• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #19: Dijodohkan

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #19: Dijodohkan

Orang tuaku berniat untuk menjodohkanku dengan perempuan yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Saat itu perjodohan masih cukup umum.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Cincin yang saling bertaut. (Foto: Ilustrasi oleh Asmali)

21 Januari 2024


BandungBergerak.id – Meski sepanjang usiaku saat itu aku mengenal beberapa teman perempuan memang belum ada yang sampai tahap serius. Apalagi sampai memikirkan pernikahan. Lagi pula, setamat STM, aku masih disibukkan dengan agenda mencari pekerjaan. Sehingga belum ada fokus terpikir untuk memiliki hubungan serius dengan lawan jenis.

Tetapi orang tua punya pertimbangan lain. Bagi mereka, mungkin aku dirasa sudah dewasa. Makanya mereka berpikir untuk menjodohkanku. Ya, saat itu perjodohan masih cukup umum. Gagasan ini mulanya disampaikan kepadaku oleh Enyakku. Kata Enyak, dia dan Baba berniat menjodohkan aku dengan perempuan yang tinggal tidak jauh dari rumah keluarga kami.

Aku pun mengenal perempuan itu meski dia tidak sering keluar rumah. Perempuan ini yatim piatu dan berasal dari keluarga terpandang di kampung kami. Istilahnya, orang nomor satulah di kampung ini.

Kata Enyak, Baba sudah bicara perihal rencana ini dengan abang dari perempuan tersebut. Memang belakangan, di tengah kesibukanku mencari kerja, Baba sering kedatangan abang dari perempuan tersebut. Mereka sering bicara panjang lebar meski aku juga tak tahu apa yang mereka bahas.

Aku tak tahu harus merespons apa. Aku hanya diam mendengar rencana perjodohan ini.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #16: Tes Pertamaku di Nurtanio
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #17: Bismillah, Semoga Diterima
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #18: Arti Sebuah Kegagalan

Bimbang

Bukan apa aku tidak merespons perjodohan ini. Selain karena aku masih fokus mencari kerja, selama masih di Jakarta, sesekali aku masih ke rumah teman SMP-ku. Dia perempuan, Nia namanya. Bisa dibilang aku sudah dekat dengan keluarganya. Singkatnya, aku mencintainya.

Nia lebih dulu mendapat kerja selepas ia bersekolah di SMA Analis. Ia bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta.

Perkenalanku dengan dia dimulai saat kami sekelas di bangku SMP. Kalau pergi ke lapang pada pelajaran olah raga, aku selalu lewat rumahnya. Aku gemar main voli, dan setiap kali aku bertanding, ia selalu menyemangati aku. Dia orangnya selalu berpakaian rapi, kebiasaannya selalu memakai rok yang dengan model rample melebihi lutut. Manis dilihatnya.

Setiap kali aku datang ke rumahnya, memang dia selalu berpakaian rapi. Belum pernah aku melihatnya dalam dandanan tidak rapi. Menurutku apa saja yang nyangkut di badannya, terlihat cantik. Sudah cantik orangnya, menjadi tambah cantik di pandangnya.

Kedekatan kami terjalin semasa aku di sekolah Penerbangan.

Jadi aku pun hanya diam. Tak bergeming menanggapi rencana orang tuaku ini. Pikiranku berkecamuk.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//