SISI LAIN SCHOEMAKER #17: Polemik Masjid Cipaganti Bagian II
Moch. Enoch menjadi satu-satunya pribumi dalam Komisi Teknik bentukan Gemeenteraad Bandung yang akan membahas polemik Masjid Cipaganti yang terancam dihancurkan.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
17 November 2023
BandungBergerak.id – Masjid Cipaganti yang konon sudah dibangun sejak satu abad sebelumnya itu memunculkan problem kepemilikan tanah. Meski diusulkan untuk dibangun kembali oleh para pemuka Muslim, tidak sedikit rintangan yang harus dilalui karena berhadapan dengan kebijakan Gemeente Bandung. Bagi kalangan umat Muslim, pembangunan jalan yang berimbas pada penghancuran tempat ibadah itu kerap disebut sebagai persoalan besar. Apalagi, Masjid yang dibangun di Jalan Cipaganti tersebut merupakan tanah wakaf yang seharusnya dijaga dan juga tidak bisa diganggu gugat.
Salah satu tulisan dalam koran Sipatahoenan 29 Oktober 1932 menjelaskan jika problem yang datang kemudian bukan hanya berhubungan dengan penghancuran gedung-gedung yang dianggap tua, tetapi juga mengindikasikan tidak adanya penghormatan terhadap tempat peribadatan bagi umat Muslim. Demikianlah pandangan redaksi Sipatahoenan dalam melihat pembangunan jalan yang merangsek kawasan Masjid Cipaganti itu, sehingga perlu untuk menampilkan pendapat seorang pejabat mengenai masjid sebagai legitimasi agar tidak dihancurkan.
Mengacu pada tulisan G. F. Pyper yang telah diterjemahkan oleh redaksi Sipatahoenan, bahwa masjid merupakan wakaf atau bangunan suci yang tidak boleh dijual, digadaikan, diwariskan maupun diberikan kepada pihak tertentu. Pyper yang juga menjabat sebagai Penasihat untuk Urusan Bumiputera menjelaskan jika masyarakat Muslim mempunyai hak dan kewajiban untuk menjaga masjid sebagai tempat ibadah.
Di samping itu, Pyper juga memberikan contoh pada sebuah masjid Arab di Indramayu. Dalam masjid tersebut terdapat suatu tulisan berbahasa Arab, yang berarti suatu masjid tidak boleh dijual, tidak boleh digadaikan bahkan tidak boleh diberikan kepada seseorang dengan Allah sebagai saksinya. Berdasarkan aturan ini, maka sebuah masjid mesti betul-betul dijaga oleh umat Muslim, sehingga penjelasan ini sekaligus mengklaim bahwa sebuah masjid yang sudah berdiri tidak boleh dirobohkan atau dipindahkan (Sipatahoenan, 29 Oktober 1932).
Baca Juga: SISI LAIN SCHOEMAKER #14: Beralih ke Islam
SISI LAIN SCHOEMAKER #15: Teman Baik M. Natsir
SISI LAIN SCHOEMAKER #16: Polemik Masjid Cipaganti Bagian I
Pertemuan Gementeraad Bandung
Pada 10 November 1932, Gemeenteraad Bandung mengadakan pertemuan penting membahas berbagai urusan dalam internal. Semula, pembahasan tentang Masjid Cipaganti akan dibahas pula dalam pertemuan itu. Tetapi karena forum mengarahkan pembahasan pada penunjukan anggota Komisi Teknik, masalah Masjid Cipaganti mesti dialihkan pada pertemuan selanjutnya.
Konon, pada pertemuan itu Moch. Enoch terpilih sebagai anggota Komisi Teknik. Sementara bagi kalangan yang mempunyai kepentingan terhadap persoalan Masjid Cipaganti, mereka menaruh harapan besar pada sosok Moch. Enoch tersebut. Di samping itu, terpilihnya Moh. Enoch disebut-sebut atas rekomendasi Wolff Schoemaker bersama Darmakoesoemah yang mempunyai pandangan bahwa Enoch cocok untuk menduduki komisi itu (Sipatahoenan 10, November 1932). Namun, polemik Masjid Cipaganti masih terus berlanjut sampai menghasilkan keputusan resmi dari Gemeenteraad Bandung.
Pada edisi 5 Desember 1932, Sipatahoenan menampilkan informasi tentang akan diadakannya pertemuan yang digelar oleh Gemeenteraad Bandung. Selain soal-soal penting yang sudah dibahas sebelumnya, Masjid Cipaganti pun menjadi sorotan yang akan dibahas dalam pertemuan itu. Akan tetapi College B & W selaku pemilik keputusan meminta agar persoalan Masjid Cipaganti diserahkan kepada pihaknya, meskipun hal ini mendapat respons dari kalangan Muslim karena mereka ingin supaya pertemuan yang akan berlangsung pada tanggal 12 Desember itu sudah menghasilkan keputusan positif (Sipatahoenan, 10 November 1932).
Sebelumnya, College B & W memutuskan beberapa orang pengurus untuk Komisi Teknik. Namun, keputusan tersebut mendapat bantahan dari Wolff Schoemaker dan juga Darmakoesoemah. Bantahan itu ditujukan atas pemilihan orang-orang yang tidak sepenuhnya memiliki kompetensi dalam bidangnya, termasuk mayoritas yang berasal dari kalangan Belanda. Sementara dari kalangan Bumiputera hanya satu yang terpilih. Itu pun atas usulan Wolff Schoemaker dan juga Darmakoesoemah.
Pada pertemuan yang digelar 12 Desember, Walikota Bandung, J. E. A. von Wolzogen Kuhr, memimpin langsung rapat penting itu. Seperti biasa pertemuan dibuka dengan sambutan disertai dengan penjelasan masalah yang sempat dibahas dalam pertemuan sebelumnya. Pembahasan tersebut di antaranya, mengenai keputusan yang telah dijalankan oleh College B & W. Setelah menanggapi persoalan ini, Walikota mempersilakan kepada forum untuk memberikan pendapat dan pertanyaan. Lalu, Moh. Enoch membantah penjelasan von Wolzogen itu berkaitan dengan soal insvloedssfeer karena dinilai keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Sipatahoenan, 15 Desember 1932).
Meski Moh. Enoch mengkritik kebijakan politik Gemeenteraad, ia banyak berterima kasih kepada College B & W yang telah mendengarkan keinginan kalangan Muslim soal Masjid Cipaganti. Konon, College B & W akan memenuhi semua keinginan yang telah dipinta itu, kendatipun Enoch masih menyayangkan kebijakan Gemeenteraad yang masih menyulitkan kalangan Muslim. Seperti mendirikan langgar yang mesti di satukan dengan rumah karena terbentur oleh aturan roilijn (Sipatahoenan, 15 Desember 1932).
Tentu saja aturan tersebut seolah mencampuri urusan ritual kalangan Muslim. Sebab, bagi Enoch sendiri, langgar merupakan tempat yang sangat suci. Sementara jika bangunan langgar menyatu dengan rumah, jelas nuansa kesucian akan hilang disebabkan oleh berbagai kebiasaan yang dilakukan dalam rumah sehingga Enoch berharap bahwa Gemeenteraad dapat mendengarkan keluhan dari aturan roilijn (Sipatahoenan, 15 Desember 1932).
Pertemuan penting yang digelar oleh Gemeenterad Bandung itu memang tidak difokuskan pada satu persoalan yang belum selesai, terutama masalah bangunan Masjid Cipaganti yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Muslim. Hal ini tentu seakan-akan berada di jalan buntu lantaran belum membuahkan hasil signifikan. Meski College B & W akan memenuhi harapan yang diinginkan, tidak diterangkan kapan persoalan Masjid Cipaganti akan kembali dibahas. Yang pasti, dalam pertemuan itu, banyak sekali persoalan yang dimunculkan ke dewan forum. Persoalan tersebut berkaitan dengan kesejahteraan rakyat di Bandung, di antaranya mengarah pada urusan pestbestridjing yang memerlukan cukup uang untuk membangun rumah-rumah bagi rakyat. Atau bahkan persoalan tarif saluran air yang dianggap terlalu mahal bagi kalangan rakyat kecil (Sipatahoenan, 15 Desember 1932).
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Hafidz Azhar, serta artikel-artikel lain bertema sejarah.