Dari Eric Weil Hingga Virus Akal Budi: Jalan Damai dengan Damai
Kita perlu menyadari bahwa ketakutan adalah akar dari kekerasan, konflik, dan penderitaan yang menyebabkan perdamaian yang tak kunjung datang.
Sidik Permana
Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse
25 November 2023
BandungBergerak.id – “The meaning of life is that it stops,” ungkap Franz Kafka, novelis dan cerpenis dari Praha. Berhenti adalah cara terbaik memaknai hidup, dan mungkin kematian adalah jawabannya. Kematian dan penderitaan adalah takdir dan tragedi yang terus hidup di sepanjang napas kehidupan. Bersamaan dengannya, rasa sakit, sedih, sepi, luka, terasing, hingga depresi, turut hadir mewarnai kehidupan sebagai konsekuensinya. Dengan kutukan kesadarannya, manusia “diminta” untuk menikmati rasa sakit akan kehilangan tersebut. Perlahan, tingkat peradaban manusia terus memperhalus rasa kemanusiaan—kendati kesedihan dan kemalangan tidak terhindarkan—dan mulai berdamai dengan kenyataan bahwa manusia mesti menikmati kematian. Namun, pada satu momen, orang-orang berpikir tentang kematian yang tidak (terasa) baik dan terus meninggalkan luka yang tidak dapat diterima, seperti pembunuhan hingga dampak peperangan. Umumnya, kematian yang dimaksud, lahir dari hadirnya konflik yang abnormal dan absurd.
Perjalanan sejarah peradaban mengarahkan kita pada konflik-konflik berdarah manusia yang tidak pernah usai, perang salah satunya. Selama berabad-abad, tidak sedikitpun manusia terhindar dari perang dan konflik yang memakan jiwa. Dilansir dari laman The New York Times (2003), selama kurun waktu 3.400 tahun terakhir, dunia hanya merasakan setidaknya 268 tahun masa damai, atau hanya 8% sepanjang sejarah. Bahkan, tragedi pembantaian diketahui sudah muncul sejak kurang lebih 12.000 tahun yang lalu atau bersamaan dengan lahirnya era pertanian. Menurut Luke Glowacki, sebagaimana dikutip dari laman National Geographic Indonesia (2023), pertanian tidak diperlukan dalam peperangan, namun ia memfasilitasi hal tersebut. Hal yang menyedihkan adalah berkembangnya peradaban manusia di milenium kelima justru mengawali pertempuran berkepanjangan dengan pengorganisasian militer yang terus mengalami efektivitas dan efisiensi menjadi lebih mematikan.
Reconquista tercatat sebagai perang terpanjang dengan memakan waktu 781 tahun, di satu sisi perang Anglo-Zanzibar adalah perang paling singkat dalam sejarah dunia hanya beberapa menit. Kemudian, dari perang paling mematikan yaitu World War 1 dan 2, sampai perang kontemporer seperti konflik Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel. Fakta menyedihkan ini terus-menerus menggetarkan sisi kemanusiaan kita untuk setiap nyawa yang lenyap akibat sesuatu yang “dibuat” oleh sisi gelap manusia demi kekuasaan, kekayaan, dan kejayaan. Padahal, kematian satu nyawa adalah tragedi, sedangkan kematian banyak nyawa adalah statistik, sesuai penuturan Joseph Stalin. Mungkin, ada kalanya kita mesti mempertanyakan tentang dasar manusia yang selalu berharap hidup damai, namun pada saat yang bersamaan kerap menimbulkan konflik dan kekerasan. Rasanya, perdamaian adalah perang yang tertunda, dan perang adalah jalan menuju perdamaian yang tertunda. Tentu bagi bangsa Indonesia, harapan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, “...dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...” dapat terwujud. Oleh karena itu, kita mesti menggali kembali makna damai ini dengan lebih jujur dan terbuka.
Baca Juga: Mengurangi Konflik Keberagaman di Bandung dengan Dialog dan Mendengarkan
Mengurangi Dampak Perang atau Konflik Bersenjata dengan Memahami Hukum Humaniter Internasional
Konflik Abadi di Tanah Suci
Virus Akal Budi Kekerasan
Ketakutan adalah akar kekerasan, dan kekerasan tidak menghasilkan kedamaian yang menenangkan. Lalu, bagaimana dunia diliputi ketakutan? Ini akan mendorong kita pada pemikiran survival of the fittest, yaitu bahwasanya kehidupan diperuntukkan bagi makhluk yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan lingkungannya. Dan, demi bertahan hidup dan meneruskan kehidupan itu, setiap makhluk hidup dihadapkan dengan ketakutan yang ditopang baik secara naluriah maupun rasionalitas (manusia). Terlebih, keselamatan adalah unsur utama perkembangbiakkan (Brodie, 2005). Maka, demi melanjutkan gen ke keturunan kita atau setidaknya mempertahankan hidup kita sendiri, maka ketakutan akan memaksa kita untuk mencari cara agar terus bertahan hidup, bahkan bila perlu dengan memberikan rasa takut ini kepada musuh-musuh yang mengancam eksistensinya di kehidupan.
Konsep evolusioner ini pada akhirnya menganggap manusia, hewan yang rasional itu, untuk memutuskan “melanjutkan” kehidupannya (gennya) atau berakhir menjadi pecundang di pojok alam semesta. Menjadikannya sebagai salah satu pendorong lahirnya kekerasan yang dapat ditukar dengan kesempatan hidup. Entah bagaimana hal ini dipandang rasional atau irasional, walau sepertinya Eric Weil pun akan cukup geram bila ketakutan yang berevolusi ini menjadikan kekerasan sebagai kerangka untuk melanjutkan hidup yang mengerikan di bawah kematian-kematian yang berarti bagi corak peradaban manusia, yaitu perikemanusiaan.
Barangkali, ketakutan ini berawal dari “meme”, yang dibajak oleh ketidakbijaksanaan manusia yang tidak atau kurang menyentuh sisi kefilsafatan dalam menempuh kebijaksanaan hidup. Menurut Brodie, meme merupakan kode rahasia perilaku manusia, Batu Rosetta, yang pada akhirnya akan memberi kita kunci untuk memahami agama, politik, psikologi, dan evolusi budaya. Bagaimanapun, meme atau bisa kita sebut dengan gagasan yang menyebar ke orang lain dalam budaya, sebagaimana diungkap Richard Dawkins, dapat dibajak dan melahirkan virus akal budi yang merusak manusia untuk berpikir jernih terkait kehidupan. Bagaimana pun, Meme merupakan unsur utama informasi di dalam akal budi yang keberadaannya memengaruhi berbagai peristiwa sedemikian rupa sehingga tercipta lebih banyak salinan meme itu di dalam akal budi orang lain (Brodie, 2005). Sehingga, perlu kita sadari, bahwa dengan melihat ketakutan sebagai akar dari kekerasan, konflik, dan penderitaan yang menyebabkan perdamaian tidak kunjung datang, maka kita akan melihat evolusi ketakutan dari diri manusia ke dalam bentuk yang lebih variatifnya benar-benar merepotkan seluruh kehidupan, khususnya manusia itu sendiri. Lalu, apakah vaksin yang tepat untuk membunuh virus tersebut.
Bahayanya adalah ketika meme baik dari ketakutan itu dibajak oleh “virus akal budi” dan inangnya terjangkiti sepenuhnya, mengubah ketakutan menjadi ancaman yang harus ditiadakan, maka dipastikan perang dan konflik lainnya akan terus lahir. Egoisme dan hegemoni akan terus berpadu menjadi mesin pembunuh berdarah dingin yang menjangkiti orang dengan kesempatan kuasanya dan masyarakat akan diseret ke dalam konflik irasional tersebut. Seluruhnya, dilahirkan oleh rasa takut akan keabadian yang pupus akibat ancaman yang datang mengganggu proses survival of the fittest. Sesuatu sedang bergerak di dunia ini yang menjangkiti masyarakat dengan meme tertentu, dan meme-meme itu pada suatu saat juga memengaruhi perilaku induk-semangnya begitu rupa sehingga sesuatu itu terulang dan atau tersebar, dimana sesuatu itulah virus akal budi (Brodie, 2005). Dan, yang paling dikhawatirkan adalah kenyataan bahwa ketakutan manusia bukan sekadar insting atau naluri, namun berkembang ke dalam bentuk yang lebih unik dan (mungkin) mematikan. Maka dari itu, kita melihat kekerasan, peperangan, perlombaan senjata, upaya monopoli, dan lain sebagainya. Hal ini terus mendorong kegelisahan kita selama ini, apakah produk ketakutan dan praktik atas dasar ketakutan yang tercipta selama ini lahir dari potensi rasionalitas manusia atau justru irasionalitasnya.
Filsafat, Kebijaksanaan, dan Kekerasan
Beban nama dari Aristoteles dan aristotelian yang menyebutkan, “manusia adalah hewan yang berpikir”, mengesankan kepada kita bahwa manusia (selalu) rasional dalam keputusan hidup. Padahal, hal itu bersifat kemungkinan, potensial, bahwa manusia bisa bertindak rasional, dan sewaktu-waktu irasional. Menanggalkan gelar bahwa manusia adalah pusat alam semesta, antroposentris, lalu memandang dunia di bawah bayang-bayang ketakutan-ketakutan yang benar-benar diciptakan manusia. Mungkin, hewan pada umumnya bisa abai—dengan ketidaktahuannya yang berkesadaran—dengan hal itu, mungkin juga kita dipandang sebagai predator yang mesti dihindari atau dilawan olehnya sebagaimana hukum alam bekerja, tetapi bagi manusia sendiri mereka adalah sosok yang bisa saja begitu kejam, dengan ketakutannya yang “unik”, bisa saja memusnahkan sesama spesies manusia begitu saja. Hal ini menandakan bahwa manusia berakal budi ini pun tidak sesempurna yang dibayangkan orang pada umumnya, dengan segala kesombongan manusia dengan gelar yang mendeterminasikan keistimewaannya di hadapan makhluk kingdom animalia umumnya. Bahkan, bisa jadi akal budi yang dimaksud mengalami sedikit error di bagian di mana manusia mestinya mencari kedamaian yang tersedia—sungguh-sungguh damai yang asli—dibandingkan kekerasan dan ketakutan yang dramatis namun cukup laris. Eric Weil (1997) menegaskan, “Akal budi merupakan sebuah kemungkinan dari manusia, kemungkinan yang tentang apa yang ia bisa. Tentu saja manusia bisa menjadi rasional, namun bukan sebuah keniscayaan. Ia tetap mempunyai kemungkinan lain. Dan kita ketahui bahwa kemungkinan lain itu adalah kekerasan.” Hal ini menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk potensial, berkemungkinan besar melahirkan kekerasaan yang irasional.
Pada akhirnya, filsafat adalah usaha penting yang bisa dimanfaatkan manusia untuk mendorong sisi kemanusiaan dan kebijaksanaan menjadi lebih bermakna dan hidup dalam masyarakat. Menjadikannya, bukan sekadar kata-kata berat yang keluar dari filsuf secara teoretis, namun juga praktis. Jalan filsafat itulah yang kemudian dapat mengasah kemampuan rasionalitas dan menghasilkan kebijaksanaan yang cukup bermoral untuk menghindari segala bentuk ketakutan dan kekerasan yang dramatis. Filsafat bukanlah seperangkat teori yang bisa diajarkan melainkan perjuangan hidup di bawah bimbingan akal budi (Schirolollo, 1997). Melalui jalan filsafat ini juga, secara tidak langsung membuat kita belajar untuk memahami rasa takut yang selalu ditakui itu, memahami betapa buruknya kekerasan dibandingkan perasaan damai yang dengan keseriusan yang nyata mampu memberikan peluang bagi manusia untuk hidup lebih sejahtera. Maka dari itu, filsafat harus dihidupkan dalam kehidupan masyarakat umumnya, bukan hanya oleh filsuf di perkampusan atau buku-buku semata.
Dalam mewujudkan perlawanan terhadap kekerasan, filsafat diperlukan dalam menggali pemahaman akan pentingnya rasa damai dalam mewujudkan kesejahteraan yang lebih bermoral. Cara mewujudkannya tentu saja melalui dialog, sesuai dengan namanya filsafat yaitu pencarian akan kebenaran. Filsafat bukan pertama-tama refleksi untuk mencari kebenaran teoritis melainkan sebuah keutamaan dialogis-kritis (rasional) untuk melawan segala bentuk kekerasan dan barbarisme (Mulyatno, 2010). Alih-alih membiarkannya mengering di rak-rak buku perpustakaan atau melanglang buana di langit-langit abstraksi, alangkah baiknya bila prinsip dialogis-kritis dalam filsafat bisa diadaptasi oleh semua manusia sehingga filsafat akan lebih berkesan dari sekadar buku-buku beraroma “Hidup Ala Stoa” yang sering kali ditemukan di toko buku Indonesia akhir-akhir ini.
Dialog membuka cakrawala pengetahuan dan upaya memahami perdamaian dengan lebih komprehensif dan koheren, maka ia pun punya potensi dalam menekan ketakutan dan kekerasan yang irasional dari dalam diri manusia. Menurut Mulyatno (2010), secara filosofis, kekerasan berasal dari dalam diri manusia sendiri. Sederhana saja, coba pikirkan tentang keputusan menganiaya seorang petarung UFC apa pun alasannya, baik personal atau ikut jejak orang lain. Setelah itu, kita mengeksekusinya atas dasar pemikiran yang absurd dan mengada-ada. Keirasionalan, tanpa sekalipun mengukur dengan bijak kelemahan dan kekurangan pada diri kita yang bahkan tidak pernah bertarung di ring kelas teri sekalipun, akan berakhir dengan cerita yang tidak diinginkan. Tapi, bagaimana jika sejak awal, kita redam konflik batin yang meluap karena emosional ini lalu berpikir tentang hal yang lebih rasional semisal tidak turut merespons gimik dan cukup menikmati UFC. Perasaan dan fisik kita tentu akan lebih sejahtera dan terpuaskan. Maka, apa yang diucapkan Eric Weil (1997) benar adanya, bahwa berfilsafat merupakah tindakan rasional untuk mewujudkan kemungkinan meminimalisir kekerasan dan kebisuan terhadap berbagai persoalan hidup bersama, mengatasi kemalasan serta mengembangkan keindahan hidup bersama. Alih-alih membuat kita takut untuk tidak memutuskan, ia memberikan waktu bagi kita untuk berpikir dan memikirkan risiko.
Filsafat dapat meminimalisir kekerasan, dengan catatan bahwa ia mampu menghidupkan kebijaksanaan dan moralitas dari manusia yang bergelut dengannya. Taboni (1992) menambahkan, “kekerasan hanya bisa diminimalisir melalui pendidikan, pengembangan peradaban dan berfilsafat (aktualisasi potensi-potensi rasional manusiawi). Akhirnya, kita menemukan kembali persoalan pendidikan dalam membentuk Sumber Daya Manusia yang mumpuni. Rasanya persoalan ini akan selalu menjadi buah bibir di Indonesia. Menurut UNICEF, sebagaimana dikutip dari laman UNICEF Indonesia (2023), diketahui bahwa data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2020 menunjukkan bahwa terdapat 4,1 juta anak-anak dan remaja berusia 7-18 tahun tidak bersekolah. Ini belum termasuk kualitas pendidikan dan variabel lainnya yang begitu banyak. Sedangkan, melatih manusia dalam mengasah rasa kemanusiaan dan meminimalisir kekerasan dilakukan setidaknya dengan tiga cara, yaitu pendidikan, pengembangan peradaban dan berfilsafat.
Dengan begitu, paling tidak bahwa ruang-ruang kelas, dan diskusi-diskusi publik di masyarakat, dengan tanpa melibatkan kemunafikan dan kefanatikan, bisa dihidupkan sehingga mampu mendorong pikiran untuk lebih bebas dan terbuka dalam menggali informasi dan keputusan rasional. Institusi pendidikan, kafe, hingga jalanan adalah “sekolah” yang cukup menjanjikan untuk membangun manusia Indonesia. Tentu saja mesti melibatkan orang-orang yang mau mengorbankan waktunya untuk terlibat dalam aksi kemanunsiaan ini dan berbagi jalan pikir filsafatnya kepada masyarakat luas. Ciri hidup dan tindakan yang bebas dan rasional tampak dalam keterbukaan untuk berdialog, berpikir secara koheren dan bertindak ke arah perkembangan diri (Mulyatno, 2010). Sehingga waktu kita tidak sia-sia untuk menghabiskan energi di mata kita hingga lelah untuk melihat sekumpulan pemikiran anti kekerasan, filsafat, kebijaksanaan, dan lainnya, namun setidaknya memberikan kebermanfaatan dan menjalan esensi moral dari orang yang berfilsafat. Itulah dambaan Eric Weil dalam mewujudkan kedamaian, memberikan kesempatan kepada semua orang menikmati filsafat dan merenungkan setiap keputusan secara rasional dan bermoral demi terwujudnya perdamaian, terutama di bumi Indonesia ini, dan dunia hari ini.
Simpulan
Dengan begitu, ada peluang untuk membunuh virus akal budi kekerasan yang lahir dari pemikiran para pengekor wacana maupun inangnya. Itu karena celah-celah bagi tersebarnya meme konflik dan kekerasan ini, yaitu manusia yang mudah teralihkan pandangannya, perlahan tersadar atau terjaga. Secara sukarela memandang perdamaian adalah fase penting dalam kehidupan yang tidak bisa ditukar dengan bentuk kekerasan apa pun. Pada saat yang bersamaan, meme baik berkembang dan bertahan dalam pikiran semua orang, menciptakan budaya yang berperadaban maju dan secara tidak langsung meminimalisir lahirnya konflik dan kekerasan yang berakar dari ketakutan. Akhirnya kita berada pada dipenghujung kata, “Peace cannot be kept by force. It can only be achieved by understanding,” ucap Albert Einstein.