• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #13: Balada Pencari Kerja

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #13: Balada Pencari Kerja

Paling tidak ada tiga perusahaan yang akun incar yakni Garuda, Pos dan Giro, serta Nurtanio Bandung atau yang kemudian dikenal sebagai PT Dirgantara Indonesia.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Ilustrasi para pekerja. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

26 November 2023


BandungBergerak.id – Seperti aku bilang, aku kerjakan apa saja di sela-sela ikhtiarku mencari kerja. Seperti menjadi sopir omprengan yang aku ceritakan di cerita pekan lalu. Tentu itu bukan target utamaku. Itu hanya untuk mencari waktu luang saja dan dapat penghasilan tambahan. Malu kalau mau minta terus sama orang tua.

Aku sendiri sebetulnya punya harapan untuk bisa bekerja di kantor. Paling tidak ada tiga perusahaan yang aku incar: Garuda, Pos dan Giro, serta Nurtanio Bandung atau yang kemudian dikenal sebagai PT Dirgantara Indonesia.

Waktu dulu aku masukkan lamaran melalui pos. Sambil menunggu panggilan inilah aku isi waktu luang dengan kerja-kerja sambilan. Selain jadi sopir omprengan, aku pernah juga kerja jadi marketing alat-alat kantor. Aku mau saja.

Aku bawa mobil Darsum untuk menunggang pekerjaanku. Berdua dengan temanku perempuan, Henny namanya, kami keluar masuk kantor untuk menawarkan barang yang kami jual. Henny anaknya pintar cari jalan di Jakarta. Dia memang sudah terbiasa ke kantor-kantor yang akan didatangi

Aku terus kerja apa saja hingga suatu hari, tetanggaku tiba-tiba menanyakan progres lamaran kerja yang aku layangkan. "Sudah melamar ke mana aja?," tanya dia.

"Sudah tiga tempat Om," jawabku. Aku memang memanggilnya dengan sebutan om.

"Sudah lama masukin lamarannya?" lanjut dia bertanya.

"Baru tiga harian lah," kataku pendek.

"Sini saya bawa, ke Nurtanio Bandung," kata si om.

"Iya sudah dikirim ke Nurtanio juga barengan yang tiga harian itu," kataku.

Aku pun sebetulnya belum tahu cara melamar kerja yang benar. Sepengetahuanku yang penting alamat kantor yang dituju saja, persyaratan lainnya menyusul. Lalu kirim melalui pos.

"Bismillah, mudah-mudahan keterima," itu doaku setelah mengirim lamaran lewat kantor pos.

Beberapa bulan kemudian, masih di tahun 1980 baru ada balasan dari salah satu instansi, yakni Pos Giro Bandung yang isinya menyatakan aku belum diterima. Alasannya tidak ada jurusanku di lowongan yang dibuka itu. Padahal aku sih sudah siap ditempatkan di mana saja. Ya, biarlah, mungkin nanti ada balasan dari dua perusahaan lainnya.

Memang saat itu buatku terasa banget sendirinya. Selain karena orang rumah juga tidak begitu memerhatikan proses mencari kerja ini, teman-teman di sekolah pun sudah banyak yang tidak berkontak. Maklum zaman itu tidak ada ponsel dan telepon rumah pun belum umum. Di kampungku misalnya, nggak ada yang punya telepon. Begitu juga yang namanya Wartel atau Warung Telepon. Telepon umum yang bisa digunakan oleh warga dengan membayar sesuai tarif yang sudah ditentukan. Wartel baru ada di kampungku sekira tahun 1994 atau 1995.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #10: Sahabat Baik dan Cinta Monyet
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #11: Mulai Mengenal Bandung
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #12: Sekembalinya Aku dari Bandung

Mendapat Panggilan Wawancara

Akhirnya ya memang aku harus ke sana ke mari sendiri. Lagi pula aku tidak mau kerja dibantu sama orang lain. Mana enggak ada yang bisa diharap pula. Tapi ya keinginanku itu berbuah manis. Di tahun 1981, aku dapat panggilan dari Nurtanio Bandung untuk menghadap ke Divisi Rotary Wing. Aku senang. Aku baca bolak balik surat itu.

"Bener enggak nih," gumamku dalam hati.

Melihat amplop balasan panggilan kerja dengan tulisan besar PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio Bandung adalah salah satu kabar gembira buatku. Aku lihat isinya, aku bolak balik amplopnya. Memang belum diterima, tapi jalan sudah terbuka. Bismillah, harapku sekali lagi.

Alangkah bahagianya hati ini bercampur haru, aku yang seorang anak kampung kalau sampai bisa kerja di sana, tanpa ada yang bawa, tanpa menjaga dan membawa nama orang lain, tapi usaha sendiri, tentu akan lebih baik. Begitu aku menggumam.

"Mudah-mudahan ini yang terbaik."

Ayahku juga begitu bahagia melihatku. Walaupun baru surat panggilan wawancara, ada saja ucapan selamat dari tetangga pendatang yang ada di kampungku.

Besok, aku siap pergi ke Bandung lagi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//