• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Meromantisisasi Ketidakbahagiaan dalam Bingkai Pernikahan

MAHASISWA BERSUARA: Meromantisisasi Ketidakbahagiaan dalam Bingkai Pernikahan

Lakukanlah konseling bila terjadi permasalahan dalam pernikahan, bukan membiarkannya berlarut-larut dengan anggapan permasalahan dalam pernikahan adalah hal normal.

Jesica Willyanti

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Pernikahan Tina Kosasih dan Joi Rumengan diwakili dua pasang sepatu, di Goethe Institut Bandung, Minggu (24/09/2022). Pernikahan ini diadaptasi dari cerpen Tina Kosasih dan Joi Rumengan yang ditulis Suina Latersia dan Tegar Pratama. (Foto: Mawaddah Daniah/BandungBergerak.id)

25 Januari 2024


BandungBergerak.id“Twitter X please do your magic ???? Saya suami dari dr Qory, istri saya pergi meninggalkan rumah pada 13-11-2023 sekitar jam 09.30, penyebabnya setelah bertengkar dengan saya pagi itu. Info lain: istri saya nggak punya kerabat dan teman dekat, tapi semua teman kerja di klinik atau rumah sakit sudah dihubungi,”  ~ @Qory20

Sekilas, cuitan di atas tampak seperti bentuk kekhawatiran suami terhadap sang istri yang hilang tanpa kabar. Menggambarkan sosok suami yang peduli dan ideal, namun nyatanya adalah serigala dibalik bulu domba. Padahal, dokter Qory adalah korban dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ia memilih untuk kabur dari rumah dengan kandungannya yang berusia enam bulan untuk mencari suaka. Perlakuan kasar, ucapan tidak senonoh, ancaman fisik dengan pisau, bahkan ditendang dan diinjak oleh sang suami saat ia sedang mengandung sudah dirasakan oleh dokter Qory dalam pernikahan. Kasus KDRT ini semakin membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah inti sari dari pernikahan masih seperti yang diharapkan?

Nyatanya, pernikahan bukan lagi akhir yang selalu berujung bahagia. Melalui hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), perceraian di tahun 2022 mencapai angka 516.334 kasus. Artinya rata-rata perceraian tiap harinya adalah 1.410 kasus. Lalu melalui hasil survei BPS pula, total pernikahan mencapai 1,7 juta di tahun 2022 dengan rata-rata 4.644 pernikahan tiap harinya. Jika dibandingkan, angka perceraian tiap harinya menyentuh lebih dari 30% total pernikahan yang ada.

Bukankah itu miris? Ada mimpi yang baru dirakit, ada pula mimpi yang hancur di satu hari yang sama. Banyaknya kasus perceraian membuat semua tersadar, bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya jalan kebahagiaan. Di zaman sekarang, pernikahan bukan lagi momen yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar perempuan.

Baca Juga: Perempuan Paling Dirugikan dalam Fenomena Pernikahan Dini
Meninjau Implikasi Hukum Pernikahan Beda Kewarganegaraan
Cinta Melampaui Tuhan?: Problematika Pernikahan Lintas Agama di Indonesia

Rumah adalah Tempat Berlindung, Benarkah?

Pernikahan selalu diibaratkan dengan awal dalam membentuk rumah. Rumah yang hangat dan penuh dengan canda tawa. Rumah diimpikan sebagai suaka, tempat untuk bersandar dan merasa aman, terlindungi dari mara bahaya. Namun, apa daya? Belajar dari kasus dokter Qory, rumah belum tentu adalah tempat yang aman dan  bebas dari bahaya. Rumah bisa menjadi tempat di mana bahaya itu berasal. Bahkan kesalahan kecil pun bisa menyulut api yang besar.

Fisik, psikologis, ekonomi, bahkan seksual adalah taruhan dalam pernikahan. Suatu waktu, Anda bisa dipeluk bagaikan boneka kesayangan, suatu waktu pula Anda bisa dipukul selayaknya samsak tinju. Suatu waktu, Anda bisa dibanjiri dengan kata-kata penuh afeksi, suatu waktu pula Anda bisa dibanjiri dengan kata-kata penuh emosi. Masih ingat dengan kasus pembunuhan 4 orang anak dan KDRT oleh suami di Jagakarsa? Sang suami tega membunuh keempat buah hatinya dan melakukan tindak KDRT terhadap sang istri. Kasus tersebut merupakan salah satu bukti bahwa pernikahan bukan suatu jalan menuju kebahagiaan, melainkan bisa saja merupakan jalan menuju kematian dan kesengsaraan. Namun, mau tahu apa yang lebih menyedihkan? Nyatanya, perilaku KDRT masih dinormalisasikan di masyarakat.

KDRT seakan-akan dinormalisasikan, dianggap sebagai penyelesai masalah. Padahal, kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang amoral, tidak pantas untuk dilakukan. Apa pun permasalahannya, kekerasan bukanlah jalan keluar. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, per bulan September di tahun 2023, terdapat 18.466 kasus KDRT dan 16.351 korban merupakan perempuan. Perempuan korban KDRT cenderung rentan mengalami depresi dan bunuh diri akibat tekanan dan kekerasan fisik terus menerus. Tak hanya itu, menurut Addiction Center, perempuan korban KDRT juga memiliki kecenderungan sembilan kali lebih besar dalam mengonsumsi narkotika sebagai pelarian.

Kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi ancaman bagi anak untuk tumbuh dengan baik. Kerig dalam penelitiannya di tahun 1999 menyatakan bahwa anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan KDRT memiliki risiko tiga kali lipat untuk melakukan tindak KDRT terhadap istri dan keluarganya di masa depan, sedangkan anak perempuan yang tumbuh dalam lingkungan KDRT cenderung menjadi pasif. Hal-hal tersebut tentunya bukan apa yang diharapkan dari pernikahan. Pernikahan diharapkan membawa kebahagiaan, masa depan yang lebih cerah, bukan amarah dan nestapa.

Orang Ketiga Dijaga

Kesetiaan adalah kunci dari pernikahan. Sayangnya, setia sehidup semati bukan lagi kenyataan yang dapat ditemukan di seluruh kehidupan pernikahan. Kenyataannya, survei yang dilakukan oleh JustDating menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia mengenai perselingkuhan dengan persentase sebesar 40 persen. Sedangkan, perceraian yang dikarenakan oleh perselingkuhan atau meninggalkan salah satu pihak di tahun 2022 mencapai 39.395 dari 516.334 kasus perceraian atau sekitar 7.7 persen menurut hasil survei Badan Pusat Statistik. Kesetiaan yang menjadi janji suci dalam pernikahan ternyata sekadar ucapan belaka.

Usaha-usaha untuk membuktikan kasih sayang dengan mudahnya dirusak begitu saja dengan hadirnya orang ketiga. Semanis apa pun mulut berucap, semanis apa pun tingkah laku tidak menjamin lancarnya hubungan tanpa main serong. Harus ada kesadaran bahwa memang dirinya telah memiliki pasangan yang ia janjikan untuk setia selamanya, bukan untuk dimadu.

Uang atau Cinta?

Pada masa pandemi, banyak pernikahan yang runtuh. Bukan lagi rahasia bahwa perekonomian Indonesia pada masa pandemi sempat mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan ekonomi tersebut dapat terlihat dengan peningkatan jumlah pengangguran yang didata oleh Bank Dunia. Jumlah pengangguran pada masa pandemi di tahun 2020 meningkat menjadi 7.07 persen dari 5.28 persen. Wakil Ketua Pengadilan Agama Kelas 1A Semarang Muhamad Camuda menyatakan bahwa meningkatnya kasus perceraian disebabkan oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawan yang berujung pada perselisihan rumah tangga karena menyempitnya perekonomian.

Alasan tersebut bukan semata-mata karena kepribadian yang serakah, tetapi memang ada kebutuhan dalam rumah tangga yang harus dipenuhi dengan kemapanan ekonomi. Memenuhi kebutuhan pangan memerlukan uang, membeli sayur dan daging misalnya. Memenuhi kebutuhan papan pun memerlukan uang, entah untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun Kredit Pemilikan Apartemen (KPA). Jadi, keinginan untuk mapan secara ekonomi bukanlah hal yang buruk. Jelas sekali bahwa di zaman sekarang, ekonomi adalah segalanya untuk bertahan hidup. Namun, masih banyak masyarakat yang kurang mapan secara ekonomi memutuskan untuk menikah dan melanjutkan keturunan, alhasil perkembangan sang anak juga tidak sempurna. Muhadjir Effendy selaku Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia menyatakan bahwa 70% keluarga miskin ekstrem di Indonesia memiliki anak stunting. Ketidaksejahteraan dan sakit-sakitan tentunya bukan harapan siapapun dari pernikahan. Justru pernikahan diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Di zaman modern, pernikahan bukan lagi satu-satunya jalan menuju kesejahteraan, terutama bagi wanita. Dulu wanita dianggap seakan-akan lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam aspek pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman. Namun sekarang, telah banyak wanita yang telah belajar hingga S3 dan meniti karir. Terbukti dengan data dari Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa jumlah perempuan bekerja pada tahun 2022 mencapai 38.98% total pekerja di Indonesia atau sekitar 52.74 juta jiwa. Banyak wanita yang telah bekerja dan meniti karier merupakan bukti dari adanya emansipasi wanita dan usaha untuk berdiri di atas kaki sendiri tanpa menopangkan diri kepada kaum adam seperti yang terjadi di zaman-zaman sebelumnya. Stigma zaman kolonial bahwa wanita hanya pantas berperan di dapur, sumur, dan kasur sudah terpatahkan. Sekarang, wanita telah belajar untuk menjadi Kartini bagi dirinya sendiri.

Pernikahan diibaratkan sebagai taruhan. Dengan ikatan pernikahan, Anda belum tentu akan bahagia ataupun sengsara. Pernikahan bukan hal yang bisa dilakukan secara terburu-buru dan setengah-setengah. Sebelum memutuskan untuk menikah, alangkah baiknya apabila pilihan tersebut benar-benar diinginkan oleh kedua belah pihak. Perlu adanya refleksi diri bahwa pernikahan bukan hanya “pelengkap” kehidupan yang ideal, tetapi untuk menyatukan dua belah pihak dalam kebahagiaan. Selanjutnya, apabila terjadi permasalahan dalam pernikahan, lakukanlah konseling pernikahan, bukan membiarkan masalah tersebut berlarut-larut dengan anggapan bahwa permasalahan dalam pernikahan adalah normal. Yang terakhir, berkomitmenlah untuk melindungi dan menciptakan rumah yang hangat, karena begitulah cinta yang sesungguhnya.

“When there is love, there is life.”– Mahatma Gandhi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//