• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #17: Bismillah, Semoga Diterima

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #17: Bismillah, Semoga Diterima

Aku kembali ke Jakarta untuk menunggu hasil tes kerja di Nurtanio Bandung. Kembali pada rutinitas menjaga toko kelontong Baba dan nongkrong bersama teman di rumah.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Suasana gerbang masuk Jakarta Fair tahun 1986. (Koleksi KITLV D13631, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

7 Januari 2024


BandungBergerak.id – Selepas ujian, setelah sampai di terminal bus di Ciroyom di Bandung, aku langsung ambil bus yang sedang bergerak perlahan. Masih banyak pilihan kursi di sana dan aku memilih duduk di kursi nomor dua dari depan. Sepanjang jalan dari Bandung ke Jakarta aku hanya diam sambil berpikir.

Waktu itu tidak ada yang namanya telepon genggam apalagi ponsel pintar untuk menghabiskan waktu di jalan. Paling orang mengisi waktu di perjalanan dengan musik atau membaca buku, koran, serta majalah. Dalam diamku aku berpikir, kalau aku sampai ke terima kerja di Nurtanio, betapa gagah aku ini. Bisa kerja di industri pesawat terbang dengan usaha sendiri. Di Bandung pula, kota kebanggaan bagi kalangan muda.

Aku terus larut dalam pikiranku sendiri, sepanjang perjalanan antara Bandung-Jakarta, sesekali terdengar musik dengan alunan suara yang santai seakan menemani perjalanan yang berkelak-kelok dengan dihiasi semak belukar dan pepohonan yang indah. Menjadi kenyamanan sendiri bagi penumpang selama perjalanan.

Tak terasa sudah meliwati Batas Bogor coret, dan tak lama kemudian mobil yang kutumpangi sudah memasuki terminal Kota Bogor. Aku melihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul dua siang.

Selama beristirahat di terminal kota Bogor ada penumpang yang memilih turun, ada juga yang memilih tetap di dalam bus.

Perjalanan bus dari Bandung ke Jakarta saat itu, di masa belum ada Tol Cipularang memang ada yang lewat Puncak. Biasanya bus via Puncak ini beristirahat di restoran roda Cipanas, Cianjur atau di Terminal Kota Bogor seperti hari ini.

Bedanya, kalau di Terminal Kota Bogor istirahat tidak lama. Biasanya sopir hanya akan menunggu tambahan penumpang yang menuju Jakarta dan tak lama kemudian bis bergerak jalan dengan menyusuri Jalan Cibinong hingga berakhir di Terminal Cililitan. Untuk sampai ke rumahku, aku masih harus naik bus kota.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #14: Ke Bandung, Sekali Lagi
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #15: Semalam Menginap di Pandu Dalam
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #16: Tes Pertamaku di Nurtanio

Kembali di Jakarta

Hari itu, rasanya aku ingin cepat pulang saja. Sesampainya di terminal aku langsung ambil bus ke rumah, tak kurang dari empat puluh menit sampailah aku. Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku bertemu dengan kedua orang tuaku yang tengah berada di warung kelontongnya. Kebetulan sedang tak ada pengunjung.

Aku memberi salam dan mencium tangan keduanya. Setelah itu aku langsung masuk rumah. Ibuku mengikutiku sambil memberiku minum. Kedua orang tuaku tak banyak bertanya, hanya terlihat pada raut wajahnya senang melihatku pulang, tapi berat untuk melepaskan kepergianku selanjutnya.

Malamnya aku beraktivitas seperti biasa. Mengajar mengaji dan kemudian makan malam bersama orang tuaku. Enyak, menyiapkan nasi, lauk, serta minumnya. Aku ingat, Enyak selalu memakai menyajikan semuanya dengan tatakan. “Biar kagak disembarangin orang,” alasannya.

“Anak laki-laki itu jauh langkahnya. Biar bisa bawa diri, ingat jaga nama baik. Kalau dasarnya intan, walaupun ada di mana tetap intan,” kata Enyak di tengah dirinya menyiapkan makanku. Kata-kata ini bukan sekali dua kali dia ucapkan padaku.

Setelah aku selesai makan malam, aku duduk-duduk di teras luar. Lampu teras aku matikan dan aku membuka baju ,untuk membiasakan terkena udara dingin. Karena aku pikir kalau aku ke terima nanti kerja di Nurtanio aku harus sudah terbiasa terkena udara dingin di kota Bandung.

Baba kemudian memanggilku ke warung untuk membantunya. Hingga akhirnya sampai waktu tutup warung jam 9 malam.

Malam semakin larut, setelah toko kelontong ayahku tutup aku lanjut nongkrong bersama teman di depan rumah. Sederhana saja, sambil ngobrol dan bermain gitar. Ya begitulah kebiasaan di kampungku dulu, di tahun 80an. Di tengah malam yang sepi, nongkrong sambil ngegitar, dengan petikan gitar yang lembut membuat malam terasa cepat, sambil di selingi obrolan ringan.

Tak terasa malam makin larut. Aku pun pulang ke rumah. Sambil jalan aku berpikir. “Besok tugas apa yang akan kukerjakan, sepertinya tak punya rencana kerja.”

“Bismillah saja, semoga aku lolos tes.”

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//