• Kolom
  • SALAMATAKAKI #26: Yang Lebih Besar daripada Pak Raden

SALAMATAKAKI #26: Yang Lebih Besar daripada Pak Raden

Pameran arsip “Suyadi: Kucing, Peci, dan Pak Raden” menampilkan benang merah yang konsisten dari kiprah Suyadi pencipta tokoh Pak Raden dalam film boneka Si Unyil.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Pak Raden telepon Dea. (Foto: Kiram)

7 November 2023


BandungBergerak.id – Dua belas tahun lalu, pada hari ulang tahun Pak Suyadi yang ke-79, aku berencana datang ke Jakarta dan mampir ke rumahnya bersama kawanku, Kiram, yang tinggal di Jakarta. Sayangnya, karena satu dan lain hal, hari itu aku batal berangkat dari Bandung. Sebagai penggemar Pak Raden yang sudah lama menanti-nantikan momen itu aku kecewa sekali. Tiba-tiba Kiram meneleponku.

“De, ada yang mau bicara,” kata Kiram.

“Hah? Siapa?” tanyaku.

Tak disangka Pak Suyadi sendiri yang menyapaku dengan suara khas Pak Radennya. Hanya sebentar, tapi aku senang sekali. Di hari ulang tahunnya, justru beliau yang memberikan hadiah dan kejutan kepadaku.

Setelah acara di rumah Pak Suyadi selesai, Kiram mengabariku. “Hari ini ada beberapa kenalan Pak Raden yang datang. Rumahnya sempit, jadi masuknya ganti-gantian. Dia (Pak Suyadi) berbusana (Pak Raden) lengkap, lho,” cerita Kiram sebelum mengirimi foto Pak Raden berbicara denganku di telepon.

“Nanti kapan-kapan kita main ke rumah Pak Raden, ya, De,” janji Kiram.

“Iya,” sahutku bersemangat.  

Eh, tunggu dulu. Ke rumah Pak Raden atau Pak Suyadi, ya?

Bilik foto. (Foto: Sundea)
Bilik foto. (Foto: Sundea)

Suyadi: Kucing, Peci, dan Pak Raden

“Pak Raden dan Unyil adalah sosok yang selalu lebih diingat daripada Pak Suyadi. Padahal apa yang dibuat Bapak lebih luas lagi daripada itu,” ungkap Kak Claudine yang akrab dipanggil Kak Odin, seksi acara “Suyadi: Kucing, Peci, dan Pak Raden” (selanjutnya kusebut SKPPR).

SKPPR diselenggarakan Yayasan Cita Cerita Anak atau TaCiTa yang di inisiasi oleh Ayo Dongeng Indonesia, Reading Bugs, komunitas ilustrator buku anak Kelir, dan kelas ilustrasi buku anak ITB (KIBA). SKPPR merupakan pameran arsip dan karya-karya Pak Suyadi yang diadakan di Galeri Soemardja 3-6 November 2023.

Sepanjang hidupnya Pak Suyadi lebih populer sebagai Pak Raden, karakter Film Boneka “Si Unyil” yang beliau ciptakan dan perankan. Padahal, seperti yang dikatakan Kak Odin, Pak Suyadi lebih luas daripada itu. Beliau adalah kreator dengan keahlian serba ada bak pujasera. Pak Suyadi adalah ilustrator, pengajar, penulis cerita, pendongeng, aktor, pencipta lagu, bahkan, tahukah teman-teman beliau adalah salah satu animator angkatan pertama di Indonesia?

Pak Suyadi lahir di Jember, 28 November 1932 dari pasangan Sabekti Wirjokoesoemo dan Koen Sadijah yang berdarah ningrat. Meskipun dibesarkan di tengah keluarga berada, sejak kecil Pak Suyadi — yang beranama kecil Guki — sering disebut “anak murah”. Sebab, ketimbang meminta mainan-mainan mahal, Guki yang imajinatif lebih suka diberi alat-alat menggambar. Ia pun selalu tertarik dengan cerita, gemar menonton wayang, bahkan sempat pula belajar mendalang.

Ketertarikan pada seni membawanya kuliah seni rupa di Institut Teknologi Bandung (1952-1960) kemudian lanjut belajar animasi di Perancis (1961-1963). Sepulang dari Perancis, Pak Suyadi bergabung di Pengembangan Audio Visual untuk Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tahukah teman-teman bahwa Drs. Suyadi adalah dosen pertama yang membuka kuliah animasi di Indonesia?

Boneka-boneka karya Suyadi. (Foto: Sundea)
Boneka-boneka karya Suyadi. (Foto: Sundea)

Sekitar tahun 1978-1979, Pak Suyadi dipanggil Perum Produksi Film Negara (PPFN) untuk membuat acara anak-anak. “Pak G. Dwipayana (direktur PPFN di masa itu) nggak mau kalau tokohnya manusia. Harus kartun,” cerita Pak Suyadi ketika dua belas tahun lalu akhirnya aku sempat mampir ke rumahnya di Petamburan bersama Kiram. Berhubung di masa itu membuat animasi belum semudah sekarang, agar realistis, terbit usul membuat film boneka. Maka, lahirlah “Si Unyil”.

Desain boneka “Si Unyil” dibuat oleh Pak Suyadi dengan model wayang potehi. Supaya dapat berganti-ganti ekspresi, Pak Suyadi membuat beberapa boneka untuk satu karakter. “Tapi ada juga yang satu saja. Misalnya Pak Lurah. Dia nggak pernah senang, nggak pernah sedih, ya, begitu saja,” ujar Pak Suyadi dalam percakapan kami tahun 2011.

Pak Raden sendiri justru diciptakan sebagai tokoh semi antagonis di “Si Unyil”. “Ada yang nggak beres kalau satu desa baik-baik semua,” tukas Pak Suyadi.

Pak Raden adalah bapak-bapak ningrat yang pelit, sok tahu, dan hanya mencari kenyamanan untuk dirinya sendiri. Kendati begitu, seperti Donal Bebek yang diciptakan sebagai anti-hero, Pak Raden justru menjadi salah satu tokoh yang paling diingat dan punya tempat di hati penonton.

“Pak Raden nama panjangnya Singomenggolo Jalmowono. Singomenggolo artinya bagus, singa yang memimpin. Tapi Jalmowono kamu tahu artinya apa?” tanya Pak Suyadi.

“Enggak, Pak, apa?” tanyaku.

“Orangutan,” ungkap Pak Suyadi yang diikuti oleh gelak tawaku, Pak Suyadi sendiri, dan Kiram.

Karya Suyadi. (Foto: Sundea)
Karya Suyadi. (Foto: Sundea)

Jika kuperhatikan, beberapa karya Pak Suyadi — termasuk karakter Pak Raden dan Pak Lurah yang sengaja dibuat tanpa ekspresi — adalah cara kritis memandang masyarakat dengan menertawakannya. Pada ilustrasinya yang dipamerkan di SKPPR, aku menemukan gelitikan-gelitikan serupa. Ambil contoh pada gambar orang-orang Indonesia yang berkerumun memandangi lukisan “Monalisa” di museum Louvre dan heran karena karya fenomenal tersebut “kurang ngejreng” saat dipandang secara langsung.

Di SKPPR perjalanan hidup Pak Suyadi disusun kronologis dilengkapi narasi. Di sana kita dapat menemukan benang merah yang konsisten pada Pak Suyadi. Ada “kenakalan” yang jenaka, semangat bercerita yang menyala, dunia anak-anak, warna budaya Indonesia yang begitu natural, tokoh-tokoh berpeci selain Unyil, dan kucing, hewan kesayangan Pak Suyadi maupun Pak Raden.

Tahukah teman-teman bahwa ilustrasi ikonik di buku pelajaran dan beberapa dongeng Hans Christian Andersen edisi bahasa Indonesia digambar Pak Suyadi? Tak hanya membuat ilustrasi untuk buku orang lain, Pak Suyadi pun menulis buku anak-anak dan mengilustrasikannya sendiri. Beberapa karyanya ditampilkan dalam bentuk buku audio di SKPPR.

Buku  <a target='_BLANK' href='//bandungbergerak.id/article/topic/3862/Sekolah'>sekolah</a>  karya Suyadi. (Foto: Sundea)
Buku sekolah karya Suyadi. (Foto: Sundea)

SKPPR pun menyediakan bilik foto lengkap dengan berbagai props. Kata Evelyn Ghozali, salah satu panitia SKPPR, latar bilik foto adalah ilustrasi Pak Suyadi yang digambar ulang menggunakan proyektor. Ada yang tahu ilustrasi tersebut diambil dari buku yang mana?

Seluruh arsip dan karya yang dipamerkan di SKPPR adalah koleksi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Meskipun arsip dan karya-karya Pak Suyadi tersebar di berbagai tempat, panitia SKPPR sepakat koleksi Kemendikbud saja sudah cukup memadai untuk dipamerkan, sebab sudah mencakup dokumentasi media, arsip sketsa, ilustrasi, sampai karakter boneka dari seri klasik “Si Unyil”.

Bekerja sama dengan Galeri Soemardja yang membantu proses kurasi dan pemasangan karya, Badan Arsip Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, serta pihak keluarga Pak Suyadi, Yayasan TaCiTa menyelenggarakan SKPPR. Bulan November dipilih karena 28 November — tanggal lahir Pak Suyadi — ditetapkan sebagai Hari Dongeng Nasional. Diharapkan SKPPR menjadi perayaan yang mengantar kita semua menuju ke sana.

Resital Diani Apsari. (Foto: TaCiTa)
Resital Diani Apsari. (Foto: TaCiTa)

Aktivasi SKPPR: Resital Piano Diani Apsari

Tak hanya pameran arsip, selama tiga hari SKPPR pun menggelar berbagai aktivasi. Mulai dari Patjar Merah Kecil yang bekerja sama dengan festival literasi Patjar Merah, Kak Andi Yudha yang menggambar saat pembukaan pameran, diskusi-diskusi, acara bersama komunitas-komunitas kreatif, dan yang menurutku cukup unik dan menarik adalah resital piano.

Tahukah teman-teman bahwa Pak Suyadi mempunyai asisten kepercayaan bernama Pak Nana Ruslana? Dugaanku, banyaknya pesanan ilustrasi membuat Pak Suyadi perlu berbagi tugas dengan cantriknya. Walaupun karakter ilustrasi Pak Nana sangat persis dengan Pak Suyadi, nama Pak Nana tetap tertera sebagai ilustrator resmi di buku, posisinya bukan ghost illustrator.

Ilustrasi di buku Piano Kawanku. (Foto: Diani Apsari)
Ilustrasi di buku Piano Kawanku. (Foto: Diani Apsari)

“Piano Kawanku” adalah buku piano anak-anak yang dihiasi karya Pak Nana. Bukunya sendiri disusun oleh guru piano senior, almarhum Ibu Latifah Kodijat-Marzoeki. Ketengilan dan kejenakaan khas Pak Suyadi hadir dalam ilustrasi-ilustrasi “Piano Kawanku”.

“Itu Pak Raden tetap dengan ekspresi judgy,” dengan geli Diani Apsari mengomentari gambar sampul “Piano Kawanku”.

Uniknya lagi, tidak semua lagu di buku piano tersebut dibubuhi judul. Ada yang hanya diberi ilustrasi terkait judulnya, misalnya gambar si Unyil merangkul burung untuk lagu “Kutilang”.

Sebagai ilustrator buku piano “Andi di Negeri Prajurit” karya Hani Widiatmoko, Diani yang juga bermain piano sangat mengapresiasi “Piano Kawanku”. Diani yang juga penggemar Pak Suyadi tak menolak ketika Ibu Riama Maslan, dosen pembimbing Diani ketika kuliah di seni rupa ITB, memintanya memainkan lagu-lagu dari “Piano Kawanku”. Resital diadakan hari Minggu, 6 November 2023. Ada tujuh lagu yang dibawakan Diani antara lain “Cicak”, “Balonku”, dan “Hari Merdeka”.

“Kalau lihat bukunya Latifah ini, ada penjelasan-penjelasan di awal buku tentang konsep ketukan, irama, sama legato staccato — intensity iramanya, pakai ilustrasi juga. Thoughtful banget,” ungkap Diani yang tugas akhir dan kajian tesisnya adalah buku belajar piano.

Sayangnya SKPPR hanya berlangsung tiga hari. Aku sempat bertanya pada panitia apakah ada rencana memperpanjang atau membawanya keliling ke tempat lain. “Semoga, Kak, lagi dibicarakan,” kata Kak Odin.  

Semoga, ya, teman-teman. Aku yakin banyak sekali yang belum sempat hadir di SKPPR dan masih banyak komunitas yang ingin terlibat mendukung proyek ini. Pak Suyadi — bukan hanya sebagai Pak Raden — adalah sosok yang sebesar itu.

Buku audio karya Suyadi. (Foto: Sundea)
Buku audio karya Suyadi. (Foto: Sundea)

***

Aku akan menutup artikel ini dengan kesaksian yang lupa kudengar dari siapa.

Pernah pada suatu ketika Pak Suyadi diundang mendongeng di suatu acara. Ketika Pak Raden telah kembali menjadi Pak Suyadi selepas sesi dongeng Pak Raden, datang sekelompok anak. Mereka kecewa begitu sadar telah melewatkan dongeng Pak Raden.

Melihat kekecewaan di wajah anak-anak tersebut, Pak Suyadi berkata, “Wah ndak bisa begitu”. Buru-buru ia mengenakan busana Pak Radennya kembali. Berhubung tak mungkin mengulang sesinya di tengah acara yang sedang berjalan, ia menggiring anak-anak ke bawah pohon setempat dan mengulang dongengnya. Seperti ketika meneleponku di hari ulang tahunnya, begitu tulus upayanya untuk membuat orang lain tidak kecewa.

Kaki Dea. (Foto: Sundea)
Kaki Dea. (Foto: Sundea)

Di telepon, dua belas tahun yang lalu, aku ingat sempat menanyakan kabar pohon jambu Pak Raden. Saat menulis artikel ini, aku bertanya-tanya, apakah pohon setempat yang menaungi Pak Raden mengulang dongengnya adalah pohon jambu?

Pak Raden dalam “Si Unyil” adalah sosok kikir yang selalu punya alasan untuk tidak membagi jambunya. Namun, di balik kostum Pak Raden, kumis palsu baplang, dan identitas peci yang ia sematkan pada gambar-gambarnya, Pak Suyadi justru seniman pengasih yang selalu punya alasan untuk berbagi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//