• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mendekatkan Diri pada Lingkungan, Mendekatkan Diri pada Tuhan

MAHASISWA BERSUARA: Mendekatkan Diri pada Lingkungan, Mendekatkan Diri pada Tuhan

Lingkungan hidup adalah hal terdekat dari para pemeluk agama. Menjaga lingkungan bisa menjadi kunci awal dalam mendekatkan diri pada Tuhan.

Fauqi Muhtaromun Nazwan

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Remaja karang taruna di Kelurahan Tamansari, Bandung, mengangkat sampah yang mencemari lingkungan sambil menyusuri aliran Sungai Cikapundung, Selasa (5/1/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

2 Januari 2024


BandungBergerak.id – Ketika Nabi Musa mendapatkan perintah untuk berguru pada Nabi Khidir ada sebuah pertanyaan dari gurunya.

”Tindakan apa yang paling dicintai oleh Tuhan?” tanya Khidir.

”Tentu saja mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangannya,” jawab Musa

Khidir membantah jika demikian memang adalah perintah Tuhan dan tidak menjadi istimewa ketika melakukannya, sebab sudah seharusnya demikian. Lalu Khidir menjelaskan kepada muridnya, ”Tindakan yang istimewa di hadapan Tuhan ialah tindakan melampaui suatu kewajiban karna belum tercatat dalam daftar kewajiban,” tuturnya.

Umat beragama memiliki kewajiban untuk menyembah Tuhan. Islam dengan cara mereka menuntaskan kewajiban syariat, dan agama-agama lain menyembah sesuai dengan tatanannya. Mengerjakan yang wajib memang pada dasarnya sebuah perintah, seperti salat, zakat, puasa, dan haji hukumnya ”harus” dikerjakan. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu al aslu fil amri lil wujub ”hukum dasar sebuah perintah adalah wajib.”

Menanggapi pertanyaan dari kisah di atas, maka di luar dari kewajiban tersebut adalah perilaku yang dicintai oleh Tuhan. Sebut saja menolak kemungkaran dengan berdemo, membela kaum proletar, hingga menjaga keberlanjutan lingkungan. Sadar atau tidak lingkungan hidup adalah hal terdekat dari para pemeluk agama. Manusia dan lingkungan dalam realitasnya adalah simbiosis mutualisme yang mutlak, walaupun hukum kausalitas berlaku di dalamnya. Dalam hal ini saya ingin menyoroti jika saja Indonesia dengan mayoritas agama Islam terbanyak, mengapa isu lingkungan menjadi satu hal yang eksklusif? Adakah keterkaitan lingkungan pada persoalan agama?

Baca Juga: Ekofeminisme, Semangat Perempuan untuk Menyelamatkan Lingkungan
Tergusur Infrastruktur di Jawa Barat, Lingkungan dan Rakyat Kecil Dikesampingkan
Pembangunan Berperspektif Lingkungan di Kota Bandung Diharapkan Bukan Pencitraan

Menjaga Lingkungan adalah Tanggung Jawab Wakil Tuhan

Penciptaan alam semesta oleh Tuhan jauh dari penciptaan manusia yang asalnya dari tanah. Dalam pemaknaan teologis, manusia ada setelah alam semesta diciptakan. Karna penciptaan alam semesta adalah bentuk kuasa Tuhan melalui tangan-Nya dengan unsur Sang Maha. Demikian cipta manusia melalui tanah yang dipertentangkan oleh dua makhluk Tuhan terdahulu yaitu, Malaikat dan Iblis. Tuhan dengan segala pengetahuan-Nya kemudian menjawab inni a’lamu mala ta’lamun ”Saya lebih tau daripada kalian.”

Menafsirkan penciptaan manusia sebetulnya adalah bentuk cobaan bagi alam semesta. Bagaimana tidak? Mereka (manusia) dianggap sebagai ”wakil Tuhan” di muka bumi. Menurut filsuf Islam, manusia adalah bentuk mikrokosmos dari alam semesta yang makrokosmos. Sederhananya sedikit representatif dzat Tuhan turun melalui ciptaan terbesarnya.

Manusia sebagai khilafah di bumi kemudian menjadi angkuh. Dengan nafsu yang digunakan untuk berambisi dan mengendurkan penjagaannya kepada sekitar, ia menjadi rakus, eksploitatif, merusak, dan tindakan negatif lainnya. Kepunahan makhluk hidup di bumi diakibatkan oleh kelakuan manusia yang begitu dekstruktif.

Dalam memahami statusnya sebagai khilafah, Tuhan memberikan kelebihan alam dan hewan untuk tunduk kepada manusia. Pada manusialah kuasa ditunjukkan, seharusnya sebagai wakil Tuhan di bumi bisa mewakili cinta dan kasih serta segala sifat dalam dzat Tuhan. Kendati demikian seolah kita ingin menggantikan posisi Tuhan, merasa lebih baik dan segalanya bisa ditaklukkan.

Perilaku kita yang desktruktif mempercepat kepunahan kita sebagai manusia. Saya sempat merefleksikan diri, jangan-jangan terjadinya kiamat ”punah” akibat ulah kita sendiri dan tidak bersinggungan dengan ketetapan Tuhan. Hingga saat terjadi bencana alam, kita selalu berperilaku pasrah seolah itu adalah bentuk takdir yang harus kita hadapi, ironis memang. Mental pasrah akan bahaya dilampiaskan pada ketetapan, padahal eksploitasi hutan, penambangan, kebakaran hutan, itu ulah manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab pada lingkungan.

Kamu pemeluk agama yang taat? Pasti mengenal istilah dosa. Begini, bayangkan ketika nanti di akhirat ditanya perilaku yang anda lakukan saat di dunia. Kamu mengerjakan salat, puasa, zakat, hingga sunah tak pernah terlewatkan. Lantas apa jadinya jika malaikat bertanya, berapa sampah yang kamu buang sembarangan? Berapa hewan yang kamu bunuh dengan keji? Ke mana kamu saat lingkunganmu banjir dan tetanggamu kena dampaknya? Rumit bukan? Padahal menurut Kh. Ali Yafie la tufsidu  fil ardhi ba’da ishlahiha, jangan merusak alam ini, merusak bumi ini sesudah ditata.

Kita ini sudah diperingatkan, tapi memang sifat manusia yang pelupa dan rasanya memang lupa terus untuk menjaga lingkungan. Mengenali Allah sebagai ”Tuhan Semesta Alam” artinya segala makhluk hidup di bawahnya ada pada lindungan-Nya, juga lingkungan hidup. Kalau manusia merasa istimewa sebab sudah dipersiapkan bumi dengan segala isinya, dan nikmat tak henti diturunkan harusnya perlu refleksi diri. Mungkin saja Tuhan menurunkan hujan bukan karena manusia, tapi karena padi yang kering, burung yang dahaga, hingga batu bara yang tak ingin meracuni warga.

Lingkungan Hidup dan Korelasi Iman

Dalam bukunya Suwito berjudul Etika Lingkungan dalam Kosmologi Sufi menjelaskan krisis lingkungan global terjadi akibat krisis spiritual. Sebabnya jika manusia krisis spiritual maka akan mendekatkan diri pada kehidupan yang tidak berkesesuaian, serba materi, dan kebutuhan yang bertambah akibat pola hidup yang ”melampaui batas”. Pemahaman hidup berkecukupan sejatinya adalah kesadaran seorang manusia, sebab dengan pola seperti itulah ia tidak resah dengan kehidupan sekitarnya.

Pola hidup yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi membuat manusia lebih rentan dalam perilaku negatif seperti konsumerisme. Contoh saja proyek Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC). Analogi sederhana yang terbayang oleh semua, jika durasi tempuh Bandung-Jakarta semakin pendek apa yang terjadi? Tentu aksesibilitas bagi semua orang, pekerjaan jauh dapat ditempuh cepat, hingga kawasan wisata semakin marak dibuat. Nah, sebab manusia punya perilaku konsumerisme, maka sampah di kawasan Bandung Raya semakin banyak. Begitu bukan?

Walaupun belum massif digunakan tapi sampah saja sudah menjadi halangan teratas Bandung Raya, dari berbagai sisi dan tentunya tak jauh dari kita sebagai manusia. Jika saja kita menganut pola hidup berkecukupan, mungkin saja tidak ada disorientasi dalam hidup. Bandung ini memang rawan dikotori, pendek saya akibat urbanisasi setiap orang bisa tinggal di Bandung dengan rasa kepemilikan yang minim akan daerahnya. Seolah karna ini bukan kampungnya ia bebas melakukan apa saja.

Menjaga lingkungan bisa menjadi kunci awal dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Manusia adalah makhluk lemah, sebab karna sifatnya lemah ia butuh sandaran yang dia percayai, itulah fitrah manusia menurut Fahruddin Faiz. Tapi apa jadinya jika tempat yang kita gunakan untuk menyembah terendam banjir, apa jadinya kita mendapati keran air kering di tempat berwudu? Lantas bagaimana jadinya jika kita ingin thawaf tetapi kondisi iklim makin mendidih?

Kita semua adalah satu unsur dalam pencipta yang sama. Tubuh kita dibentuk dari apa yang kita makan, maka apa yang kita lakukan kepada bumi akan berakibat pada kita. Manusia ini memiliki ego. Ego berarti “Ini adalah saya” kita memiliki insting bertahan hidup dengan akumulasi aset. Tapi karna lingkungan ini bukan bagian dari saya, kita seolah merasa tak berdosa melakukan hal buruk pada lingkungan.

Menurut prinsip agama Islam dalam beribadah terdapat tiga tingkatan, pertama ta’abud artinya kewajiban kita lakukan atas kepatuhan. Kedua ta’aqul kita beribadah menggunakan otak dan memahaminya. Terakhir takhalluq ibadah dijadikan sebagai perilaku dalam keseharian. Untuk sadar kita membutuhkan air untuk salat, maka kita menjaga air supaya tidak terbuang percuma. Membentuk pola hidup yang sehat dengan makanan yang baik, maka kita perlu menjaga sumber pangan kita dari kerusakan akibat tangan kita.

Dengan begitu mendekatkan diri pada lingkungan, bisa menambah takwa kita untuk senantiasa menyembah pada Tuhan. Sebab hidup ini adalah penerimaan dan bersyukur atas apa yang telah diberikan. Bersyukur dalam segala sesuatu. Bukan mengubahnya menjadi pasif, seolah menerima atas apa yang dilakukan sebagian orang dan menanggung akibatnya. Jika tetanggamu membuang sampah sembarangan, peranmu adalah mengingatkan, bukankan kadar amal saleh tergantung kemampuan?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//