• Cerita
  • JEJAK LITERASI DI BANDUNG #6 : Toko Buku Kebul Mughni, Penulis yang Menyamar Menjadi Tukang Buku

JEJAK LITERASI DI BANDUNG #6 : Toko Buku Kebul Mughni, Penulis yang Menyamar Menjadi Tukang Buku

Mughni pemilik Toko Buku Kebul di Cibiru yang jujur mengaku menjual buku-buku yang tak lengkap, mengisi waktu dengan menulis buku dari kesehariannya berjualan buku.

Mughni pemilik toko Buku Kebul di lingkungan Masjid Masjid Kifayatul Achyar, Cibiru, Kota Bandung. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)*

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah19 Desember 2023


BandungBergerak.id- Di ruang yang  tidak  terlalu luas, tumpukan buku-buku berjajar, di depan sebuah toko tertulis “Toko Buku Kebul”. Di ruang  berukuran 2x2 itu selain buku-buku yang disampul plastik untuk dijual  terdapat  juga foto-foto dari anak, sang ibu, hingga gurunya. “Ini dipasang buat ngala barokahna,” kata Sanghyang Mughni Pancaniti atau Mughni (33 tahun) lelaki yang sudah dua belas tahun melakoni sebagai penjual buku dan penulis.  

Sejak semester 6, Mughni sudah berjualan di kampus UIN Bandung, kampusnya. Lapaknya berada Di Bawah Pohon Rindang atawa DPR, sebutan akrab mahasiswa UIN Bandung untuk tempat tersebut . Nama “kebul”, yang artinya berdebu, terbit gara-gara berjualan di sana.

“Karena dulu orang-orang membeli buku belum disampul kayak sekarang, kena kebul tanah, alasannya jual yah buat cari uang,” kata Mughni kepada BandungBergerak.id, Kamis, 1 Desember 2023.  

Beragam buku dijual Mughni, mulai dari tema sastra, filsafat, hingga wacana pemikiran Islam. Namun, ia dengan jujur menyebut  bahwa tempatnya berjual  tidak lengkap.

“Agar tidak memberikan harapan pada pembeli, jadi sudah jujur dari awal,” cerita Mughni.  

Tahun 2013, ia kemudian menyewa kios di dekat kampus UIN Bandung. Kios tersebut bersebelahan dengan penyedia jasa fotokopi di lingkungan Masjid Kifayatul Achyar, Cibiru, Kota Bandung.  Sebelum pandemi menghantam, kios Mughni sering menjadi tempat diskusi.

“Tempatnya kecil tapi sering dipakai diskusi, dari penulis, dosen, profesor kalau ke sini pasti duduk lesehan, ngerokok bareng ngopi bareng,” ujar Mughni.

Mughni sengaja memajang foto ibu, anak, hingga gurunya di antara buku-buku yang dijualnya di kios Toko Buku Kebul.  (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)*
Mughni sengaja memajang foto ibu, anak, hingga gurunya di antara buku-buku yang dijualnya di kios Toko Buku Kebul. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)*

Baca Juga: JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #3: Asam Garam Toko Buku Bandung
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #4: Lapak Cikapundung, dari Enny Arrow hingga Buku-buku Pergerakan
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #5: Perpustakaan Batu Api, Warung Pengetahuan Legendaris di Jatinangor

Bertahan Melewati Pandemi

Mughni bercerita, sebelum pandemi sering ada diskusi tarekat Bedusiyyah bersama penulis Fauz Noor di toko bukunya yang tak lengkap ini. “Nama ‘bedus’ sendiri karena kang Fauz Noor suka bilang bedus,” tutur Mughni.

Toko buku Kebul juga terlibat pada pameran buku yang sering diadakan di Landmark Braga Kota Bandung dengan membawa nama  Mang Meser. “Ikut ke pameran itu 2017, Mang Meser itu ada karena barang banyak dan dijual  5ribuan per buku,” ungkap Mughni.

Pandemi korona menghambat segala lini, termasuk lini perbukuan dan diskusi. Pameran buku yang rutin diselenggarakan di Landmark Braga terhenti. Begitu juga diskusi yang lumayan rutin di toko buku kebul juga terhenti karna pandemi.

Namun pandemi juga yang membuat Mughni mulai mencoba berjualan di toko online.

“Kebul mengikuti zaman, banyak orang nyari buku di online, awal-awal bikin website sendiri, makin ke sini mainnya di media sosial,” ujar Mughni.

Kini berjualan online tidak seramai dulu sewaktu pandemi.  Di zaman yang serba mudah karena teknologi membuat ilmu pengetahuan serasa gampang di akses, membuat orang tak lagi banyak yang nongkrong di toko buku.

“Mungkin era informasi sudah mudah, sekarang udah gampang. Makin ke sini, makin jauh ke toko buku, dulu toko buku jadi tempat nongkrong dan belanja,” ujar Mughni.

Suasana Toko Buku Kebul yang bersebelahan dengan penyedia jasa fotokopi di lingkungan Masjid Kifayatul Achyar, Cibiru, Kota Bandung. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)*
Suasana Toko Buku Kebul yang bersebelahan dengan penyedia jasa fotokopi di lingkungan Masjid Kifayatul Achyar, Cibiru, Kota Bandung. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)*

Menulis Buku

Mugni selain berjualan buku juga menulis beberapa buku yang diterbitkan dengan cara indie, dicetak dan dijual sendiri. Ada pun beberapa buku-bukunya yang telah terbit: Perpustakaan Kelamin: Buku dan Kelamin dalam Pertaruhan (2016), Perpustakaan-Dua-Kelamin: Buku dan Dendam yang Tak Terbalas (2019), Akhir Perpustakaan Kelamin : "Sayang, Kamu Hanya Kehilangan Kelamin, Bukan Hidup!" (2020), Cinta itu Bangsat  (2021),  serta Sesat itu Baik (2021)

Mughni mengaku dirinya sebagai seorang penulis yang menyamar menjadi tukang buku, Misal saja Perpustakaan Kelamin  yang ditulisnya saat menjaga Toko Buku Kebul. Ia menulis kisah fiksi tersebut sambil menunggui buku-buku yang dijualnya.

“Kalau ada yang beli, ladangin dulu saja,” ujar Mughni.

Perpustakaan Kelamin bercerita tentang seorang anak yang ingin membuat perpustakaan namun harus menjual kelamin. Kendati kisah dalam buku tersebut fiksi, Mughni menuliskan yang dirasakannya, yang dialaminya, hal-hal yang dekat dengan dirinya sehari-hari dengan berjualan buku.  

“Di situ banyak membahas dunia perbukuan. Toko Buku Kebul membantu mulai dari ide, bahan, dan cerita banyak membantu,” ujar Mughni.

Toko buku Kebul banyak memberikan ide-ide penulisan pada Mughni. Buku Toilet dan Wahyu : Catatan-catatan Tak Suci  (2020)  ditulisnya di gawai kemudian dipindahkan ke laptop. Buku tersebut sesungguhnya merupakan catatan status Facebook Mughni yang kemudian ia bukukan.

“Itu nulisnya di toilet, inspirasinya datang dari orang-orang yang selalu berkunjung ke sini, mulai dari dosen dan mahasiswa,” ujar Mughni.

Mughni sengaja menulis hal yang tak umum, sesuatu yang dekat dengan wacana alternatif seperti buku-buku yang dijualnya di Toko Buku Kebul. Namun mahasiswa sekarang dirasanya sudah tak lagi tertarik dengan wacana alternatif.

“Dulu orang-orang selalu mencari wacana alternatif, filsafat mencari wacana alternatifnya, sastra mencari alternatifnya, Sekarang jarang, ke toko buku kalau disuruh, tara maca, jarang pisan maca,” ujar Mughni.

Dengan pembenaran sebagai penyeimbang, Mughni pun mengalah dengan mulai menjual buku-buku teks untuk kuliah.

“Sekarang seimbang antara buku kuliah dan wacana-wacana,” tutup Mughni.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Andi Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Jejak-jejak Literasi di Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//