• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #11: Mulai Mengenal Bandung

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #11: Mulai Mengenal Bandung

Siswa STM Penerbangan Jakarta sering dikirim ke Bandung. Pengalaman pertama kami kerja praktik selama dua bulan di Bandara Husein Sastranegara Bandung tahun 1979.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Bangunan terminal bandara Husein Sastranegara. (Foto: BandungAirport.com)

12 November 2023


BandungBergerak.id – Saat aku bersekolah di STM Penerbangan ini pula aku dapat kesempatan untuk tinggal lama di kota orang. Tujuannya kerja praktik atau kerja lapangan. Mengetes ilmu-ilmu yang aku dapat di kelas untuk diaplikasikan pada mesin pesawat asli. Dan aku, mendapatkan tugas kerja lapangan ke Bandung. Tidak main-main, untuk dua bulan lamanya. Waktu yang tidak sebentar untuk aku yang saat itu masih berusia belasan.

Memang seperti aku cerita sebelumnya, aku juga sering pelesiran ke beberapa daerah untuk tujuan liburan. Tapi belum pernah selama itu. Sekali waktu bersama kawan-kawan STM Penerbangan aku juga pernah berkemah ke daerah Sukabumi. Aku lupa tempatnya di mana, tetapi saat itu, kami sekelompok anak muda dari Jakarta ini ingin merasakan pengalaman baru lewat berkemah. Tidak hanya asyik sendiri, kami juga mencoba berbaur dengan masyarakat lokal. Kami selalu berusaha bersikap sopan, sehingga warga pun teramat baik pada kami. Lagi pula seingatku teman-temanku pembawaannya kalem. Walaupun mereka anak-anak pejabat, ya tidak sombong.

Sedikit tentang teman-temanku lagi, aku rasa dulu di sekolah semua diperlakukan sama. Tidak ada yang dianggap paling pintar atau paling berkuasa. Ada yang mengulang kelas pun tidak pernah jadi cemoohan. Saat itu kami sebut mereka yang tinggal kelas sebagai veteran. Memang tetap ada sebutannya, tetapi sehari-hari dalam pergaulan di kelas maupun di luar kelas kami tidak membeda-bedakan.

Kami semua tidak memikirkan ranking atau juara kelas, teman-teman sangat solid sekali. Apalagi waktu dapat kesempatan kerja praktik di luar kota, kami seperti saudara: satu rasa satu sepenanggungan.

Kembali ke ceritaku soal kerja praktik, di masa itu industri pesawat terbang Indonesia sedang maju-majunya. Kami siswa STM Penerbangan sering dikirim ke Bandung. Ke mana lagi kalau bukan di Bandara Husein Sastranegara yang tidak jauh dari situ ada Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang kini dikenal sebagai PT Dirgantara Indonesia atau PTDI. Seingatku aku berangkat ke Bandung di tahun 1979.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #8: Antara Meneruskan Pendidikan Agama Atau ke Sekolah Umum
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #9: Pengalaman Baru dengan Mesin Pesawat dan Anak Kolong
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #10: Sahabat Baik dan Cinta Monyet

Kost di Teluk Buyung

Karena akan tinggal untuk waktu yang lama, praktis aku harus tinggal di indekos. Kosku saat itu terletak di kawasan Teluk Buyung. Tidak jauh dari Bandara Husein. Sementara temanku ada yang tinggal di Maleber, Pandu, Pamoyanan, dan wilayah lain yang letaknya juga sekitar Husein Sastranegara.

Tinggal di kos dan jauh dari orang tua, aku merasa inilah waktuku untuk mengurus diri sendiri yang sepenuhnya. Untung, sedari kecil aku sudah terbiasa disiplin. Dididik dan bekerja  bersama-sama tidak hanya di lingkungan rumah tetapi juga sekolah. Apalagi di STM-ku di mana nuansa TNI AU-nya kuat sehingga kedisiplinan diutamakan mulai dari berpakaian, fisik, mental, kejujuran, tanggung jawab, kebersamaan dan saling menghargai. Tahapan belajar yang luar biasa yang membantuku bertahan saat di perantauan.

Bandung yang dulu berbeda dengan sekarang. Seingatku Jalan Pasteur ke Sarijadi saja belum terhubung, apalagi Flyover Pasopati. Di Pasir Kaliki masih banyak pohon rindang di kanan dan kiri. Untuk pergi ke Lembang mesti pakai mobil Ostin, seperti opelet. Masih banyak angkot di sekitar Jalan Pajajaran, Kebon Kalapa, hingga Cimahi.

Selama praktik kerja di Bandung hampir tiga pekan sekali aku pulang ke Jakarta. Aku biasanya pulang bersama Tono, teman akrabku yang sering aku sebut di tulisan sebelumnya. Tono punya motor Vespa, dan dengan Vespa itulah setiap tiga pekan sekali kami pulang dari Bandung ke Jakarta melintasi jalur Cianjur, menuju ke Puncak, Bogor, lalu masuk Jakarta.

Jalur Puncak di masa itu ademnya minta ampun. Pohon rindang di mana-mana belum dipenuhi Villa seperti saat ini. Apalagi macet. Semuanya masih rindang dan asri. Meski begitu kami tidak ada rasa takut. Di Cianjur, kami melintasi Rajamandala, di mana ada jembatan yang kini masih berdiri kokoh menjadi gerbang dari Kabupaten Cianjur. Kalau diingat sekarang, perjalanan yang kami tempuh tiap tiga pekan sekali itu jauh juga. Beruntung Allah selalu melindungiku di mana pun aku berada.

Pada saat aku praktik di Husein Sastranegara, aku dibimbing oleh seorang anggota TNI AU yang berpangkat kapten. Namanya aku masih ingat, Pak Fadliadi. Sosok yang begitu sabar saat membimbing dan ya, dia juga menjadi salah satu orang yang banyak membantuku di perantauan. Makanya sosoknya sangat berkesan. Bertahun-tahun kemudian, aku abadikan namanya pada nama anak pertamaku. 

Dan kesanku tentang Bandung? Ah aku senang di sana. Bisa melihat panorama alam tanah Sunda. Yang dikenal sedari dulu, Bandung adalah kota pendidikan, kota mode, kota tempat santainya muda mudi, dengan gadisnya yang memesona.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//