• Cerita
  • JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #5: Perpustakaan Batu Api, Warung Pengetahuan Legendaris di Jatinangor

JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #5: Perpustakaan Batu Api, Warung Pengetahuan Legendaris di Jatinangor

Lebih dari dua dekade perpustakaan Batu Api di Jatinangor menyediakan buku-buku bagi masyarakat umum, di tengah budaya baca yang terus menurun.

Tampilan pintu masuk perpustakaan Batu Api, Jalan Pramoedya Ananta Toer 142A Jatinangor, 1 November 2023. (Foto: Muhammad Andi Firmansyah)

Penulis Muhammad Andi Firmansyah3 November 2023


BandungBergerak.idBagi orang yang mencari wawasan langka di tengah sibuknya kehidupan urban, tertarik pada buku-buku yang sudah jarang di pasaran, atau sesederhana menikmati aroma kertas-kertas tua, perpustakaan Batu Api merupakan tempat yang tepat. Meskipun bangunannya terselip di antara bangunan-bangunan kapitalis, mulai dari Jatos dan Toko Buku AA hingga kafe dan hotel, kebanyakan mahasiswa Jatinangor tetap mengenal perpustakaan sederhana ini.

Setibanya di pintu masuk, kita akan merasa dunia modern seolah-olah telah lenyap. Sebagai gantinya, kita akan menjumpai deretan dan tumpukan buku di mana-mana: kiri, kanan, atas, maupun bawah. Para pengunjung, mulai dari anak SMA dan mahasiswa hingga masyarakat umum, terlihat sedang menekuni bacaan mereka sambil berlesehan atau duduk di kursi. Ini adalah sambutan yang bisa membuat para kutu buku dan pegiat literasi berseri-seri.

Ruangannya memang tak terlalu luas, sekitar 7x6 meter. Kendati demikian, setiap sudut dan celahnya dipenuhi dengan buku-buku dari berbagai tema, fiksi maupun non-fiksi, best-seller maupun antik, sains maupun humaniora. Selain koleksi buku, perpustakaan Batu Api juga menawarkan koleksi film dan lagu, bahkan pengunjung bisa menyalinnya melalui flashdisk atau alat serupa secara gratis.

Jika kita memeriksa Google Maps, kita akan diberitahu bahwa perpustakaan Batu Api berada di Jalan Raya Jatinangor No. 142A, Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Namun, jika kita memeriksa kartu keanggotaan perpustakaan ini, kita akan diberitahu bahwa alamatnya adalah “Jalan Pramoedya Ananta Toer 142A Jatinangor”. Maklum, pemilik tempat ini, Anton Solihin, amat mengagumi karya-karya mendiang Pramoedya Ananta Toer.

Mas Anton sendiri bukan seorang pustakawan. Ia hanyalah pria biasa dengan keingintahuan yang tinggi dan kebetulan suka mengoleksi buku—atau setidaknya begitulah pengakuannya. Menilik barisan kliping yang telah dibuatnya selama bertahun-tahun, tebal dan menumpuk di seberang meja pribadinya, orang bakal mudah memahami maksudnya. Para pengunjung bahkan menilai Mas Anton berwawasan luas, humoris dan kalem saat berbicara.

Kecintaannya pada buku sangat terasa, dan ia memiliki cerita atau rekomendasi untuk para pengunjung yang kebingungan. Biarpun terdapat ribuan buku dan tersusun sebegitu padat, Mas Anton hafal posisi setiap buku. Ketika seorang pengunjung bertanya tentang dinamika kota-kota di Indonesia pada zaman kolonial, ia mengarahkan jarinya sambil tersenyum dan berkata, “Di rak itu, paling bawah.”

Alasan mengambil nama “Batu Api” masih menjadi misteri, bahkan bagi Mas Anton sendiri.

“Biasanya suka ngarang-ngarang aja,” ujarnya ketika menjelaskan filosofi di balik nama Batu Api. “Jika anak UIN yang nanya, jawabannya Raja Abrahah dari Ethiopia menyerang Mekkah, terus Allah mendatangkan burung ababil yang menjatuhkan batu api.” Kemudian ia terkekeh oleh jawabannya sendiri, menarik perhatian beberapa pengunjung yang sedang menjelajahi rak demi rak.

Koleksi Buku dan Filosofi Penyusunannya

Mas Anton masih menggunakan cara manual untuk mendata koleksi bukunya, bukan karena cara lainnya lebih merepotkan atau sulit, tapi sesederhana tak tertarik. Alasan ini tampaknya turut menjelaskan mengapa Mas Anton tak bisa memastikan jumlah keseluruhan buku yang telah dikumpulkannya. Biarpun begitu, saking hafalnya, Mas Anton tahu dan sadar jika suatu waktu ada bukunya yang hilang atau—paling buruk—dicuri.

Koleksinya itu berasal dari berbagai sumber. Selain milik pribadi, tak sedikit yang merupakan sumbangan dari pihak-pihak lain, baik individu maupun komunitas. Mas Anton mengaku tak pernah menerima donasi atau sumbangan buku dari pemerintah, jadi ia mengklaim sebagai independen. Dari kebanyakan bukunya yang mendobrak arus utama, seperti topik Marxisme dan anarkisme, memang sulit untuk melihat jejak-jejak pemerintah di perpustakaan ini.

“Klasifikasinya suka-suka saya,” katanya saat menerangkan metode penyusunan buku-buku. “Saya gak ngerti teknis perpustakaan. Sama sekali gak ngerti dan gak mau tahu juga. Biarlah perpus-perpus kampus saja yang begitu.”

Namun, ketika saya menanyakan letak buku-buku politik kiri, dengan kecerdasan humornya yang menggelitik, Mas Anton menjawab, “Itu [sambil menunjuk ke kumpulan buku di dekat pintu masuk], di situ buku-buku kiri. Di sana ada buku-buku G30S, Soekarno-Hatta, Aidit, Tan Malaka, dan sebagainya. Jadi dipisahkan dari sini yang kebanyakan jenderal-jenderal Orde Baru. Supaya gak ribut.”

Belum berhenti terpingkal, Mas Anton menambahkan, “Di atas sana ada buku-buku Israel, di sini Arab. Jadi papelong-pelong (saling tatap-tatapan). Tapi sekarang disatuin di sini.” Lantas seorang pengunjung ikut nimbrung dan bergurau bahwa penyatuan itu telah berkontribusi pada perang Israel dan Palestina saat ini.

Ketika pertama kali buka, tepatnya tahun 1999, koleksi buku perpustakaan Batu Api masih sepertiga dari yang ada sekarang. Kala itu topiknya melebar ke mana-mana, tapi kini lebih lebih spesifik ke topik-topik yang memang sangat diminati Mas Anton. Pernah suatu waktu, ia menerima donasi buku tentang kedokteran gigi—peninggalan seorang suster yang telah meninggal. Mas Anton kemudian menyumbangkannya lagi ke Fakultas Kedokteran.

Sebelum pandemi Covid-19, perpustakaan Batu Api cukup rutin menyelenggarakan acara-acara literasi, misalnya diskusi buku, dengan mengundang penulis-penulis terkemuka, lokal maupun luar. Namun selama dan seusai pandemi, acara-acara seperti itu berhenti, bahkan mungkin tak akan pernah ada lagi. “Setelah pandemi, saya melihat dunia berubah,” ungkap Mas Anton, agak prihatin dengan budaya pertemuan online melalui Zoom Meeting.

Anton Solihin (berkacamata di balik meja) sedang melayani beberapa pengunjung di perpustakaan Batu Api, 1 November 2023 (Foto: Muhammad Andi Firmansyah)
Anton Solihin (berkacamata di balik meja) sedang melayani beberapa pengunjung di perpustakaan Batu Api, 1 November 2023 (Foto: Muhammad Andi Firmansyah)

Bertahan di Tengah Maraknya Ebook dan Konten Audio-Visual

Mas Anton tak pernah menghitung berapa rata-rata pengunjung harian, karena tak seperti perpustakaan pada umumnya, ia tak pernah meminta orang agar mengisi daftar kunjungan. Sebagai surga kecil literasi yang terhimpit di tengah-tengah bangunan kapitalis, pengunjung perpustakaan Batu Api bisa dibilang cukup ramai. Kendati begitu, Mas Anton sering merasa miris sendiri terkait hal ini.

“Realitasnya, pembaca itu sangat sedikit,” tuturnya. “Yang dateng juga kebanyakan urusan skripsi, tugas kuliah, dan sebagainya. Orang yang benar-benar minat baca dari dulu sedikit sekali. Kita asumsikan gini nih: dari 100 persen mahasiswa di Jatinangor, yang datang ke sini kira-kira ada 5 persen. Itu kita peras lagi dari 5 persen itu, paling 5 persen lagi yang beneran minat baca.”

Apa yang membuatnya semakin ironis adalah bahwa perpustakaan Batu Api dikelilingi oleh kampus-kampus negeri. Ini adalah sebuah paradoks: universitas penuh dengan insan-insan yang mencari pengetahuan, tapi perpustakaan, yang merupakan harta karun pengetahuan, tetap menjadi sumber daya yang kurang dimanfaatkan. Kebanyakan mahasiswa tampaknya lebih tertarik pada sesi belajar yang dipenuhi kafein di kafe-kafe paling trendi. Mungkin.

Ketika ditanya apakah ada tekanan tersendiri dari menjamurnya ebook dan konten audio-visual, Mas Anton menjawab dengan santai, “Ada, tapi sudah terbiasa. Minat baca dari dulu juga gitu-gitu aja. Kondisinya sama aja dari dulu.”

Lantas mengapa perpustakaan Batu Api, setelah 24 tahun berdiri kokoh dari gempuran era yang terus berubah dan terasa semakin meminggirkan eksistensi perpustakaan, masih bisa bertahan sampai sekarang?

“Mungkin sayanya keras kepala sih, kepala batu,” jawab Mas Anton sambil terkekeh.

Jika berminat mendaftar menjadi member perpustakaan Batu Api, kita akan diminta mengisi formulir berisikan data-data penting, seperti nama lengkap, alamat rumah atau kos, nomor HP, dan email, serta asal kampus. Biaya keanggotaannya sebesar 20 ribu rupiah, sedangkan setiap peminjaman buku akan dikenakan biaya 5 ribu rupiah. Andai telat mengembalikan buku, maka akan dikenakan biaya seribu rupiah per harinya.

Perpustakaan sebenarnya merupakan sejenis infrastruktur sosial: ruang fisik dan organisasi yang membentuk cara orang berinteraksi. Perpustakaan tak hanya menyediakan akses luas ke buku-buku dan materi budaya lainnya, tapi juga menjadi tempat di mana orang-orang dengan latar belakang, minat, dan ketertarikan yang berbeda bisa mengambil bagian dalam budaya demokratis yang hidup.

Perpustakaan Batu Api telah eksis selama lebih dari dua dekade dan, sebagaimana ujar Mas Anton, akan tetap eksis hingga waktu yang tak diketahui. Ia masih memiliki banyak hal untuk dilakukan, dan memang akan selalu ada kemungkinan-kemungkinan baru untuk dieksplorasi dan dijelajahi. Perpustakaan Batu Api, katanya, masih eksperimental. Ia masih menginginkan pembuatan kliping, buku-buku lain untuk dikoleksi, dan orang-orang baru untuk berdiskusi.

Perpustakaan Batu Api, kendati agak menjorok ke dalam dari pinggir jalan raya dan gerbang masuknya kerap tertutupi mobil yang parkir sembarangan, sebuah paradoks di tengah rimba kapitalis, tetap menjadi bukti kekuatan literasi yang abadi untuk mengangkut, mencerahkan, dan menyatukan bahkan di tempat yang paling tak terduga. Kita jelas membutuhkan tempat semacam ini di kawasan-kawasan lain yang sudah pengap oleh hiruk-pikuk perkotaan.

Baca Juga: JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #2: Di Bawah Terpal Biru Kios Buku Tjihapit
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #3: Asam Garam Toko Buku Bandung
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #4: Lapak Cikapundung, dari Enny Arrow hingga Buku-buku Pergerakan

Membantu Mahasiswa

Kawasan Jatinangor dikenal sebagai kantong pendidikan. Di sini berdiri banyak kampus negeri maupun swasta, seperti Unpad, ITB, IPDN, Ikopin, dan lain-lain. Tak terhitung berapa mahasiswa di yang tertolong dengan kehadiran perpustakaan Batu Api. Kontribusi perpustakaan ini dalam membantu generasi terdidik diulas dalam penelitian Evi Nursanti Rukmana, Ninis Agustini, Pawit M Yusup, ketiganya merupakan Pustakawan Universitas Padjadjaran (Unpad), Program Studi Ilmu Perpustakaan Unpad.

Dalam jurnal berjudul "Kegiatan Pelayanan Perpustakaan di Perpustakaan Batu Api", Evi dkk mengutip laporan dari Tempo: 

“Tidak terhitung berapa ratus sarjana dari empat universitas itu yang lulus bekat “bantuan” Anton. Kebanyakan orang datang ke perpustakaan memang untuk mencari bahan untuk tugas kuliah atau skripsi. “Tapi tidak sedikit pula yang berkonsultasi soal topik skripsi,” ujarnya. Biasanya, dia melanjutkan para mahasiswa tingkat akhir itu datang dengan kepala kosong. Anton lalu menanyakan mau membuat tugas akhir tentang apa dan menyuguhkan bahan-bahan bacaannya.”

Menurut Evi dkk, perpustakaan yang didirikan 1 April tahun 1999 oleh pasangan suami istri Anton Solihin dan Arum Kusumaningtyas itu sebagai salah satu perpustakaan pribadi yang paling lama beroperasi di Kecamatan Jatinangor.

Anton dan Arum sama-sama memiliki kecintaan pada dunia literatur. Awalnya, mereka tertarik membangun perpustakaan pribadi setelah melihat Taman Bacaan Hendra di Bandung pada tahun 1990-an.

“Maka, pada 1 April Tahun 1999, pasangan ini membangun sebuah perpustakaan pribadi di depan rumahnya yang memiliki luas 7 x 6 meter, di Jalan Raya Jatinangor, bernama Perpustakaan Batu Api. Perpustakaan ini dibangun atas dasar keyakinan pemilik perpustakaan untuk meningkatkan minat baca di lingkungan sekitar yang didukung melalui koleksi perpustakaan yang beragam dan pengetahuan yang dimiliki pemilik mengenai koleksi perpustakaan,” papar Evi dkk.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Andi Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Jejak-jejak Literasi di Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//