• Opini
  • Mendekonstruksi Heroisme Militeristik, Pahlawan adalah Penjaga Ruang Hidup

Mendekonstruksi Heroisme Militeristik, Pahlawan adalah Penjaga Ruang Hidup

Kepahlawanan bukan narasi heroisme, tetapi sebuah pengamalan nilai serta tindakan untuk menjaga ruang hidup dan kemanusiaan.

Wahyu Eka Styawan

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur & Anggota FNKSDA

Pekerja memahat nama-nama nakes yang gugur di monumen perjuangan pahlawan Covid-19, kawasan Gasibu, Bandung, Jumat (2/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 November 2023


BandungBergerak.id – Narasi pahlawan dalam 10 November mungkin terlalu mainstream, karena yang diangkat adalah imajinasi heroisme maskulin, di mana pahlawan selalu diasosiasikan sebagai mereka yang angkat senjata, memakai baju loreng dan tegap gagah berbaris seirama sembari meneriakkan yel-yel kekompakan. Tapi apa yang disebut sebagai pahlawan tak sesempit itu, bahkan kita tidak sadar ada pahlawan-pahlawan lain yang hadir tanpa angkat senjata dan bahkan ia tak mau dipuja-puja meski jasanya sangat besar.

Pahlawan atau dalam bahasa inggrisnya hero secara etimologi berasal dari istilah Yunani ?ρως (h?r?s) atau dalam definisi yakni sang pelindung atau sang penjaga jika merujuk pada karya Henry George Liddell dan Robert Scott,  dalam judul A Greek-English Lexicon. Bahkan dalam The American Heritage Dictionary of the English Language, makna hero mengarah pada bagaimana melindungi dan menjaga. Dalam perkembangannya pahlawan adalah sosok baik yang berupaya menjaga sesuatu dalam narasi populer adalah kehidupan, baik wilayah, manusia bahkan sumber penunjang kehidupan yakni alam. Sementara antonim dari pahlawan adalah penjahat, yang diimajinasikan perusak, perampas dan ancaman untuk kehidupan.

Zen RS dalam esainya berjudul "Menghargai Anti Hero" dalam narasi.tv telah secara lengkap menyampaikan persoalan bahwa istilah pahlawan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah relasi kuasa. Penuturan sejarah, penciptaan monumen bahkan legitimasi kepahlawanan memang diatur sedemikian rupa untuk menciptakan kestabilan kekuasaan, atau dalam kata lain pahlawan merupakan "kata kunci" untuk menundukkan dan mendorong kepatuhan,  yang bertujuan untuk mempertahankan status quo.

Mungkin kita pernah ingat kalimat sakral yang sering diucapkan "sejarah dituliskan oleh mereka yang menang" bukan untuk mengenang, tapi dengan kata lain untuk melegitimasi tindakan serta menarasikan sesuatu yang mengunggulkan sebuah kekuasaan dari mereka yang berkuasa. Seperti catatan kekejaman Minak Jinggo dari timur dan kepahlawanan Damar Wulan, tak lain sebuah sastra sejarah yang ingin mengatakan bahwa ekspansi Majapahit ke wilayah timur itu untuk menegakkan kebaikan, padahal nyatanya Majapahit menyerang wilayah timur dari Lumajang sampai ke Banyuwangi adalah hasrat untuk menaklukkan wilayah tersebut dan menegaskan bahwa Majapahit adalah yang digdaya.

Sama halnya sejarah mengenai kepahlawanan Soeharto yang terus diulang-ulang melalui sebuah film Janur Kuning "Serangan Umum 1 Maret 1949" yang ingin menampakkan bahwa ia adalah aktor kunci dalam pemertahanan kemerdekaan RI. Lalu ditegaskan dalam film legendaris G30S/PKI yang ingin menegaskan bahwa pembantaian atas orang yang terafiliasi dengan PKI merupakan kebenaran, dan lagi-lagi Soeharto menjadi pahlawan. Dari dua film itu, sampai buku sejarah versi militer yang ditulis oleh Nugroho Notosutanto, merupakan sebuah legitimasi bagaimana peristiwa 65 merupakan sejarah kelam yang berawal dari haus kekuasaannya PKI, dan Soeharto adalah ratu adil yang hadir untuk menghentikan itu.

Meski banyak catatan-catatan historis yang mulai terkuak bahwa apa yang dituliskan oleh rezim Soeharto ternyata banyak kejanggalan bahkan telah didekonstruksi, sehingga fakta baru bermunculan. Tetapi ingatan kolektif yang hadir melalui flooding informasi berupa pengetahuan versi rezim yang didorong oleh 'hegemoni' negara ke rakyat dan rakyat ke negara, melalui pengetahuan telah menyebar serta mengakar. Akibatnya temuan Ruth McVey, Ben Anderson bahkan John Roosa hanyalah bualan yang tujuannya untuk disintegrasi NKRI, sebuah bentuk perilaku anti sains yang terus dirawat melalu pembentukan kebenaran versi rezim, mungkin kita ingat ministry of truth-nya Orwell dalam novel 1984, yang mana bertujuan untuk memanipulasi kesadaran melalui pengetahuan sepihak.

Baca Juga: Ode untuk Pahlawan-pahlawan Bertopeng
NGABANDUNGAN: Panggung Pengkhianat dan Pahlawan
Surat Cinta dan Dukungan Menjadi Pahlawan Nasional untuk Inggit Garnasih

Narasi Kepahlawanan

Mengapa narasi kepahlawan selalu identik dengan militerisme, karena memang itu yang dibangun serta terus dirawat hingga saat ini. Sampai melupakan bagaimana dedikasi tinggi Tirto Adi Suryo dalam membangun kesadaran melalui gerakan pers, atau seorang Misbach yang mendorong penyadaran melalui tulisan tajam penuh kritik membangun, mungkin juga KH Ahmad Dahlan yang mencoba membangun pendidikan alternatif untuk meningkatkan kesadaran, bahwa melalui ilmu maka belenggu penjajahan dengan aneka kebatilannya bisa dikikis. Kita seakan-akan melihat kepahlawanan dalam konteks menjaga dan melindungi hanya sebatas otot atau klenik heroisme (kisah diulang dan disakralkan turun menurun secara sepihak).

Dari sinilah kita lupa esensi seharusnya dari pahlawan, yakni sebuah usaha dan upaya baik fisik maupun pikiran untuk melindungi kehidupan. Bukan sekedar kemerdekaan, tapi benar-benar menjaga ruang hidup kita dari aneka ancaman. Salim Kancil telah mencontohkan kepada kita, sampai rela melepas nyawanya untuk melawan tambang yang akan merampas tanah-tanah kehidupan. Tidak hanya Salim Kancil, ada sosok Harwati, Cak Rokhim dan Cak Ir yang mengajak untuk terus bersuara bahwa Lapindo bukan bencana alam tapi bencana industri hasil dari aktivitas korporasi pertambangan yang menyalahi tata ruang.

Sampai sosok Budi Pego yang tetap tegap menyuarakan tolak tambang emas meski dirisak, dipenjara dan dibuat tidak nyaman tinggal di kampung halamannya, hanya karena ingin kampungnya tidak hancur.  Ada juga sosok Kang Sunu, Kyai Seniman yang tegap melindungi tanahnya di Urutsewu dari upaya perampasan militer, lalu Teh Eva di Tamansari yang berjuang melawan penggusuran, serta mereka yang terus bersuara untuk melindungi dan menjaga kehidupannya.

Mereka adalah orang biasa yang tidak bersenjata atau dibungkus dalam balutan ala Rambo hingga Avengers. Mereka adalah warga yang berjuang untuk melindungi kehidupannya, menjaga tanah airnya dari kerusakan. Sosok biasa yang menginternalisasi nilai pahlawan sesungguhnya. Kepahlawanan bukan narasi heroisme, tetapi sebuah pengamalan nilai serta tindakan untuk menjaga ruang hidup dan kemanusiaan. Sebab pahlawan adalah kita yang berjuang mempertahankan kehidupan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//