• Berita
  • Cekungan Bandung Tercabik-cabik Bisnis Properti

Cekungan Bandung Tercabik-cabik Bisnis Properti

Cekungan Bandung (Bandung Raya) dilanda pembangunan industri dan properti. Alih fungsi lahan masif terjadi di Bandung Selatan. Daerah tangkapan air kian sempit.

Permukiman warga terus merebut ruang terbuka hijau sebagaimana terlihat di kawasan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jumat, 23 April 2021. Cimenyan merupakan bagian dari kawasan Bandung utara (KBU) yang pengelolaannya membutuhkan kolaborasi kuat di antara pemerintah-pemerintah daerah di Cekungan Bandung. (Foto: Virliya Putricantika)

Penulis Emi La Palau25 Oktober 2023


BandungBergerak.idTata ruang Bandung Selatan terus tercabik-cabik alih fungsi lahan. Kawasan produktif pertanian berubah menjadi permukiman atau bisnis properti dan tempat wisata. Ketersediaan air di wilayah ini kian terkikis. 

Beberapa daerah yang terdampak berubahan besar tata ruang Bandung Selatan di antaranya Pangalengan. Dataran tinggi berhawa dingin ini mulai disulap menjadi wilayah yang menjajakan jasa pariwisata. 

Tak hanya Pangalengan, wilayah lainnya di Bandung Selatan juga marak mengalami alih fungsi lahan dari pertanian ke permukiman, yaitu kecamatan Baleendah, Bojongsoang, Ciparay, Arjasari, Katapang, Soreang, Majalaya, Solokan Jeruk, Cicalengka, dan Rancaekek.

Direktur Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Ahmad Gunawan memaparkan, dibukanya lahan-lahan di kawasan Pangalengan untuk beralih ke lahan wisata menjadi ancaman besar terhadap kondisi ekologis. Terlebih Pangalengan merupakan daerah yang airnya masih berlimpah. 

“Ini ancaman ke depan untuk krisis air. Berbicara krisis air, pertama air melimpah di musim hujan. Dan kekeringann di musim kemarau,” kata Ahmad Gunawan, dalam konferensi Pers Gempar Gempur Tata Ruang Bandung Selatan, di Bandung, Selasa, 24 Oktober 2023.

Di sisi lain, meningkatnya kawasan permukiman di Bandung Selatan terjadi sangat signifikan. Permukiman bahkan mendesak kawasan pertanian. 

Dalam dokumen KLHS Tata Ruang dan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung, terdapat lonjakan jumlah kawasan pemukiman yang sangat signifikan. Pada RTRW 2016-2036, total kawasan pemukiman sebesar 33.458,53 hektare. Angka ini naik menjadi 42.201,87 hektare pada RTRW 2023-2043. Kenaikannya mencapai 8.743,34 hektare.

Data permukiman pada RTRW 2023-2043 dibagi dua, yaitu permukiman perdesaan dan pemukiman perkotaan, Kawasan pemukiman yang paling luas adalah kawasan properti perkotaan yakni sebesar 35.951,00 hektare.

Lahan permukiman-permukiman tersebut paling banyak mencaplok kawasan pertanian. Hal ini bisa dilihat dalam data pengurangan lahan pertanian RTRW 2016-2036 dari 39.422,96 hektare menjadi 34.068,35 hektare. Dari data ini terlihat terjadi pengurangan lahan pertanian sebesar 5.354,61 hektare.

“Dari data ini terjadi alih fungsi dari lahan pertanian menjadi permukiman. Ini sudah terbukti di Baleendah, Arjasasi sudah banyak (permukiman), Bojongsoang,” ungkap Ahmad Gunawan.

Ahmad menambahkan, konglomerat properti turut meramaikan alih fungsi lahan di kawasan Bandung Selatan. Sebagai contoh, Agung Podomoro Land menghabiskan hampir 100 hektare sawah. Perumahan modern ini berdiri di dekat dengan IPAL PDAM Kota Bandung.

Cekungan Bandung (Bandung Raya) dilihat dari kampus UPI, Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/3/2022). Bandung Raya diprediksi mengalami lonjakan jumlah penduduk seiring tingginya pembangunan di Kota Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Cekungan Bandung (Bandung Raya) dilihat dari kampus UPI, Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/3/2022). Bandung Raya diprediksi mengalami lonjakan jumlah penduduk seiring tingginya pembangunan di Kota Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Ancaman terhadap Sumber Daya Air

Maraknya pembangunan permukiman berdampak pada tutupan lahan. Semakin luasnya kawasan pemukiman maka akan mempersempit luasan daerah resapan air. Seburuk-buruknya wilayah pertanian masih bisa meresapkan air. Berbeda dengan lahan permukiman, tanah-tanah akan tertutup dengan tembok dan aspal jalan.

Celakanya lagi, kawasan permukiman tersebut berada di daerah tangkapan air mikro daerah aliran sungai, di antaranya mikro DAS Cipelah, Kelurahan Wargamekar, Kecamatan Baleendah.

Berdasarkan data KLHS RTRW 2023-2043 Kabupaten Bandung, Kecamatan Baleendah dari sisi ketersediaan air sudah minus 9.559.297 liter per tahun. Dengan semakin berkurangnya daerah resapan air maka akan meningkatkan ketergantungan pasokan air dari daerah lain.

Lebih parah lagi, Kabupaten Bandung sudah ditetapkan menjadi bagian dari KSN Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung. Kebijakan ini memungkinkan terjadinya alih fungsi lahan lebih masif.

Dalam Perpres No. 45 tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, kabupaten Bandung ditetapkan sebagai salah satu destinasi wisata. 

Fungsi tersebut sudah terlihat dengan pembangunan kawasan wisata yang masif di Kabupaten Bandung seperti yang terjadi di Pangalengan. Pembangunan objek wisata ini merebut hak-hak air, seperti dalam pembangunan kamping glamor yang masuk sampai ke badan Sungai Cisangkuy.

Pengembangan kawasan wisata di Bandung Selatan juga akan mengundang banyak investasi untuk mendirikan bangunan seperti villa dan hotel.

Ancaman sumber daya air yang lain adalah perluasan kawasan Industri. Dalam dokumen KLHS RTRW Kabupaten Bandung 2023-2043, terdapat penambahan kawasan industri seluas 388 hektare. RTRW 2016-2036 kawasan industri di Kabupaten Bandung sebesar 4.386 hektare, meningkat pada RTRW 2023-2043 menjadi 4.774,88 hektare. 

Meskipun penambahan kawasan industri tidak terlalu luas, namun kawasan industri membutuhkan sumber daya atau daya dukung alam yang lebih besar dibandingkan dengan permukiman. Di antaranya adalah daya dukung air dan energi.

Di saat yang sama, distribusi air juga masih terjadi masalah. Jaringan PDAM masih belum mampu mencapai semua wilayah yang ada di Kabupaten Bandung. Konflik perebutan air masih sering terjadi di kawasan pertanian di Kabupaten Bandung. 

Bahkan di Kecamatan Pangalengan yang menurut data ketersediaan air terjadi surflus, terjadi konflik perebutan air antara petani. Hal ini juga terjadi di Banjaran dan kecamatan lainnya. Ini menunjukan bahwa distribusi air di Kabupaten Bandung bermasalah.

Permasalahan air di Kabupaten Bandung akan berdampak luas pada Kawasan Cekungan Bandung terutama Kota Bandung. Sungai Cisangkuy yang berada di kawasan Bandung Selatan erupakan salah satu sumber utama air baku PDAM Kota Bandung.

“Di kecamatan Baleendah celakanya permukiman dibangun di atas daerah tangkapan air. Warga di bawah akan merasakan dampaknya,” paparnya. 

Anehnya, cara pandangan pemerintah dalam menangani sumber daya air malah berorientasi pada pengaliran air ke hilir, bukan menangkap air agar cepat masuk ke dalam tanah.

Gunawan mengungnkapkan bahaa sebenarnya kabupaten Bandung sudah menempatkan salah satu pendekatan penyelesaian lingkungan dengan konsep penyelamatan micro DAS. Sayangnya, hal itu belum sepenuhnya dilakukan secara optimal.

Menghadapi kondisi tersebut, Gunawan telah menyusun rekomendasi atau tuntutan, yaitu:

1 Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bandung untuk melanjutkan penyusunan peraturan daerah tentang perlindungan Kawasan Bandung Selatan sebagai salah satu instrument pengendalian lingkungan dari ancaman ekspansi pembangunan yang akan merusak lingkungan terutama bentang-bentang air; 

2 Menuntut agar dilakukan penertiban pembangunan perumahan oleh pengembang realestate sehingga tidak membangun kawasan hunian di daerah tangkapan air dan resapan air.

3 Mengembangkan konsep hunian susun sebagai salah satu program penyediaan rumah layak bagi masyarakat;

4 Memastikan siapa pun yang akan membangun gedung/bangunan/rumah/pabrik mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dis eluruh wilayah Kabupaten Bandung. Dan menindak tegas pelanggar ruang. 

Baca Juga: Bencana Banjir dan Longsor Melanda Cekungan Bandung, Langkah BP Cekban Baru Sebatas Pelantikan
Penyebab Suhu Kota Bandung Terasa Lebih Menyengat
Melihat Kinerja Badan Pengelola Cekungan Bandung setelah 4 Tahun Dibentuk

Landskap Kota Bandung berlatar pegunungan selatan, Jumat (8/7/2022). Cekungan Bandung memiliki segunung masalah, mulai sosial hingga lingkungan. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)
Landskap Kota Bandung berlatar pegunungan selatan, Jumat (8/7/2022). Cekungan Bandung memiliki segunung masalah, mulai sosial hingga lingkungan. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

Memperhitungkan Dampak Valuasi Ekonomi 

Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar) telah melakukan kajian tata ruang Kawasan Bandung Selatan. Hasilnya, kawasan ini mengalami ketidakkonsistenan rencana tata ruang dan wilayah bukan hanya saat ini, namun sudah terjadi sejak beberapa tahun ke belakang. Dampaknya, terjadi bencana yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Dan per tahun ini bencana ekologis itu sudah mulai dilihat, dirasakan oleh warga yang secara eksistensi berdekatan dengan warga. Secara jauh bisa juga dirasakan warga wilayah kota Bandung,” kata Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar Haerudin Inas.

Capung panggilan akrab, Haerudin Inas, memaparkan setiap pembangunan di Bandung Selatan tidak menghitung nilai valuasi ekonomi lingkungan. Valuasi ekonomi lingkungan ini menghitung kerugian dan dampak yang dirasakan warga karena kerusakan lingkungan. 

Capung menegaskan, pembangunan jangan hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Ia juga berharap ada tindakan tergas terkait kongkalikong perizinan dan alih fungsi lahan. 

Tercatat ada sekitar 7,5 juta jiwa yang hidup di wilayah Cekungan Bandung alias Bandung Raya (Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat). Pembangunan dan tata ruang harus dikendalikan, termasuk dalam penyediaan air bersih. 

Namun pembangunan di Cekungan Bandung cenderung tidak konsisten. Buktinya pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung yang berpotensi membebani Cekungan Bandung.

“Kami melihat pembangunan kereta cepat Jakarta ke Bandung kemungkinan besar ada perpindahan penduduk yang itu juga bisa jadi ketidak konsistenan terhadap tata ruang, itu hanya akan membebani posisi semua penduduk yang ada di Cekungan Bandung,” ungkap Capung. 

Keluhan Warga Terdampak

Konferensi pers tersebut dihadiri warga dari beberapa daerah terdampak. Salah satunya warga Mekar Baleendah, Indra Wiguna. Ia menjelaskan kondisi lahan di kawasan Baleendah yang sudah habis digunduli. Terjadi alih fungsi lahan secara besar-besaran. 

Setiap hujan terjadi, air bercampur sedimen lumpur tanah turun ke area komplek rumah warga. Warga merasakan betul dampaknya. “Cekungan Bandung dalam ancaman,” kata Indra. 

Menurutnya, alih fungsi lahan di Baleendah sudah terjadi sejak lama. Warga sudah mulai melakukan perlawanan sejak 2015. Warga yang belum begitu paham hukum, berinisiatif mengumpulkan tanda tangan penolakan pembangunan dan pengembangan salah satu lahan oleh pihak swasta yang bahkan bekerja tanpa memiliki izin. 

“2015 lakukan laporan. PT beda, nama persuaahan. Kita cegah dengan pernyataan warga, perusahaan nyerah. Pengembangan tidak jadi dilakukan,” ungkapnya.

Sayangnya, pada 2021 datang kembali perusahaan berbeda yang mengaku telah membeli lahan. Bahkan muncul intimadasi kepada warga dan iming-iming agar warga tidak ada pergerakan untuk melakukan penolakan. 

Sampai akhirnya terjadi pada 2023, warga merasa khawatir ruang hidup mereka akhirnya rusak dan merasakan dampaknya hingga ke anak cucu. Warga berharap ada upaya lain untuk mencegah tidak terjadinya pengembangan yang merusak lingkungan dan kampung mereka.

“Pengin ada suatu kerja sama supaya hal-hal yang tidak kita inginkan tidak terjadi,” harapnya.

*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Emi La Palau, atau artikel-artikel tentang Cekungan Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//