• Kolom
  • SISI LAIN SCHOEMAKER #16: Polemik Masjid Cipaganti Bagian I

SISI LAIN SCHOEMAKER #16: Polemik Masjid Cipaganti Bagian I

Masjid Cipaganti sudah berdiri sejak tahun 1832 di masa Bupati Bandung Raden Wiranatakusumah III. Dibangun ulang satu abad kemudian dipicu polemik kepemilikan tanah.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Denah kawasan Masjid Cipaganti dalam koran Sipatahoenan 29 Oktober 1932. (Foto: Dokumentasi Hafidz Azhar)

9 November 2023


BandungBergerak.id – Masjid yang terletak di Nijlanweg atau yang dikenal dengan Masjid Cipaganti merupakan karya terakhir Wolff Schoemaker dalam mendesain bangunan tempat ibadah. Sebelumnya, Schoemaker sempat mendesain beberapa gereja, termasuk Gereja Katedral atau Gereja Santo Petrus yang berada di Jalan Merdeka, Bandung. Masjid Cipaganti sendiri mulai dibangun secara masif pada bulan November 1932 dengan desain pertama yang diumumkan pada tahun 1933 dan dieksekusi oleh Anggabarata (De Koerier 26 Januari 1934). Kendati begitu, pembangunan Masjid Cipaganti ini, sebetulnya, bukan dibangun dari awal, tetapi dibangun ulang karena terjadi polemik kepemilikan tanah. Salah satu bukti bahwa Masjid Cipaganti ini sudah berdiri, tercatat dalam koran Sipatahoenan edisi 29 Oktober 1932. Dalam koran tersebut dimuat dua halaman penuh ihwal persiapan pembangunan Masjid Cipaganti yang baru, termasuk pentingnya menampilkan kembali sejarah berdirinya Masjid Cipaganti.

Pentingnya menampilkan kembali latar berdirinya Masjid Cipaganti disebutkan oleh redaktur Sipatahoenan sebagai langkah untuk memberikan keterangan kepada masyarakat luas yang masih belum mengetahui kapan masjid tersebut didirikan. Selain itu, koran ini pun mengklaim pernah memberitakan secara khusus sejarah awal berdirinya Masjid Cipaganti, termasuk pula menyebutkan halangan yang datang dari Gemeenteraad Bandung. Dalam hal ini redaksi Sipatahoenan menjelaskan:

Bareto Sipatahoenan geus ngahadja ngaloearkeun Speciaal Nummer, di dinja oge geus ditetelakeun koemaha sadjarahna masdjid Tjipaganti, noe meunang roepa-roepa halangan ti Gemeente Bandoeng. Ajeuna soepaja djadi penerangan ka djalma rea, ngahadja Sipatahoenan ngaloearkeun Speciaal Masdjid Tjipaganti Nummer (Dulu Sipatahoenan pernah sengaja menerbitkan Nomor Khusus, di situ dijelaskan juga bagaimana sejarah masjid Cipaganti yang banyak mendapat rintangan dari Pemerintah Bandung. Sekarang agar memberikan kejelasan kepada masyarakat luas, Sipatahoenan sengaja menerbitkan [kembali] Nomor Khusus Masjid Cipaganti) (Sipatahoenan 29 Oktober 1932).

Baca Juga: SISI LAIN SCHOEMAKER #13: Kedatangan Khalid Sheldrake
SISI LAIN SCHOEMAKER #14: Beralih ke Islam
SISI LAIN SCHOEMAKER #15: Teman Baik M. Natsir

Sejarah Masjid Cipaganti

Menurut penelusuran redaksi Sipatahoenan, Masjid Cipaganti sudah berdiri kurang lebih sejak 100 tahun sebelumnya. Jika informasi ini diturunkan pada tahun 1932, maka Masjid Cipaganti telah ada sejak tahun 1832, tepatnya pada masa kepemimpinan Bupati Bandung, Raden Wiranatakusumah III. Sementara itu, pembangunan awal masjid Cipaganti ini tidak terlepas dari kepindahan kawedanaan ke Cipaganti, yang semula berada di sebuah kawasan bernama Merdika. Tentu saja kepindahan ini atas perintah Bupati Bandung, sehingga sejak itulah Cipaganti menjadi kawasan Kewedanaan (onderdistrict).

Setelah syarat-syarat menjadi onderdistrict Cipaganti terpenuhi, selanjutnya Bupati Bandung memerintahkan untuk membangun pakauman sekaligus masjid. Seorang juragan tanah bernama Tojib rela meminjamkan tanahnya kepada Bupati, dengan perjanjian, jika tempat itu dirobohkan, maka tanah akan kembali pada pemiliknya. Perjanjian pun disepakati. Kemudian, dibangunlah masjid tersebut hingga dianggap sebagai pusat peribadatan bagi masyarakat Muslim di Cipaganti. Bahkan, di dalam kawasan masjid tersebut terdapat pekarangan yang luasnya sekitar 600 tumbak (Sipatahoenan 29 Oktober 1932), sehingga dapat digunakan untuk aktivitas lain selain tempat beribadah.

Sayangnya, belakangan masyarakat Muslim yang menikmati Masjid Cipaganti lambat-laun mesti menghentikan aktivitasnya. Hal ini karena muncul problem berupa klaim kepemilikan tanah dari pihak tertentu. Semula tanah pakauman yang luasnya 600 tumbak, berkurang drastis menjadi 200 tumbak. Konon, kejadian ini berlangsung sejak tahun 1907. Tanah seluas 380 tumbak di kawasan Cipaganti itu disebut-sebut menjadi milik pihak tertentu tanpa diketahui siapa nama pemiliknya. Akhirnya, pihak yang mengklaim kepemilikan itu pun menjual sebagian tanahnya kepada para juragan tanah. Mereka bukan hanya dari kalangan Bumiputera, namun ada juga dari kalangan Tionghoa dan Eropa, seperti Tjen Djim Tjong yang membeli tanah itu seluas 292 tumbak, Muhammad Sapii 72 tumbak, Nji Dinah 44 tumbak, termasuk Wolff Schoemaker dengan luas 16 tumbak (Sipatahoenan 29 Oktober 1932).

Dari sinilah keberadaan Masjid Cipaganti semakin terancam dan terhapuskan. Ditambah dengan kemunculan Gemeenteraad Bandung yang menaruh perhatian pada perluasan dan penataan kota bernuansa Eropa. Dengan kenyataan seperti ini, redaksi Sipatahoenan pun merasa ironis, terutama berkaitan dengan kebijakan Gemeente Bandung yang berusaha menghancurkan berbagai bangunan buruk, termasuk perobohan masjid Cipaganti yang telah berdiri puluhan tahun sebelumnya (Sipatahoenan 29 Oktober 1932).

Pembangunan kembali

Mengingat kondisi yang pelik itu, timbul usaha umat Muslim untuk membangun kembali Masjid Cipaganti yang bersejarah itu. Hal ini terutama muncul setelah adanya rencana Gemeente Bandung untuk membangun jalan di sekitar Nijlandweg (Cipaganti), sehingga mayoritas umat Muslim yang diwakili oleh Hoofd Penghulu Bandung, R.H. Abdul Kadir, berinisiatif membentuk sebuah komite pembangunan masjid sebagai respons agar tanah wakaf yang digunakan Pakauman tersebut dapat difungsikan kembali.

Sebelumnya, tanggal 6 September 1932, Raad Agama di Bandung telah memutuskan bahwa tanah yang sempat menjadi pusat kegiatan umat Muslim di Cipaganti itu merupakan tanah wakaf. Sementara para pengurus Raad Agama yang memufakati putusan tersebut antara lain, R. H. Abdul Kadir sebagai ketua, ditambah lima orang anggota yang terdiri dari R. Moeh. Sarbini, R.H. Moeh. Sidik, R. H. Moeh. Koerdi, D. K. Ardiwinata, serta K.H. Moeh. Tamim (Sipatahoenan 29 Oktober 1932).

Hasil mufakat dari musyawarah pengurus Raad Agama di Bandung lainnya, yakni memohon kepada Dewan Kota Bandung melalui surat yang bertanda tangan nama R. H. Abdul Kadir. Dalam surat itu R. H. Abdul Kadir menekankan dua hal penting yang perlu dipenuhi oleh Gemeente Bandung. Pertama, terkait bangunan Masjid Cipaganti yang dibuat semipermanen, kedua, pembangunan masjid Cipaganti harus disesuaikan pada pembangunan di atas tanah semula.

Demikianlah jang bertanda tangan memadjoekan permoehoenan dengan hormat kepada Raad menoeroet artikel 16 dari Bouwverordening Bandoeng soepaja diberi kelonggaran tentang hal: 1e. Adegan roemah masdjid di Tjipaganti didirikan setengah koekoeh (semipermanen). 2e Mesdjid itoe didirikannja ditempat jang telah bersedajarah itoe diatas tanahjang telah mendjadi soetji (Sipatahoenan 29 Oktober 1932).

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Hafidz Azhar, serta artikel-artikel lain bertema sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//