceramahnya diduplikasi ke media kaset pita, dan sering terdengar diputar di mana-mana. Entah masjid atau di lingkungan rumah. Kesuksesan penceramah yang punya titel "Da'i Sejuta Umat" inilah yang mungkin menjadi motivasi juga bagi banyak orang tua dan generasi muda agar fokus menuntut ilmu di bidang pengajaran agam Islam.
Aku ingat di eranya Pak Zainuddin MZ, banyak ustaz yang memaksakan untuk mengikuti gaya beliau. Suaranya dibuat kencang dengan cengkok yang mengikuti cengkok pak Zainuddin. Tapi yang orisinal tetap tidak bisa ditiru. Itu sudah suratan takdir yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Setiap orang sudah punya khas dan kemampuan masing-masing untuk saling mengisi alam dunia ini.
Itu juga yang menjadi dasar pikiranku saat itu. Jika jalanku adalah jalan dakwah, aku yakin bisa melakukannya tidak hanya lewat ceramah, tetapi bisa juga lewat tulisan, perkataan, atau bahkan perilaku kita sehari-hari yang mencerminkan nilai ke-Islam-an. Seperti kerapian berpakaian, bisa dari perilaku. Yang ke semuanya bisa di jadikan contoh untuk orang di sekitarnya, sesuai dengan ilmu yang didapat.
Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #5: Sowan ke Habib, Ngaji d Malem Senen
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #6: Masa SMP, Membantu Orang Tua, dan Mengajar Ngaji
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #7: Mengenal Dunia Luar Lewat Pelesiran
Tetap ke SP IAIN
Meski pikiranku berkecamuk tentang rencana Baba untuk menyekolahkanku ke SP IAIN, aku tidak mau begitu saja mengecewakannya. Suatu hari, ia mengajakku untuk melihat sekolah yang ia maksud. Apakah datang untuk daftar ataukah hanya untuk melihat-lihat, aku tak ingat.
Setelah sampai di tempat yang dituju, aku tidak bilang apa-apa. Hati kecilku memang tidak tertarik dari awal. Tapi hendak menolak, aku sendiri belum punya cita-cita entah ke mana. Belum ada yang pasti. Baba-ku juga tidak banyak bicara. Ia memang tipikal orang yang begitu. Hingga pulang dari SP IAIN itu, belum ada keputusan apakah aku akan sekolah di situ atau tidak.
Barulah sore harinya, saat aku hendak pamit main ke lapangan, Baba menanyakan pendapatku tentang rencana dia menyekolahkanku di SP IAIN. Di kampungku, sore hari biasanya memang banyak kegiatan di lapangan. Entah ada yang bertanding voli, sepak bola, atau sekadar nongkrong. Banyak yang bilang, tanah lapang itu punya orang tuaku.
"Sekolah yang tadi itu gimana?" tanya Baba.
"Pengen ke (STM) Penerbangan aja, Ba," jawabku pendek.
STM Penerbangan atau sekarang dikenal sebagai SMK Negeri 29 Jakarta adalah salah satu STM mentereng di Jakarta. Letaknya di Kebayoran Baru. Dulu, sekolah ini punya potensi dan peluang bagi lulusannya karena spesialisasinya di bidang teknologi pesawat udara.
Baba-ku diam sejenak. Ia lalu bertanya lagi. "Kenapa jadi ke situ?
Aku menyambungnya: "Pengen ke situ aja."
Tidak ada tanggapan lagi dari Baba. Aku pun berangkat ke lapangan. Tapi baru beberapa hari kemudian, Baba mendatangkan sejumlah temannya ke rumah. Beberapa di antaranya adalah anggota AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang berafiliasi ke STM Penerbangan yang aku maksud.
Hari berikutnya aku didaftarkan ke sekolah tersebut, menjalani tes, dan Alhamdulillah diterima.