• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #18: Arti Sebuah Kegagalan

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #18: Arti Sebuah Kegagalan

Lulus tes tahap pertama di Nurtanio. Walau gagal dalam tes penerimaan pada divisi helikopter, masih terus mencoba mencari divisi lain yang masih menerima karyawan.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Bangunan terminal bandara Husein Sastranegara. (Foto: BandungAirport.com)

14 Januari 2024


BandungBergerak.id – Pekan demi pekan, tidak terasa sudah waktunya aku kembali ke Bandung untuk melihat hasil tes di Nurtanio lalu. Waktu itu, di era internet belum ada, pengumuman kelulusan memang harus dilihat sendiri jika tidak dikirim melalui pos atau diumumkan di koran. Beda dengan sekarang di mana pengumuman bisa disebar dengan sangat cepat melalui internet yang aksesnya sudah semakin mudah, ada dalam genggaman.

Seperti biasa aku pergi ke Bandung pagi sekali dan biasanya, sebelum Zuhur aku sudah sampai di sana. Beda dengan kepergianku saat tes, kali ini aku sudah cukup mengenal tempat-tempat di Bandung. Aku juga sudah punya beberapa teman, yang seandainya jika aku lolos tahap tes pertama, maka aku bisa tinggal bersama mereka sembari menunggu tes kedua. Tentunya sebelum aku berangkat aku sudah siapkan seluruh berkas yang diperlukan. Tidak lupa meminta doa restu orang tua.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak melamun. Banyak hal aku pikirkan. Misalnya, masih terbayang dengan keinginan orang tuaku yang menginginkan aku melanjutkan ke SP IAIN, dengan proyeksi menjadi guru agama. Tetapi, aku tidak menurutinya, akhirnya orang tuaku mengalah. Lantas aku memilih ke STM Penerbangan. Dari situ aku berpikir, “Salahkah pilihanku ini?”

Setelah lulus dari penerbangan aku daftar kuliah. Enggak keterima. Lalu apakah aku tes di Nurtanio Bandung akan ditolak lagi?

“Ya Allah, semoga tesku bisa keterima. Aku bukan untuk melawan orang tua ya Allah, aku ingin membahagiakan orang tua. Bukan untuk bikin susah, maafkan kalau aku salah,” gumamku dalam hati.

Setelah perjalanan panjang yang menempuh jarak berkilo kilo meter, dan waktu berjam-jam tak terasa bus yang kutumpangi sudah masuk Bandung. Sebentar lagi melewati jalan Pajajaran. Aku bersiap-siap. Mendekati pintu bus dan tak lama kemudian sampailah di depan Jalan Supadio.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #15: Semalam Menginap di Pandu Dalam
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #16: Tes Pertamaku di Nurtanio
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #17: Bismillah, Semoga Diterima

Lulus Tes Pertama

Aku turun dari bus dan langsung menuju ke papan pengumuman yang berada di dekatnya. Ternyata aku lulus tes. Alhamdulillah, aku lulus tes dan aku akan melanjutkan tes selanjutnya ke tahap psikotes yang digelar besok harinya. Kalau lulus, baru akan dilanjutkan ke tes kesehatan dan clearance test atau wawancara bebas dari keturunan G 30 S, itu yang aku ingat. Namun sayang aku terjegal ketika masuk tes terakhir.

“Padahal rasanya tidak ada yang salah aku menjawab pertanyaan,” kataku dalam hati dengan rasa sesal. Berarti aku gagal masuk Nurtanio untuk penerimaan pada pesawat Helikopter NB0 105.

Aku berusaha tawakal, tidak putus asa. Toh yang enggak keterima bukan aku saja. Aku selalu siap berkas, lamaran dan dokumen aku bawa ke mana-mana. Setelah tahu aku lolos, aku langsung cari informasi divisi mana yang masih menerima karyawan, mumpung aku masih di Bandung dan di lingkungan Nurtanio.

Bismillah aku coba saja, aku mendatangi personalianya, menitipkan lamaran, ada juga yang menitipkan ke satpam. Salah satu lamaran aku tujukan ke Divisi Fixed Wing. Setelah merasa cukup, aku berkemas untuk siap kembali ke Jakarta. Dalam hati aku kembali bergumam. “Semoga pada tes selanjutnya aku bisa diterima di sini.”

Kegagalan aku anggap hal biasa. Itu hanya sebagai liku-liku hidup, aku tak mudah putus asa dan aku kembali ke Jakarta sambil berharap semoga di tahun 1981 ini aku sudah bisa bekerja.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//