Kolaborasi Cek Fakta (Makin) Krusial di Era Disrupsi Informasi
Pengungsi Rohingya menjadi sasaran infomasi bohong (disinformasi) yang menyebar di media sosial. Ada muatan politik terkait Pilpres 2024.
Adi Marsiela
Koordinator Koalisi CekFakta.com sejak Februari 2022
17 Januari 2024
BandungBergerak.id - Akhir tahun 2023, pengusiran pengungsi etnis Rohingya jadi pemberitaan di media arus utama Indonesia. Salah satu yang menarik perhatian adalah peristiwa pengusiran terhadap 137 pengungsi Rohingya —didominasi perempuan dan anak-anak— oleh ratusan mahasiswa yang menamakan dirinya Mahasiswa Nusantara di Balai Meusara Aceh (BMA) pada Rabu, 27 Desember 2023.
Isu pengungsi Rohingya ini memang sudah mewarnai media arus utama sejak awal November 2023. Mereka datang bergelombang dan mendarat di bagian utara Sumatera. Kehadiran mereka kali ini diwarnai dengan beragam penolakan dari masyarakat di lokasi pendaratan. Penolakan itu kemudian jadi narasi utama yang mewarnai beragam pemberitaan.
Informasi mengenai penolakan ini terus berkembang dan menyebar. Ironisnya, sebagian pendengung dan influenser ikut mengunggah disinformasi, narasi negatif, dan kebencian terhadap para pengungsi Rohingya di beragam media sosial. Alih-alih melakukan verifikasi atas informasi yang viral, masyarakat dan sebagian media terjebak pada viralitas dan mengamplifikasi disinformasi tersebut.
Koalisi Cek Fakta yang terdiri dari 28 organisasi dan media merilis setidaknya 21 konten debunking terkait isu Rohingya sepanjang Desember 2023. Debunking merujuk pada hasil pembongkaran informasi bohong.
Pembongkaran kebohongan itu terkait narasi, antara lain, UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) meminta Pemerintah Indonesia menerima serta memberikan makanan, rumah, tempat tinggal, hingga KTP (kartu tanda penduduk) bagi para pengungsi tersebut.
Permohonan itu tertulis dalam potongan gambar dengan mencomot simbol dan akun resmi media sosial UNHCR. Salah satu penyebaran yang masif nampak pada akun Tiktok @acio111. Pemilik akun mengunggahnya pada 6 Desember 2023. Dalam waktu satu bulan, sudah ada setidaknya 6,1 juta pengguna Tiktok yang menontonnya.
Konten yang sama sehari kemudian diunggah oleh pelawak tunggal yang juga influenser, Marshel Widianto lewat reel di Instagram. Dia menambahkan teks “Menjajah jalur kekuasaan X; Menjajah jalur kasihan Ö” di video. Selain itu dia menulis, “Jangan langsung minta Pulau dong, Kartu perdana dulu kek”, pada statusnya.
Konten ini mendapatkan perhatian setidaknya dari puluhan ribu pengikutnya. Alih-alih menurunkan kontennya setelah ada yang memberi komentar informasi tersebut berasal dari akun UNHCR bodong, pemilik akun tetap membiarkan unggahannya.
Media massa yang seharusnya memberikan paparan fakta guna meredam disinformasi malah ikut-ikut menyebarkan narasi sejenis. Tengok saja unggahan konten video di kanal YouTube Tribunews yang diunggah pada 10 Desember 2023. Video berdurasi 85 detik ini menggambarkan kondisi rusaknya fasilitas penampungan bagi pengungsi di Sidoarjo, Jawa Timur. Narasinya menyebutkan kerusakan itu diakibatkan oleh pengungsi etnis Rohingya.
Penunggang Isu
Penyedia analisis dan jaringan pada media sosial Drone Emprit menganalisa isu pengungsi Rohingya di media sosial X (Twitter) dan media daring, setidaknya dua kali dalam bulan Desember 2023.
Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi menggunakan kata kunci Rohingya dalam analisanya. Temuannya menyatakan, isu Rohingya mengemuka setelah aksi pengusiran pengungsi oleh mahasiswa Aceh. Pada media sosial X, banyak penggunanya yang mengecam aksi tersebut.
Selama Desember 2023, sambung Ismail, ada tiga klaster besar, masing-masing, klaster publik yang banyak diisi akun influenser, lalu klaster akun publik kontra Rohingya yang diisi masyarakat umum, akun base (akun manifestasi, akun confession, dan akun meme), serta klaster ketiga yang diisi akun asing atau akun luar negeri seperti instansi UNHCR, masyarakat luar negeri dengan dominasi pengguna ras India.
Akun publik yang banyak diisi influenser banyak membicarakan indikasi adanya pesanan isu terkait kasus Rohingya ini. Salah satu narasi besarnya adalah kemungkinan adanya orkestrasi yang menungganggi isu Rohingya. Pada akhir periode pemantauan, warganet menduga narasi demonisasi pengungsi Rohingya dibawa oleh salah satu kubu calon presiden untuk alasan politik.
Analisa Drone Emprit menemukan emosi keyakinan warganet (4,4K), isu Rohingya berkaitan dengan isu pemilihan presiden dan emosi publik (2,6K) mengutuk adanya kemungkinan penggunaan isu yang sama untuk pemilihan umum.
“Besarnya emosi trust berhubungan erat dengan keyakinan publik, bahwa narasi pro kontra Rohingya berkaitan dengan Pilpres 2024 dan segala disinformasi soal pengungsi Rohingya digerakkan oleh pihak tertentu,” begitu pernyataan Drone Emprit dalam analisa lengkapnya.
Selain itu juga muncul dugaan adanya peran Israel karena saat isu Rohingya muncul, sebagian warganet asal Indonesia di platform X tengah menyerang akun-akun otoritas, tentara hingga pendukung Israel. Mereka menamakan gerakannya #julidfisabilillah.
Temuan di atas memperlihatkan ekosistem informasi yang tidak sehat. Apalagi jelang pelaksanaan pemilihan umum pada 14 Februari 2024 mendatang.
Dampak sebaran informasi keliru atau bohong itu bisa kita lihat pada peristiwa kerusuhan di Wamena, Papua pada 23 Februari 2023. Dalam laporan atas kerusuhan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan pemicu kerusuhan adalah disinformasi penculikan anak yang menimbulkan kemarahan publik. Dampak kerusuhan, 11 orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka.
UNHCR menduga pengusiran pengungsi Rohingya oleh mahasiswa dipicu oleh disinformasi. Prasangka didasarkan emosi bukan pada fakta.
“Serangan massa terhadap pengungsi ini bukanlah tindakan yang terisolasi namun merupakan hasil dari kampanye online yang terkoordinasi yang berisi misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian terhadap pengungsi dan upaya untuk merusak upaya Indonesia dalam menyelamatkan nyawa orang-orang yang putus asa dalam kesulitan di laut,” tulis UNHCR dalam portal resminya.
Media, meski tidak semuanya, yang diharapkan bisa memberikan referensi bagi masyarakat juga terjebak dalam keriuhan memperbesar gaung disinformasi. Ketidakhadiran konteks dan fakta pada narasi-narasi seperti isu Rohingya di media sosial dan media arus utama bisa membawa publik pada kesimpulan dan keputusan yang keliru.
Berkaca pada isu Rohingya menjelang pemilihan presiden, kami percaya setiap pemilih sudah memiliki jagoannya masing-masing. Sudah barang tentu, pemilih bakal meyakini setiap informasi yang menguntungkan kandidat pilihannya serta menyebarkan disinformasi terkait calon yang bukan pilihannya. Bukan tidak mungkin, adu argumen antarpendukung di dunia maya dapat berakhir dengan konflik pengusiran pengungsi Rohingya.
Baca Juga: Calon Pemilih Muda Rentan Menjadi Sasaran Hoaks Politik
Hoaks Covid-19 Bikin Program Pengendalian Pagebluk Terganggu
Hoaks Pemukulan Ratna Sarumpaet, Mewaspadai Kabar Bohong di Tahun Politik
Ketidakpahaman Publik
Koalisi Cek Fakta sejak 2018 berupaya membantu publik dengan menyediakan konten-konten hasil periksa fakta di Cekfakta.com dan akun-akun media sosialnya. Termasuk di dalamnya disinformasi yang sudah dicek faktanya terkait pemilu. Seluruh konten hasil periksa fakta jaringan kerja Cek Fakta dapat diakses dan dipergunakan oleh publik, termasuk media yang tidak tergabung dalam koalisi.
Koalisi juga menyadari peran masyarakat sangat besar dalam upaya memerangi sebaran disinformasi ini. Dengan ikut menyebarkan konten-konten hasil periksa fakta, masyarakat bisa bantu menghentikan atau memperlambat penyebaran mis-disinformasi. Mulai dari grup percakapan di Whatsapp hingga media sosialnya.
Secara internal, koalisi juga berupaya meningkatkan kapasitas pemeriksa fakta dari kalangan jurnalis dan komunitas. Selain itu ada juga upaya menambah anggota dari perusahaan media di berbagai wilayah Indonesia. Saat ini baru ada 25 perusahaan media yang tergabung dalam koalisi.
Harapannya, jaringan ini dapat berkembang secara organik di wilayah masing-masing. Targetnya untuk membekali masyarakat dengan informasi yang benar jelang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak di penghujung 2024.
Koalisi juga menggunakan pendekatan berbeda untuk memperlambat sebaran disinformasi. Jika sebelumnya mengandalkan konten debunking (pembongkaran mis-disinformasi), maka sejak 2023, anggota koalisi berupaya memperbanyak konten pre-bunking.
Ilustrasinya, produksi konten debunking itu ibarat kebakaran, maka pemeriksa fakta hadir sebagai pemadam kebakaran. Cara ini tidak efektif karena pada saat pemadaman api, kebakaran terjadi di titik atau wilayah lainnya. Makanya perlu ada upaya pre-bunking atau sosialisasi kepada masyarakat soal faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kebakaran dan bagaimana mencegahnya.
Dalam konteks pre-bunking, pemeriksa fakta membuat konten-konten yang memberi penjelasan pada publik soal pola penyebaran, modus, hingga teknik yang dipakai dalam produksi informasi bohong. Misalnya, akun yang menyebarkannya anonim, menggunakan foto atau video yang sudah pernah muncul di internet namun diganti konteksnya, hingga ke penggunaan teks atau narasi yang menakut-nakuti.
Teknik menakut-nakuti itu muncul pula dalam narasi isu Rohingya. Disinformasi ini mempertebal kebencian di masyarakat yang mengarah pada tindak kekerasan seperti pengusiran pengungsi etnis Rohingya di Aceh.
Koalisi menyadari kerja sama dengan beragam pihak semakin penting. Penelitian lintas perguruan tinggi yang dilakukan oleh Putri Limilia, Ni Made Ras Amanda Gelgel, dan Lintang Ratri Rahmiaji pada 2022 menemukan lebih dari setengah respondennya belum mengetahui adanya lembaga cek fakta di Indonesia. Tidak hanya itu, 7 dari 10 respondennya juga mengaku tidak pernah melakukan pemeriksaan fakta.
Kesimpulan penelitian yang melibatkan 846 responden pada 13 provinsi itu menyatakan masih banyak masyarakat yang belum siap menghadapi banjir disinformasi politik di tahun penyelenggaraan pemilu 2024.
Temuan itu semakin meyakinkan kami dari koalisi untuk terus mengupayakan adanya kolaborasi dengan berbagai pihak. Apalagi koalisi mendata jumlah informasi bohong itu terus bertambah setiap tahunnya meski sudah ada gerakan periksa fakta.
Data koalisi mencatat pada 2018 ada 503 konten hoaks yang diperiksa atau rata-rata 41 konten per bulan. Sementara pada rentang Januari-November 2023, ada 2.930 konten yang diperiksa atau rata-rata 266 konten per bulannya.
Peningkatan itu seiring dengan temuan pada 2019, masa pemilihan presiden, yang mencapai 901 konten atau rata-rata 75 konten per bulan.
Pada tahun 2020, seiring pandemi dan pemilihan kepala daerah serentak, jumlah konten yang diperiksa bertambah jadi 2.692 atau rata-rata 224 konten per bulan. Temuan ini sempat menurun, namun tidak signifikan di 2021 dan 2022, masing-masing 2.467 konten dan 2.389 konten.
Saya memandang peningkatan jumlah konten yang diperiksa ini dengan optimis. Semakin banyak konten yang diidentifikasi sebagai hoaks membuktikan pemeriksaan fakta berjalan. Apalagi jika masyarakat mau membantu menyebarkan konten-konten yang sudah diperiksa faktanya ke grup percakapan keluarga, organisasi, atau komunitasnya.
Apakah cara ini efektif menghentikan penyebaran dan produksi informasi bohong? Tidak, namun langkah ini bisa memperlambat penyebarannya di masyarakat.
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan Adi Marsiela, atau artikel-artikel lainnya tentang Informasi Bohong