• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #12: Sekembalinya Aku dari Bandung

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #12: Sekembalinya Aku dari Bandung

Lulusan STM mesti memenuhi syarat kerja dua tahun terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke jenjang universitas. Sambil mencari pekerjaan, aku menjadi sopir omprengan.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Suasana Bandung sekitar tahun 1982. (Foto: H.C. Beynon, Bandung Or. 27.180 - photo 284, KITLV)

19 November 2023


BandungBergerak.id – Setamat aku menjalankan kerja praktik, aku kembali ke Jakarta. Tidak lama memang, hanya dua bulan. Tapi betah rasanya. Dua bulan aku di sana, sering kugunakan waktu luangku untuk menyusuri jalanan sekitar, perjalanan dari kos ke kantor pun indah rasanya untuk dikenang. Bandung waktu itu, yang asri, yang rimbun, dan sejuk. Pengalaman yang belum tentu dialami oleh setiap orang apalagi di kampungku, orang Betawi, yang mana kebanyakan memang tidak punya tradisi merantau.

Selain itu, masa aku tinggal di Bandung yang cukup lama bagiku saat itu, aku anggap sebagai momen penting yang menentukan jalan hidupku kelak. Di awal aku kan cerita, kalau sedari dulu, hati kecilku selalu berontak untuk merantau. Tidak ingin selamanya diam di kampung. Setelah lulus sekolah, maunya pergi biar tahu dunia luar. Namun selama ini kan belum ada bayangan akan ke mana. Sekembalinya aku dari Bandung, aku pikir, Bandung boleh juga jadi pilihan aku merantau kelak.

Setelah dua bulan merantau aku kembali ke Jakarta dan sekolah seperti biasa. Seingatku tidak lama kemudian, kami yang baru pulang kerja praktik harus menghadapi ujian sekolah untuk menentukan kelulusan kami kelak. Jika dibandingkan saat masa anak-anakku dulu, rasanya masa SMA-ku ujian kelulusan tidak begitu menakutkan. Tidak ada yang namanya Bimbingan Belajar dan kursus jelang ujian seperti sekarang. Aku tidak kenal itu semua. Aku dan teman-teman praktis hanya mengandalkan apa yang didapat dari sekolah.

Orang tuaku, sebagai orang tua Betawi masa lalu juga tidak banyak memikirkan tentang proses sekolah anak rasanya. Selagi anaknya bisa bersekolah dan lulus, bagaimana pun nilainya, itu semua sudah cukup.

Setelah serangkaian ujian, aku lulus dari STM Penerbangan. Seingatku itu di tahun 1979. Selepas STM, aku tentu punya keinginan. Salah satunya melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi yakni pendidikan setingkat universitas. Tapi di momen ini orang tuaku sudah tidak begitu banyak tanya. Mungkin mereka pikir, paling tidak wajib belajar sembilan tahun sampai tingkat SMA sudah dipenuhi.

Waktu itu aku daftar ke dua sekolah tinggi. Yakni Politeknik Universitas Indonesia dan STTN. Untuk mendaftar ke dua sekolah ini aku mengurus semuanya sendiri. Aku naik bus dari rumah yang karcisnya dibeli langsung di terminal. Membawa formulir, mengisinya, dan mengembalikannya, lalu datang lagi untuk tes. Namun sayang aku tidak lolos seleksi penerimaan di dua sekolah tinggi itu. Alasannya, lulusan STM mesti memenuhi syarat kerja dua tahun terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke jenjang universitas. Itu yang kuingat. Ya sudah aku pilih istirahat dulu, sambil mikir dan cari kerja.

Di momen ini sekali lagi aku dididik untuk mandiri. Dalam urusan memilih tujuan baru setelah lulus SMA misalnya, tidak ada yang ikut memikirkan dari keluarga dan aku juga memakluminya. Maklum di kampungku tidak banyak orang bekerja di sektor formal seperti kantor. Jarang yang jadi pegawai. Lalu aku dapat informasi dari mana? Hanya koran yang bisa aku ajak bicara, karena semua informasi, terutama terkait lowongan pekerjaan cukup banyak ditemukan di koran. “Bismillah, semoga dapat,” doaku setiap hari ketika membaca lowongan pekerjaan di koran.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #9: Pengalaman Baru dengan Mesin Pesawat dan Anak Kolong
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #10: Sahabat Baik dan Cinta Monyet
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #11: Mulai Mengenal Bandung

Jadi Sopir Omprengan

Di sela-sela ikhtiarku mencari kerja, aku mengisi waktu luang dengan menjadi sopir omprengan. Kebetulan aku sudah bisa menyetir mobil karena di kelas dua STM aku sudah punya SIM mobil. Lagi pula hanya itu kendaraan yang aku bisa. Motor mungkin bisa, tapi tidak biasa mengendarainya. Soalnya dulu Babaku enggak ngasih anaknya naik motor. Aku masih ingat kata Baba: “Anak gua mah enggak usah bawa motor, bawa mobil aja nanti kalau udah gede.”

Sebagai sopir, biasanya aku cari muatan dari Pasar Kebayoran Lama ke Pasar Ciledug. Aku kalau bawa mobil ditemani dengan seorang kenek yang pekerjaannya meminta ongkos pada penumpang. Penumpangnya naik turun. Karena trayeknya yang melintasi jalur sekolah SMP-ku di mana banyak temanku yang tinggal di sekitar sana, maka aku jadi sering ketemu teman-temanku ini. Biasanya kalau sudah begitu, sepanjang perjalanan aku ada kawan ngobrol. Saking asyiknya aku sungkan menerima bayaran dari mereka. Tapi mereka memaksa, malah kadang kembaliannya disuruh aku ambil juga.

Ya walaupun cuma sesekali, jadi sopir omprengan cukup untuk mengisi waktu luang sambil terus ikhtiar mencari kerja. Sekadar cari uang untuk jajan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//