• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #14: Ke Bandung, Sekali Lagi

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #14: Ke Bandung, Sekali Lagi

Aku berangkat ke Bandung untuk kedua kalinya. Yang pertama untuk kerja praktik, ini kali untuk mengikuti panggilan tes bekerja di Nurtanio.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Suasana Bandung sekitar tahun 1982. (Foto: H.C. Beynon, Bandung Or. 27.180 - photo 284, KITLV)

3 Desember 2023


BandungBergerak.id – Aku memang tidak menunggu lama setelah aku mendapat surat panggilan wawancara itu. Aku langsung berkemas, dan besoknya, seingatku di hari Senin, aku berangkat ke Bandung untuk kedua kalinya. Jika pertama kali ke Bandung aku pergi untuk kerja praktik, kali ini aku berharap bisa mendapatkan kerja penuh waktu di Bandung. Di Nurtanio, perusahaan dirgantara Indonesia yang aku cita-citakan.

Aku berangkat Senin, sehari sebelum tes yang dijadwalkan yakni pada hari Selasa. Dalam keberangkatanku yang kedua ini, aku sudah cukup familier dengan Bandung. Aku naik bus dari Jakarta dan dulu, di zaman belum ada Tol Cipularang seperti sekarang, perjalanannya melewati Puncak, Bogor hingga tiba di Bandung, bus tersebut melintasi Jalan Pajajaran. Sekarang sih bus tersebut setahuku sudah tidak melintasi Jalan Pajajaran lagi.

Sepanjang jalan dari Jakarta ke Bandung, aku melihat daftar nama-nama yang dipanggil. Betul ada namaku. Saking senangnya aku tidak bisa tidur di bus.

Dulu di era belum ada internet semua masih manual. Sebelum tes besok, aku datang dulu ke Nurtanio untuk memastikan nama aku ada di sana dan mengecek lokasi tes besok. Agar tidak terburu-buru. Di situ sudah banyak orang lain yang berkerumun. Mungkin sama sepertiku, mereka hendak mengecek nama dan lokasi tes juga.

"Mau tes ya?" tanya salah satu dari mereka kepadaku.

"Iya kak," aku menjawabnya menggunakan panggilan kakak, agar lebih sopan.

"Ada namanya di daftar?" tanya dia lagi.

"Ada kak," jawabku, pendek.

Kemudian kami terlibat perbincangan. Tentang persiapan tes besok dan asal masing-masing. Ternyata kakak ini juga berasal dari satu almamater yang sama denganku. Dari situ kami langsung akrab. Bahkan dia menawari aku tidur di tempatnya, karena kebetulan waktu itu aku belum tahu juga akan tidur di mana. Tidak ada saudara juga di Bandung. Aku pun berucap terima kasih.

"Ya sudah nanti kalau bubar pulang tunggu di sini ya," kata dia. Maklum waktu itu belum ada yang namanya handphone. Otomatis seperti itulah kami mengatur janji.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #11: Mulai Mengenal Bandung
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #12: Sekembalinya Aku dari Bandung
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #13: Balada Pencari Kerja

Menginap di Pandu Dalam

Sepeninggal kakak itu, aku pun bergabung dengan pelamar lain. Sebelumnya kakak itu merekomendasikan aku sejumlah tempat makan murah di sekitar kantor. Banyak yang aku obrolkan dengan mereka, mulai dari berapa lama mendaftar lamaran ke Nurtanio, sudah berapa kali mengikuti tes, pengalaman kerja, dan lain-lain. Barulah di jam pulang kerja, kakak yang tadi menghampiriku di tempat kami bertemu tadi.

"Rumahku di Pandu Dalam," kata dia.

Dalam hati, oh aku tahu tempat itu. Karena dulu ketika kerja praktik rasanya aku pernah juga ke daerah sana. Tapi aku memilih diam saja, yang penting aku bisa istirahat tidur.

Enggak lama sampailah kami di rumahnya dan ternyata ada beberapa temannya yang juga sama-sama tinggal di situ.

"Nih kenalin teman kita juga dari Jakarta, sama-sama dari Penerbangan. Gue yang ngajak ke sini biar tidur di sini," kata dia.

Sambil memperkenalkan diri kepada mereka satu per satu, aku meminta izin untuk tinggal bersama mereka malam ini. Mereka pun dengan senang hati mengizinkan. "Tapi tidur seadanya ya," kata salah satu dari mereka.

"Enggak apa-apa, kak," kata aku.

Sambil duduk-duduk dan mendengarkan obrolan aku berujar dalam hati. "Alhamdulillah. Ada yang berbaik hati, aku bisa bermalam di sini. Hanya teman ketemu selewat padahal. Rupanya begini kalau di perantauan orang yang kita tidak kenal, karena hanya sama-sama dari Jakarta dan dari satu sekolah yang sama dulunya, malah jadi seperti saudara. Apakah yang lain seperti ini juga? Seperti apa yang sedang saya alami? Ah ini semua karena pertolongan Allah."

Tak lama kemudian terdengar suara azan Isya. Salah satu di antara mereka berujar, "Hayu kita makan!"

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//