CERITA ORANG BANDUNG #71 : Kisah Penjual Urap Jagung dari Cililin
Riki Basuki alias Mang Riki yang masih bertahan berjualan Urap Jagung, camilan jadul yang sudah semakin langka. Berharap ada yang melestarikan dan mengembangkannya.
Penulis Salma Nur Fauziyah30 Desember 2023
BandungBergerak.id – “Urap Jagung, Cendil, Gemblong, Ladu!” begitu suara teriakkan seorang pedagang yang lewat di rumah saya. Setiap mendengarnya maka nenek selalu memanggil saya untuk memanggilnya. Pedagang yang datang itu memikul dua baskom seng berukuran besar. Isinya rebusan jagung, cendil, kelapa parut, gemblong, dan ladu.
Salah satu camilan yang dibawanya Urap Jagung. Nama makanan yang mungkin terasa asing di telinga. Apalagi untuk orang-orang yang tidak tinggal di desa ataupun tidak hidup bersama dengan orang sepuh. Biasanya selain jagung, sampeu atau singkong yang dikukus menjadi pelengkap makanan jadul ini. Di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, Urap Jagung lebih dikenal dengan sebutan Grontol Jagung.
Pedagang makanan itu bernama Riki Basuki, usianya 29 tahun. Ia berperawakan kurus dan berkulit sawo matang. Ia mengaku sudah berjualan Urap Jagung sejak tahun 2002. Tidak hanya Mang Riki, tapi seluruh keluarganya pun kerap berjualan urap jagung dengan berkeliling sambil memikul dagangan. Ketika libur jualan di setiap hari Jumat, Mang Riki memanfaatkan hari itu untuk bertani singkong dan juga pisang.
“Ya, karena kan enggak ada kegiatan yang lain daripada diem di rumah, yah jualan ini sampai sekarang dari dulu,” ujarnya.
Setiap hari, Mang Riki berangkat berjualan sehabis waktu salat Subuh. Dari Cililin, ia menumpang kendaraan Kolbak menuju Bandung. Sekitar pukul setengah tujuh atau jam tujuh pagi, Mang Riki tiba. Pada pukul setengah delapan pagi, ia akan mulai berkeliling ke daerah Pasteur, Sarijadi, KPAD (Gegerkalong), ataupun di Cimahi.
“Muter tiap hari. Enggak tentu,” ujarnya.
Di tiap daerah, khususnya daerah Gegerkalong, Mang Riki mengaku sudah memiliki pelanggan tetap. Jadi setiap ia datang, para pelanggan itu akan memanggil dan membeli Urap Jagung dan camilan lain yang dibawanya. Tapi, terkadang ada beberapa orang baru yang melihat dan tertarik untuk membeli.
Jam jualannya tidak menentu. Ia berjualan mengikuti seberapa tahan kualitas kelapa yang dibawanya. Jika rasa kelapa itu sudah basi di jam empat sore, maka ia akan berhenti berjualan dan memutuskan pulang di jam tersebut.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #68: Jalan Sunyi Pak Sariban
CERITA ORANG BANDUNG #69: Malam di Kedai Kopi John Ferdus
CERITA ORANG BANDUNG #70: Sisi Lain Juru Parkir dari Sosok Dudi Lesmana
Berjualan Sejak Belia
Mang Riki mengaku sudah berjualan Urap Jagung sejak berusia 10 tahun. Ia pernah mencoba berjualan dengan berkeliling menjajakan kursi dan tangga bambu. Namun, pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali berjualan Urap Jagung karena itu adalah dagangan pertamanya.
Dalam sehari dagangannya bisa habis. Tapi tak jarang juga ada yang tersisa. Cuaca menjadi hambatannya yang paling besar selama berjualan.
“Kalau misalnya udah ujan, gak bisa keliling. Gak bisa kejual lah. Mungkin balik lagi ke rumah. Paling itu (kelapa) dibuang. Curandil yang sudah dikelapain dibuang,” ujarnya.
Mang Riki pun sangat kukuh untuk tetap berjualan sambil dipikul. Di saat sang uwa (paman) sudah menggunakan motor dalam menjajakan makanan tradisional ini, ia tetap memilih untuk berkeliling sambil memikul dagangannya. Katanya, ia sudah merasa nyaman berjualan seperti itu. Pun kelebihan berjualan dengan memikul adalah Mang Riki dapat menjangkau gang-gang sempit yang sulit untuk dilalui motor.
Pada saat Covid-19 melanda, Mang Riki tetap berjualan. Pandemi memang berdampak, tapi karena sudah punya langganan tetap maka rezekinya masih tetap ada. Meski tetap ada penyesuaian, seperti social distancing, pelanggannya akan menyuruhnya untuk menyimpan makanan itu di tembok atau plastik makanannya digantung di pagar.
“Saya dari pertama Covid sampai beres, terus jualan ini. Karena kalau enggak jualan, enggak bisa makan,” jawabnya sambil tertawa.
Melestarikan Makanan Tradisional
Ketika pertama kali jualan Urap Jagung di tahun 2002, Mang Riki terkejut saat mengetahui makanan yang dibawanya itu sudah sulit dijumpai di Kota Bandung. Sambil mengenang tahun pertama saat berjualan, ia mengingat dulu ada abah-abah yang sama-sama berjualan Urap Jagung. Dulu si abah sering nagog di pasar Cibogo, Sarijadi. Tapi sekarang, mungkin beliau sudah tiada.
Mang Riki mengakui bahwa keluarganya sejak lama sudah berjualan Urap Jagung hingga saat ini. Sewaktu ditanya alasannya apa, ia ingin melestarikan makanan leluhurnya tersebut.
“Ini kan zaman peninggalan yang dulu, jangan sampai hilang. Supaya kan orang Bandung teh mengenang makanan yang dulu (jadul),” jelasnya.
Membuat Urap Jagung sendiri ternyata susah-susah gampang. Dalam satu kali proses pembuatannya membutuhkan waktu hingga 11 jam lamanya. Pertama-tama jagung tua kering yang direndam oleh air kapur sirih dan direbus sebanyak dua kali. Perebusan pertama bertujuan untuk menghilangkan kulit jagung dan kapur sirih agar jagung tidak terasa kesat saat di makan. Setelah rebusan pertama, kemudian dibersihkan dan direbus kembali. Jika merebus jagung jam enam pagi, maka akan selesai sekitar jam lima atau enam sore. Tak heran jika Mang Riki mengungkapkan dalam prosesnya membutuhkan 10 dirigen air yang diambil dari sebuah curug.
Harapan Mang Riki terhadap generasi muda adalah semoga akan ada yang meneruskan tekadnya dalam melestarikan makanan tradisional, khususnya Urap Jagung ini. Ia berharap ada anak muda yang bisa mengembangkan Urap Jagung dengan varian rasa yang lebih beragam.
“Cuman nanti itunya (varian Urap Jagung) akan lebih modern, tapi harus bisa ngeracik makanannya gitu. Jangan gini-gini aja. Tapi da kalau saya mah cuman bisanya gini,” tutupnya.