Peringatan 100 Tahun Observatorium Bosscha, Anggaran untuk Astronomi Seret
Dalam sejarahnya, Karel Albert Rudolf Bosscha, tuan tanah pemilik perkebunan teh Malabar, menggagas pendirian observatorium bukan karena alasan ekonomi.
Penulis Iman Herdiana30 Januari 2023
BandungBergerak.id - Observatorium Bosscha memiliki peran besar dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bidang astronomi. Namun kini pengembangan ilmu tentang benda-benda langit ini di Indonesia terkendala anggaran. Pemerintah maupun DPR lebih mengutamakan pembangunan ekonomi.
Dalam sejarahnya, Karel Albert Rudolf Bosscha, tuan tanah pemilik perkebunan teh Malabar, menggagas pendirian observatorium bukan karena alasan ekonomi. Bosscha mungkin tidak berpikir keuntungan apa yang ia dapat dari membangun lembaga ilmu pengetahuan, kecuali namanya yang terpahat dalam nama observatorium.
Faktanya, bahwa Bosscha dan para tokoh dahulu tidak melulu mencari untung. Bangunan observatorium di kaki Gunung Tangkubanparahu itu akhirnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia yang kini dikelola ITB.
Seretnya anggaran pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia dirasakan Satryo Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, saat menyampaikan sambutan pada peringatan 100 tahun Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (30/1/2023).
Menurutnya masalah anggaran menjadi tantangan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan seperti Bosscha. Khusus mengenai Bosscha, saat ini juga menghadapi polusi cahaya yang membuat pengamatan bintang terganggu. Polusi cahaya disebabkan oleh maraknya lampu-lampu penerangan di sekitar Bosscha maupun Kota Bandung.
Satryo menceritakan bagaimana ia harus menjelaskan betapa pentingnya ilmu astronomi ke DPR sebagai lembaga yang menganggarkan anggaran negara. “DPR bertanya apa manfaatnya bagi ekonomi?” tutur Satryo.
Padahal, lanjut dia, jika kita melulu memikirkan keuntungan ekonomi maka bangsa ini justru akan sulit maju. “Ya sudah kalau pikir ekonomi dagang saja,” katanya.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa yang maju memiliki ilmu pengetahuan dan sains yang maju. Namun jika lembaga keuangan tidak mendukung, maka diperlukan sumber pendanaan lain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia.
“Tapi kebijakan lembaga keuangan merasa bukan sekarang (menganggarkan untuk astronomi), mungkin kapan-kapan. Jangan sampai kapan-kapan, kita cari jalan lain,” katanya.
Ia menegaskan tidak ada ilmu yang merugikan masyarakat. Ilmu pengetahuan dikembangkan justru untuk mendukung kemajuan masyarakat. Namun hasil dari pengembangan ini membutuhkan proses dan waktu jangka panjang.
“Jadi mohon kepada para stakeholder, mohon Bosscha di-support agar Bosscha tetap berperan dengan penelitian untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia,” katanya, pada hadirin dari berbagai instansi pemerintahan yang memadati pelataran teleskop Zeiss, teropong raksasa yang paling canggih di zamannya yang didatangkan Bosscha dari Jerman.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Observatorium Lembang
Seabad Observatorium Bosscha dalam Kepungan Alih Fungsi Lahan Kawasan Bandung Utara
Mengenal Boscha dari Bacaan Wisnu
Pendidikan SDM
Karel Albert Rudolf Bosscha dinilai memiliki visi yang kuat dalam membangun observatorium di Lembang yang jaraknya kurang lebih 15 kilometer dengan kampus ITB, satu-satunya kampus negeri di Indonesia yang memiliki jurusan astronomi untuk jenjang S1-S3.
Reini Wirahadikusumah, Rektor ITB, mengatakan Bosscha mendirikan observatorium tidak lain ingin mengembangkan sumber daya manusia agar melek ilmu pengetahuan.
“Kalau ingin memajukan ilmu pengetahuan, jawabannya hanya satu yaitu memperkuat SDM,” kata Reini.
Meski demikian, ada kalanya kerja-kerja ilmu pengetahuan ini ditinggal seakan sendirian. Hasilnya pun tak bisa langsung dirasakan.
“Ini adalah jalan kesetiaan, cinta, dedikasi dalam jalan yang pasti terasa panjang dan sunyi tapi tidak sendirian, semoga terus semangat menjaga fasilitas ini dan ilmu pengetahuan untuk ITB dan bangsa,” katanya.
Sejarah Observatorium Bosscha
Sejarah Observatorium Bosscha dimulai pada tahun 1920 dengan pembentukan Nederlands Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) yang diprakarsai dan dipimpin oleh Karel Albert Rudolf Bosscha untuk menghimpun sumber daya, pemikiran, dan persiapan untuk mendirikan fasilitas pengamatan astronomi.
Pada tanggal 1 Januari 1923 Observatorium Bosscha diresmikan dan menjadi perintis astronomi modern di Asia Tenggara dengan mengambil astrofisika bintang sebagai topik riset utama, dengan dorongan terobosan sains fisika dunia pada awal abad ke-20.
Teleskop refraktor ganda Zeiss dihadiahkan oleh K.A.R. Bosscha kepada Observatorium Bosscha pada tahun 1928, yang menjadikan observatorium ini terbesar ketiga dan termodern di bumi bagian selatan pada era itu. Setelah upaya restorasi kondisi fasilitas dan pengelolaan yang terbengkalai selama Perang Dunia Kedua, pada tahun 1951 Observatorium Bosscha diserahkan oleh NISV ke Republik Indonesia melalui FIPIA Universitas Indonesia yang kemudian menjadi FMIPA Institut Teknologi Bandung. Ini sekaligus menjadi saat dimulainya pendidikan tinggi astronomi di Indonesia.