• Kolom
  • SALAMATAKAKI #25: Setiabudi 56, Lou Belle, Marine, dan Ingatan-ingatan

SALAMATAKAKI #25: Setiabudi 56, Lou Belle, Marine, dan Ingatan-ingatan

Sejarah mencatat Marine Ramdhani sebagai salah satu pendiri FFWD Reccords. Ia juga pendiri Lou Belle yang menjadi persinggahan dan ruang kreatif dari waktu ke waktu.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Menonton video wawancara Marine dengan Atap Class seperti mengobrol langsung dengan Marine (2023). (Foto: Sundea)

24 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Begitu bangun dan melihat unggahan pertama di lini masa Instagramku pada 11 Oktober 2023, nyawaku seakan terkumpul instan. Wajah Marine Ramdhani, pemilik Lou Belle, terpampang bersama ucapan bela sungkawa. Aku buru-buru mencari informasi lain dari media sosial. Tidak banyak yang kutemukan selain beliau berpulang pada 10 Oktober 2023 pukul 21.45 di Rumah Sakit Advent, Bandung.

Berbagai peristiwa berkerumun dalam ingatanku seperti sekelompok kunang-kunang; kecil-kecil bersahaja tetapi bercahaya. Aku mencoba menyusunnya satu persatu.

Kaki Dea di Lou Belle. (Foto: Sundea)
Kaki Dea di Lou Belle. (Foto: Sundea)

Apa yang Kuingat Tentang Lou Belle

Aku lupa kapan pertama kali aku datang ke Lou Belle. Namun, yang kuingat, saat zine-zine-an daringku masih rutin terbit lima artikel per minggu sekitar 2010-2015, Lou Belle adalah salah satu tempat yang cukup sering kusambangi untuk mencari bahan tulisan. Menurutku Lou Belle serba ada. Selain menyediakan barang-barang unik untuk dijual, acara yang diadakannya pun penuh kejutan dan beragam.

Aku pernah menulis artikel tentang “Layung Berkarat” (2010), konser kolaborasi Risa Sarasvati dan Karinding Attack yang ditutup epik dengan lagu “Kala Sang Surya Tenggelam” persis saat tirai langit turun. Aku juga pernah menghadiri perilisan EP 70s Orgasm Club “Antara Cinta, Benda Terbang Aneh, dan Psikedelia” (2012) yang disertai pameran pembuatan ulang sampul EP. Serunya, seniman-seniman yang diundang dipersilakan merekreasi sampul EP sesuai interpretasinya masing-masing. Acara unik lain—yang sayangnya kulewatkan—adalah “Plantasia” (2020), konser Bottlesmoker yang diadakan di masa pandemi. Berhubung kita masih dalam mode menjaga jarak di masa itu, konser dihadiri oleh tanaman-tanaman yang diantar pemiliknya ke Setiabudi 56.

Lou Belle adalah tempat yang tidak membatasi kreativitas. Ruang tersebut berusaha mewujudkan ide aneh apa pun yang terbit di pikiran seniman. Setahuku, tak hanya konser, Lou Belle pun sempat mengadakan peragaan busana, pameran seni rupa, pameran logo, grafiti, bahkan membuka ruangnya untuk “bengkel” eksplorasi karya.

Recycle Experience dan karya mereka di Lou Belle (2010). (Foto: Sundea)
Recycle Experience dan karya mereka di Lou Belle (2010). (Foto: Sundea)

“Lou Belle bisa jadi sekadar tempat nongkrong, tempat lihat-lihat toys art, tempat nunggu kuliah selanjutnya, hingga tempat untuk ngobrolin sebuah project,” ujar Evan Driyananda dari Recycle Experience, seniman yang membuat mainan dengan benda-benda temuan.

Ada masanya Evan dan Attina, partnernya di Recycle Experience, berkarya dan menitipkan karya-karya mereka—terutama yang besar-besar—di Lou Belle. Sekitar tahun 2010, Marine yang kebetulan sedang tertarik juga dengan toys art movement mengajak Recycle Experience bergabung dengan Lou Belle dan mengadakan pameran bertajuk “My Secret Garden” di sana.

Selain mencari bahan tulisan, teman-teman adalah alasanku sering mampir ke Lou Belle. Secara lokasi Lou Belle strategis, mudah dijangkau dengan kendaraan umum, dan searah dengan jalan pulang ke rumahku. Hampir semua temanku pun terhubung dengan Marine. Maka, cukup sering aku dan teman-teman janjian bertemu di Lou Belle, terutama sejak Evan bekerja sebagai direktur seni di Lou Belle.

Aku mengingat Lou Belle sebagai tempat yang hangat dan terbuka. Aku ingat kantor kecil di samping ruang utama, ruang dengan jendela-jendela tempat Recycle Experience menyimpan karya-karya mereka yang berukuran besar, balong kecil di depan pintu kaca, kebun belakang tempat konser-konser musik yang intim biasanya diadakan, bahkan Kimmy, Golden Retriever peliharaan Marine yang sering menemani Evan dan Attina bekerja.

Dekorasi piring terbang di pintu masuk saat pameran Antara Cinta, BendaTerbang Aneh, dan Psikedelia (2012). (Foto: Sundea)
Dekorasi piring terbang di pintu masuk saat pameran Antara Cinta, BendaTerbang Aneh, dan Psikedelia (2012). (Foto: Sundea)
Sejak 2015, aku mulai jarang berkunjung ke Lou Belle. Zine-zine-an daringku tidak lagi terbit rutin lima artikel per minggu. Evan dan Attina menikah dan tak lagi bekerja di Lou Belle. Ritme hidupku dan teman-teman berubah. Begitu berubahnya sampai konser “Plantasia” luput dari pantauanku.

Selepas pandemi, barulah aku mendapati keberadaan plang North Wood di Setiabudi 56. Ini sejak kapan? Kok bisa-bisanya aku nggak tahu? Lou Belle-nya masih ada nggak, ya? Aku bertanya-tanya dalam hati.  Beberapa bulan sebelum Marine berpulang, akhirnya aku menyempatkan diri mampir ke North Wood yang ternyata restoran cepat saji.

“Marine masih di sini?” tanyaku kepada pramuniaga North Wood sambil menunggu kopiku.

“Masih. Mau ketemu Marine, ya?” sang pramuniaga balik bertanya.

“Oh, bukan, sih,” sahutku.

Saat itulah aku menyadari, belum pernah satu kali pun aku datang ke Lou Belle untuk menemui Marine. Namun, Marine kuingat sebagai karakter yang ada di setiap episode. “Marine itu sosok yang ikonik banget, unik, cuma ada satu orang yang tipenya seperti dia,” kata Evan ketika mengenang Marine. Aku sepakat dengan Evan.

Setelah menyusun kembali kunang-kunang ingatan yang berkerumun di kepalaku, aku menempatkan “Marine Ramdhani” sebagai ingatan tentang nama yang besar. Bersama Helvi Sjarifuddin dan Didit Eka, Marine mendirikan FFWD Reccords, label musik yang menjadi arus penggerak musik independen di Indonesia.

“FFWD dulu bantu distribusi musik-musik indie,” ujar Kimung, inisiator Karinding Attack yang pernah juga menjadi basis Burgerkill.

Konser Layung Berkarat Risa Sarsvati dan Karinding Attack (2010). (Foto: Sundea)
Konser Layung Berkarat Risa Sarsvati dan Karinding Attack (2010). (Foto: Sundea)

Banyak band besar yang lahir dari FFWD Reccords. Sebut saja Mocca, Pure Saturday, dan Homogenic. Sebagai label musik independen paling besar pada zamannya, FFWD Reccords membesarkan label musik independen lain melalui kekuatan jejaringnya. Bisa dibilang, berkat FFWD Reccords-lah musik-musik independen di masa itu berdaya naik ke arus utama.

Namun, seperti apakah Marine Ramdhani sebagai pribadi? Sebetulnya Lou Belle di Setiabudi 56 dibuat sebagai ruang apa? Bagaimana tempat tersebut terbentuk? Sebagai seseorang yang sering mampir ke Lou Belle, ternyata sedikit sekali informasi penting yang kutahu mengenai tempat itu. Maka, aku memutuskan untuk mencari tahu.

North Wood, Setiabudi 56 saat ini (2023). (Foto: Sundea)
North Wood, Setiabudi 56 saat ini (2023). (Foto: Sundea)

Baca Juga: SALAMATAKAKI #22: Mendaras Aman Pertama
SALAMATAKAKI #23: Vici Book Club Hendak Menaklukkan Siapa?
SALAMATAKAKI #24: Tinkering dan Euforia Bentuk

Setiabudi 56, Lou Belle, dan Marine Ramdhani

Aku mencoba mengobrol dengan beberapa teman. Saat tahu aku akan menulis tentang Lou Belle, Kimung mengizinkanku meminjam dokumentasi wawancara Marine dengan Atap Class, kelompok belajar yang diampu Kimung. Kimung jugalah yang menginformasikan bahwa Marine berpulang akibat abses paru-paru. Setelah kurang lebih dua minggu dirawat di rumah sakit, Marine dipanggil Tuhan.

Berdasarkan informasi-informasi yang kukumpulkan, tahulah aku aktivitas di Setiabudi 56—rumah Marine—sudah berlangsung lama sekali dan berganti-ganti kegiatan. Mulai dari pusat kegiatan FFWD Reccords, lini busana Monik, toko konsep, sampai akhirnya gabungan berbagai tenant dan kantor.

Nama Lou Belle sendiri resmi lahir pada tahun 2009, setelah lini busana Marine mengalami penurunan di tahun 2006. “Kemampuan saya untuk melakukan branding dan produksi tidak cukup memungkinkan,” cerita Marine dilansir dari video dokumentasi Atap Class. Sebagai upaya untuk terus bergerak, Marine mulai membuat mekanisme agar orang-orang menitipkan barang dagangannya di Setiabudi 56.

Sebagai toko konsep dan busana, Lou Belle Shop menyediakan tempat distribusi untuk lini-lini baru. Sementara itu, Lou Belle Space membuka kemungkinan kegiatan-kegiatan kreatif. Tahukah teman-teman bahwa pada tahun 2011, Lou Belle-lah yang menjadi tempat pertama Efek Rumah Kaca tampil di Bandung? Pernah pula diadakan sesi live cooking bersama almarhum Elgunawan dari Pandjalu.com pada tahun 2012. Tak hanya itu, Lou Belle pun membuka kemungkinan bekerja sama dengan event organizer. “Nggak usah bayar, kolaborasi aja, akhirnya nanti sharing,” ungkap Marine.

Namun, zaman berubah. Setelah penjualan melalui media sosial kian marak, pada tahun 2015-2016, omzet Lou Belle Shop merosot dan toko terpaksa disusutkan hingga hampir 90 persen. Banyak lini memilih tak menitipkan barang di Lou Belle lagi, tetapi menjualnya sendiri melalui media sosial. Mulai tahun 2017, Lou Belle memulai kembali dari 0. Ruang tersebut mengubah konsep jenama, merambah ke tanaman, menyewakan ruang-ruangnya untuk kantor, juga bekerja sama dengan restoran cepat saji North Wood demi perputaran ekonomi.

Suasana kebun belakang Setiabudi 56 saat ini (2023). (Foto: Sundea)
Suasana kebun belakang Setiabudi 56 saat ini (2023). (Foto: Sundea)

Kesenian—terutama musik—tetap menjadi darah yang mengalir di tubuh Setiabudi 56. Lou Belle masih menyediakan tempat untuk acara-acara musik, antara lain di bawah bendera Lou Belle Collective, tetapi dengan musik-musik yang tak lagi keras. “Banyak tetangga. Bukannya nggak suka distorsi, tapi cuma mengadaptasi lingkungan sekitar aja,” ungkap Marine ketika diwawancara oleh Atap Class.  

Melalui obrolan santai yang direkam pribadi oleh Kimung, aku jadi tahu Marine memang sudah menunjukkan kecintaan kuat pada musik sejak masih kecil. Dimulai dari ikut mendengarkan vinyl bersama sang kakek, mengikuti musik-musik yang diminati pamannya, sampai curi-curi mendengarkan The Beatles di masa SD. Kecintaan pada musik terus berlanjut. Marine sempat bermain band di masa remaja, tetapi pada akhirnya lebih tertarik menjadi manajer. Ia terbuka untuk jenis musik apa saja dan menyimak setiap referensi baru dengan penuh minat.  

Jika kuperhatikan, segala hal yang dilakukan Marine bermuara pada musik. Bahkan FFWD Reccords yang lahir pada tahun 1999 berangkat dari lini busana bernama Reverse. Aku ingat, di masa remajaku, industri musik independen memang bertaut erat sekali dengan lini busana, terutama kaus-kaus distro.

“Bagaimana Lou Belle bisa menjadi ruang berkumpul para musisi Bandung?” tanya teman-teman dari Atap Class. “Kayak bergulir aja semuanya. Semua terjadi karena kesenangan. Kebetulan saya punya label, kebetulan Pure Saturday teman-teman SMP saya, dan kebetulan saya juga suka musik. Kalau network-nya dibantu teman-teman semua,” jawab Marine rendah hati.

Ketika ditanya apa rencana Lou Belle ke depan, Marine menjawab, “Kita konsisten begini aja dulu. Biarpun cuma segini, tapi maksimal.” Marine tak ingin muluk-muluk membuat perubahan ekstrem. Baginya konsistensilah yang akan membawa perkembangan. Ia tak berambisi untuk buru-buru memperluas apa lagi jika belum cukup kokoh untuk mempertahankan. Ketika ditanya apakah Lou Belle ada rencana untuk membuat acara-acara musik besar lagi, Marine lagi-lagi menjawab dengan rendah hati, “Mungkin belum porsinya saya, seenggaknya untuk sekarang.”

Menurutku konsistensi Lou Belle justru ada pada janji  tak tertulisnya untuk terus bergerak. Entah disadari atau tidak, Marine selalu fleksibel dan terbuka berdiplomasi dengan zaman, perubahan, dan segala konsekuensinya. Kegiatan utama di Setiabudi 56 berganti-ganti, orang-orang yang ada di sekelilingnya datang dan pergi, tetapi Marine senantiasa terbuka untuk orang-orang dan kemungkinan-kemungkinan baru. Ia tak pernah merasa dirinya sudah tahu segalanya sehingga ia tak pernah berhenti belajar dari siapa saja. “Pengin update aja. Aplikasi aja di-update,” canda Marine kepada Atap Class ketika bercerita tentang Generasi Z yang belakangan memenuhi Setiabudi 56. Entah sejak tahun berapa ruang-ruang di Setiabudi 56 disewakan untuk kantor-kantor anak muda. Marine percaya visi dipegang oleh mereka yang masih muda dan tengah menjadi penggerak zaman. “Yang tua-tua visinya jaga rumah,” canda Marine lagi.   

Selama ini kupikir nama Marine Ramdhani besar karena perannya di skena musik independen. Ia tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pendiri FFWD Reccords. Ia adalah tuan rumah Lou Belle yang menjadi persinggahan dan ruang kreatif dari waktu ke waktu. Namun, setelah menulis artikel ini, kusadari nama Marine Ramdhani lebih besar daripada itu. Ia mempunyai hati yang lapang untuk menerima dan melepaskan siapa saja. Ia mempunyai bentang pikiran yang tak terbatas zaman sehingga mampu menyesuaikan diri dengan segala masa. Ia membuka Setiabudi 56 seluas-luasnya tanpa pernah takut kehabisan ruang untuk dirinya sendiri. Ia membagi jejaringnya tanpa pamrih, memberi jalan bagi banyak orang yang mampir di hidupnya sehingga mereka menjadi besar, sementara dirinya sendiri hadir di setiap episode sebagai cameo yang ikonik.

Suasana konferensi pers Mocca (2011). (Foto: Sundea)
Suasana konferensi pers Mocca (2011). (Foto: Sundea)

Tiba-tiba aku teringat pada satu-satunya obrolan panjangku dengan Marine pada tahun 2011. Ketika itu aku datang ke Lou Belle untuk menghadiri konferensi pers pamitnya Mocca dari industri musik. “Yang ditinggal biasanya lebih sedih daripada yang meninggalkan. Sebagai label, ini mungkin siklus aja, kita harus cari Mocca-Mocca yang baru, tapi belum ada yang kayak Mocca. Mocca semuanya berjalan natural,” kata Marine ketika itu.

Kalimat Marine mungkin berlaku untuk ingatan-ingatan tentang dirinya hari ini. Bisa jadi orang-orang yang ditinggalkannya lebih sedih daripada ia yang meninggalkan. Sebagai proses, hidup dan mati mungkin hanyalah siklus. Namun, bisakah kita mencari Marine baru yang berjalan senatural dirinya? Tanpa Marine Ramdhani, Setiabudi 56 tak akan pernah sama lagi.

Terima kasih banyak untuk Kimung, Atap Class, dan Evan REEXP yang bersedia jadi narsum.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//