• Kampus
  • Melihat Dua Planet Raksasa di Observatorium Bosscha

Melihat Dua Planet Raksasa di Observatorium Bosscha

Acara mengamati benda-benda astronomi ini sudah menjadi tradisi di Observatorium Bosscha. Dalam praktinya, masyarakat turut dilibatkan.

Pengamatan Virtual Langit Malam bersama dua peneliti Observatorium Bosscha ITB, Sabtu, 14 Oktober 2023. (Foto: Observatorium ITB)

Penulis Iman Herdiana13 November 2023


BandungBergerak.idPeneliti dari Observatorium Bosscha melakukan pengamatan dua planet raksasa, Jupiter dan Saturnus, dari tempat berbeda. Pengamatan dilakukan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dan Universitas Nusa Cendana di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Namun karena faktor cuaca yang menyebabkan langit Lembang tertutup awan tebal, pengamatan difokuskan dari Kupang menggunakan teleskop berdiameter 20 sentimeter dengan panjang fokus 2 meter.

Saat pengamatan, posisi planet Saturnus dan Jupiter sedang mengalami fase oposisi sehingga dapat terlihat jelas dari bumi.

Acara pengamatan ini terjadi dalam agenda “Pengamatan Virtual Langit Malam (PVLM)”, Sabtu, 14 Oktober 2023 lalu. Dipandu dua peneliti Observatorium Bosscha, Muhammad Yusuf dan Dhimaz G. Ramadhan, PVLM kali ini digelar dengan tema “Jelajahi Dua Raksasa: Mengintip Keindahan Jupiter dan Saturnus”.

Jupiter dan Saturnus merupakan dua planet terbesar di tata surya yang tersusun dari gas. Material gas penyusun planet menyebabkan permukaan planet selalu bergejolak sehingga memunculkan pola gelap terang pada permukaan tersebut. Satu titik dengan titik lain pada permukaan planet yang sama bisa saja memiliki kecepatan, sudut, dan arah rotasi yang berbeda.

Setelah menjelaskan tentang kesamaan dua planet tersebut, Yusuf dan Dhimaz memberikan pemahaman tentang planet Saturnus yang diamati malam itu. Saturnus merupakan planet gas raksasa yang diameternya setara dengan 9 kali diameter bumi, dengan volume 760 kali volume bumi, serta massa 95 kali massa bumi.

Namun dengan ukuran sebesar itu, Saturnus hanya memerlukan waktu 10,5 jam untuk berotasi. Rotasi yang sangat cepat menyebabkan struktur Saturnus lebih kompak di Khatulistiwa sehingga bentuknya bukan bola sempurna.

Saturnus memiliki struktur cincin yang paling jelas terlihat dari bumi di antara planet- planet gas lain karena materialnya tersusun dari es yang dapat memantulkan cahaya matahari. Cincin Saturnus juga memiliki pola gelap terang yang disebabkan oleh perbedaan kerapatan es. Faktanya, cincin Saturnus memiliki bentangan yang sangat luas dengan ketebalan hanya 10 m saja.

“Misalkan planet Saturnus kita kecilkan seukuran 1 meter, cincinnya juga kita kecilkan dengan skala pengecilan yang sama, tebal cincinnya akan lebih tipis daripada silet,” ujar Dhimaz, dikutip dari laman ITB, Rabu, 8 November 2023. 

Menurut data terbaru, Saturnus memiliki 146 satelit dengan satelit terbesar bernama Titan. Yusuf dan Dhimaz menggambarkan Titan sebagai satelit dengan atmosfer yang cukup tebal dan terdapat sungai serta danau metana cair. Di permukaannya terdapat batuan serta aktivitas vulkanik yang melontarkan lava es.

Kemudian pengamatan dialihkan ke Jupiter, planet gas raksasa dengan diameter 11 kali diameter bumi serta volume 1.300 kali volume bumi. Jupiter memiliki waktu rotasi yang lebih cepat dibandingkan Saturnus, yaitu hanya sekitar 8,5 jam. Fitur gelap terang khas planet gas terlihat paling jelas di Jupiter. Di daerah perbatasan gelap terang ini terdapat friksi yang sangat sering mengakibatkan turbulensi dan badai di permukaan Jupiter.

Badai paling terkenal yang selalu terlihat sejak manusia pertama kali mengarahkan teleskop ke Jupiter adalah The Great Red Spot. Disebut demikian karena badai ini terlihat seperti titik merah besar di permukaan Jupiter jika dilihat dari bumi.

Saturnus juga mengalami fenomena aurora sebagai hasil interaksi partikel bermuatan dari matahari (angin matahari) dengan medan magnet Jupiter. Berbeda dengan medan magnet bumi yang berasal inti bumi, medan magnet Jupiter berasal dari interaksi elektron-elektron gas hidrogen penyusunnya.

Serupa dengan Saturnus, Jupiter juga memiliki cincin yang hanya dapat terlihat dengan detektor inframerah karena material penyusunnya bukan es serta strukturnya tidak terlalu masif. Selain itu, Jupiter juga memancarkan energinya sendiri yang lebih besar daripada energi yang diterimanya dari matahari. Hal ini sering menimbulkan miskonsepsi yang menganggap bahwa Jupiter adalah bintang yang gagal.

“Reaksi fusi paling tidak bisa terjadi kalau massa dari sebuah benda itu kira-kira 1/12 massa matahari. Sementara Jupiter massanya 1/1000 massa matahari, artinya dia masih terlalu jauh untuk menjadi sebuah bintang,” ujar Yusuf.

Satelit-satelit Jupiter pertama kali teramati oleh Galileo pada 400 tahun yang lalu. Dia mengamati titik-titik kecil di sekitar Jupiter yang ternyata bergerak mengelilingi planet tersebut. Dari pengamatannya ini Galileo mengambil kesimpulan bahwa bumi mengorbit sesuatu yang lebih besar darinya seperti halnya satelit-satelit yang dia amati mengorbit Jupiter, sehingga lahirlah teori heliosentris.

Keempat satelit yang diamati oleh Galileo tersebut kemudian dikenal sebagai Galilean Moons yang merupakan empat satelit terbesar Jupiter, yaitu Ganymede, Europa, Io, dan Callisto.

Baca Juga: 100 Tahun Observatorium Bosscha, yang Terbesar di Bumi Selatan (1)
Peringatan 100 Tahun Observatorium Bosscha, Anggaran untuk Astronomi Seret
Seabad Observatorium Bosscha dalam Kepungan Alih Fungsi Lahan Kawasan Bandung Utara

Mengenalkan Astronomi pada Masyarakat

Kegiatan pengamatan dan penelitian benda-benda langit sudah dilakukan Observatorium Bosscha sejak didirikan pada tahun 1923. Pengamatan bersama peneliti Bosscha sudah menjadi tradisi.

Misalnya, pada 13 Juli 2019, Observatorium Bosscha mengundang masyarakat untuk melakukan pengamatan benda langit bersama para peneliti di Bosscha.

Antusiasme tamu undangan yang hadir pada pengamatan tersebut begitu terlihat menjelang matahari tenggelam. Dua buah teleskop portable dan satu teleskop Bamberg disiapkan untuk mengamati bulan dan planet Jupiter. Sejak pukul 18.00 WIB, sudah terdapat antrian panjang pada setiap teleskop yang disiapkan.

“Rasanya nostalgic dan juga bangga bisa berada di sana dan melihat bagaimana para astronom menggunakan teleskop dan gedungnya, kami bisa melihat bulan dari beberapa teleskop yang tersebar,” ujar Ardhana Riswarie, salah satu pengunjung open house.

Cuaca saat pengamatan cukup cerah namun berawan, sehingga beberapa kali masyarakat harus menunggu agar bulan terlihat jelas. Pada Sabtu, 13 Juli malam itu, bentuk bulan belum sepenuhnya terlihat bulat.

Gerhana bulan baru terjadi beberapa hari setelahnya. Namun begitu, masyarakat masih bisa tetap melihat bulan dengan jelas. Bahkan, saat memakai teleskop Bamberg, permukaan kawah bulan bisa terlihat sangat jelas.

Melalui teleskop portable, planet Jupiter bisa teramati berupa titik cahaya putih dengan tiga satelit yang mengitarinya. Karena masih penasaran, beberapa pengunjung ada yang melihatnya berulang kali dengan mengantre kembali.

Kegiatan menariknya lainnya, di halaman Gedung Kubah Teleskop Zeiss, juga diselenggarakan Pojok Permainan Edukatif. Pojok ini didedikasikan untuk aktivitas anak dan keluarga. Mereka diajarkan seputar astronomi melalui storytelling, hands-on activities, dan permainan seputar ular tangga dan puzzle.

Menurut Kepala Observatorium Bosscha Premana W. Premadi, acara ini merupakan rangkaian acara peringatan 50 tahun pendaratan manusia di bulan sekaligus untuk mengenalkan dunia astronomi pada masyarakat. Observatorium Bosscha merupakan satu-satunya observatorium besar di Indonesia. Di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB, lembaga riset ini menjadi pusat penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu astronomi di Indonesia.

Saat ini Bosscha memiliki beberapa buah teleskop yang digunakan untuk penelitian dan pendidikan, misalnya teleskop GAO-ITB, teleskop Stevia, teleskop Surya, teleskop Bamberg, dan teleskop Zeiss yang menjadi ikon Bosscha. Beberapa teleskop kecil digunakan untuk kegiatan tur atau kunjungan publik seperti yang dilakukan pada acara Open House Bosscha kali ini.  

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut artikel-artikel lain tentang Observatorium Bosscha

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//