Menggali Semangat Pergerakan Bandung Melalui Jejak Rahman Tolleng
Rahman Tolleng pernah dipenjara dalam peristiwa Malari. Menyumbang pemikiran tentang sistem dua partai sebagai pengganti sistem multipartai seperti sekarang.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah10 Januari 2024
BandungBergerak.id - Kota Bandung tak bisa dipisahkan dengan dunia pergerakan. Kota ini menjadi episentrum bagi para pemikir dan tokoh politik yang kritis seperti Rahman Tolleng (5 Juli 1937 - 29 Januari 2019) yang lantang menyuarakan kritik di masa Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Rahman Tolleng menyumbang pemikirannya terkait sistem politik di Indonesia yang idealnya hanya dua partai saja: partai penguasa dan oposisi, bukan sistem multipartai seperti sekarang.
"Dua tokoh pemikir yang dominan di Bandung kala itu adalah Rachman Tolleng, seorang tokoh mahasiswa, jurnalis pemikir, dan HR Dharsono, panglima Kodam Siliwangi," tulis aktivis Radhar Tribaskoro, pada paper ilmiah yang dibagikan di acara Refleksi Awal Tahun 2024 Mengenang Rahman Tolleng Meneguhkan Politik Nilai, di Jalan Surapati, Bandung, Minggu, 7 Desember 2024.
Pada masa Orde Baru, Bandung sebagai lanskap pemikiran tidak bisa melawan Jakarta sebagai pusat kekuataan dan kekuasaan di mana keuangan dan militer. Rahman Tolleng menyodorkan sistem dua partai tetapi kalah tanding dengan fusi partai politik di bawah kendali Wakil Ketua Bakin Ali Moertopo.
“Tahun 1970 HR Dharsono dimutasikan menjadi Dubes di Thailand. Pascapemilu 1973 agenda sistem tiga partai dituntaskan melalui parlemen yang didominasi oleh Golkar,” jelas Radhar Tribaskoro.
Fusi partai politik (PDI, Golkar, PPP) awalnya merupakan kebijakan Presiden Sukarno berdasarkan Penpres no.7 Tahun 1959 dan Perpres No.13 tahun 1960 yang kemudian dipakai Suharto pada 1973. Namun, pada perjalananya sistem ini tidak stabil dengan jatuhnya Orde Baru sehingga sistem politik kembali banyak partai seperti sekarang.
Sistem dua partai atau sistem distrik yang dicetuskan kelompok Bandung di bawah pimpinan Rahman Tolleng diyakini bisa menstabilkan kondisi politik saat ini. Sistem ini terdiri dari partai penguasa dan partai oposisi. Sistem ini pernah diseminarkan di Angkatan Darat tahun 1966 dengan tokoh penting AH Nasution, Maraden Pangabean, Soewarto, Sarbini, dan Emil Salim.
“Sistem distrik diyakini dapat menciptakan kestabilan politik,” kata Radhar. Menurutnya kegagalan sistem multipartai bersumber pada mahalnya biaya pemilu.
Sistem multipartai menyebabkan aktor-aktor berebut suara dengan ongkos politik yang mahal, mengesampingkan ideologi partai serta melahirkan politik dinasti. Sistem distrik atau dua partai Rahman Tolleng dinilai menjadi obat penawar pada sistem politik di Indonesia.
“Proposisi sederhana: karena hanya ada dua partai maka pemilu hanya menyediakan satu kursi setiap dapil,” ucap Radhar.
Namun sistem distrik Rahman Tolleng menjadi gagasan yang tersimpan lama dalam khazanah intelektual Indonesia.
Baca Juga: Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama
Mengaktualisasi Pemikiran Rahman Tolleng
Sejumlah pelaku sejarah hadir dalam refleksi pemikiran Rahman Tolleng. Soeripto, pengamat inteljen menuturkan pemikiran-pemikiran Rahman Tolleng bisa dibaca melalui surat kabar yang dipimpinnya: Koran Mahasiswa.
Suripto awal berkenalan dengan Rahman Tolleng di saat dirinya duduk di bangku SMA sekitar 1955. “Beliau sudah menjadi mahasiswa, berkenalan dengan pemuda sosialis. Sampai tiga generasi: Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi,” tutur Suripto.
Selama berkomunikasi dengan Rahman Tolleng, Soeripto menyebutkan bahwa bersebrangan pandangan tidak harus menjadikan hilangnya identitas. “Sekalipun terjadi ketegangan, sejak di mahasiswa sosialis, tetapi tetep hubungan persaudaraan tidak pernah luput. Agar kita mempertahankan identitas dan intergritas,” kata Suripto.
Tokoh Malari Hariman Siregar pertama kali berkenalan dengan Rahman Tolleng ketika ia masih mahasiswa kedoktoran di Universitas Indonesia. Waktu itu sosok Rahman Tolleng menjadi tokoh favorit mahasiswa. Hariman biasa memanggil Rahman Tolleng dengan sebutan “bos”.
“Dari sekian tokoh, tokoh favorit. Orang baik, sayang anak muda,” kata Hariman Siregar.
Pemikiran Rahman Tolleng bagi Hariman cocok apabila dikembalikan pada pemilik zaman hari ini, yakni pemuda-pemudi atau Gen Z.
Selain Soeripto dan Hariman, anak ideologis Rahman Tolleng lainnya yakni Alamsyah Siregar dan Erman Rahman juga hadir dalam refleksi tersebut.
Dituding Dalang Malari
Salah satu peristiwa sejarah yang menunjukkan otoriternya rezim Orde Baru adalah peristiwa Malari. Kerusuhan 15 Januari 1974 ini membuat ktivitas pusat kota Jakarta sempat lumpuh selama dua hari. Hampir 50 mobil yang kebanyakan buatan Jepang dan 144 gedung dibakar atau dirusak. Sementara korban dari manusia adalah 9 orang meninggal, 100 lebih cedera, 820 lebih ditangkap.
Ipong Jazimah, dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto dalam jurnal bertajuk “Malari: Studi Gerakan Mahasiswa Masa Orde Baru” menjelaskan pemerintah menganggap kerusuhan tersebut didalangi provokator. Dewan Mahasiswa dituduh sebagai aktor penggerak peristiwa Malari. Empat puluh lima orang ditahan di antaranya Rahman Tolleng, Hariman Siregar, Subadio Sastrosatomo, Sarbini Sumawinata (mantan pemimpin PSI), Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, H.J. Princen (Ketua Liga Hak-Hak Azazi Manusia) serta aktivis-aktivis muda Islam yang lain.
“Ke-45 orang yang ditangkap dianggap sebagai otak dari demonstrasi Malari yang menyebabkan terjadinya kerusuhan hebat,” tulis Ipong Jazimah.
Menurut Ipong, dalam peristiwa itu Ali Moertopo menuduh adanya usaha makar yang dilakukan mahasiswa yang didalangi oleh PSI dan Masyumi secara tidak langsung. Presiden Suharto berdalih bahwa segala macam bentuk demokrasi harus ditegakkan dan dibina terus-menerus.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau membaca artikel-artikel tentang Politik