• Berita
  • Zine yang tak Lekang Ditelan Zaman

Zine yang tak Lekang Ditelan Zaman

Zine tidak akan tergantikan oleh media lain seperti internet, buku, media massa. Sebab zine seperti membaca surat personal. Bandung Zine Fest 2024 membuktikannya.  

Seorang pegiat zine di lapak Bandung Zine Festival 2024, Jalan Badak Singa, Bandung, Sabtu, 20 Januari 2024). (Foto: Hizqil Fadl Rohman/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah25 Januari 2024


BandungBergerak.id – Dinda (38 tahun) sejak lima tahun lalu berniat pengin memamerkan zine buatannya di Bandung Zine Fest 2024, hajatan zine terbesar yang bangkit dari mati surinya setelah vakum karena pagebluk. Sejak pagi ia sibuk menyiapkan lapaknya, bersama para pegiat zine yang disebut zinester atau zinemaker dari dalam dan luar kota. Pestanya para zinemaker ini berlangsung di Badak Singa 6 Communal Space, Sabtu, 20 Januari 2024.

Dinda membuat kolektif dan media alternatif bernama Patpat Dilipat Zindikat bersama kawannya Feri yang sama-sama lulusan Seni Rupa ITB. Dinda bukan anak kemarin yang bergelut dengan zine. Nun jauh sepuluh tahun lalu ia sebenarnya telah memproduksi zine sendiri.

“Tapi, untuk masuk ke komunitas terbesar ini baru terbentuk tahun 2023 lalu dan sekarang ke Bandung Zine Fest,” cerita Dinda, kepada BandungBergerak.id.

Tak dipungkiri, zinester dan zinemaker masih banyak didominasi oleh laki-laki. Tetapi secara kualitas, zinemaker perempuan siap bersaing. “Bisa andil dalam sebuah arus sama-sama, sama-sama bergerak, berintregrasi. Saya tidak melihat perbedaan, semoga zinester-zinester perempuan terus berkembang dan bermunculan,” jelas Dinda.

Selain zine, Dinda juga menjual pernak-pernik lain, seperti stikerpack, kartupos, dan oksigen sebagai kritik atas udara Kota Bandung. Polusi udara kota kembang balakangan ini memang sedang tidak baik-baik saja. Pembangunan terus menerus, jumlah kendaraan meningkat, dan jumlah pohon berkurang.  

Lain halnya dengan Dinda, Dally sudah lebih dulu terjun ke dunia zine. Lelaki yang juga aktif di budaya subkultur Kota Bandung ini mengenal lebih dalam zine dari media sosial Facebook.

“Dulu saya tidak tahu zine itu apa, yang saya tahu majalah fotokopian anak punk. Seiring waktu berjalan saya tahu di group Facebook itu zine, saya membuat sesuatu yang tidak tahu itu apa, saya ingin media yang ingin dicetak tapi saya gak mampu, saya bikin Cucokworo Magazine,” cerita Dally, zinester asal Kota Bandung.

Pertemuan dan perkenalan dari grup media sosial itu membawanya ke komunitas zine. Ia ikut terlibat dalam Bandung Zine Fest pertama di tahun 2012, dan terus mengikuti agendanya. Kini Dally juga ikut di festival yang sudah kelima di tahun 2024 ini.

Ancang-ancang Bandung Zine Fest mulai digarap sejak September 2023 dengan kurasi yang sangat terbuka. “Zine fotokopian masih ada di sini, pesta zine, gak kerasa gitulah. Sekarang kerasanya yang masih kolektifan dan media sendiri masih ada,” kata Dally.

Pengunjung memilah zine di lapak Bandung Zine Festival 2024, Jalan Badak Singa, Bandung, Sabtu, 20 Januari 2024). (Foto: Hizqil Fadl Rohman/BandungBergerak.id)
Pengunjung memilah zine di lapak Bandung Zine Festival 2024, Jalan Badak Singa, Bandung, Sabtu, 20 Januari 2024). (Foto: Hizqil Fadl Rohman/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Zine bagi Orang-orang Muda Bandung
BANDUNG ZINE FEST 2024: Orang-orang Muda Bertemu dalam Isu Konflik dan Penggusuran
KABAR DARI REDAKSI: Menerbitkan Zine BERGERAK! Vol. 2 tentang Dago Elos

Zine dan Ruang Keintiman yang Terus Bertahan

Zine lahir dari orang-orang yang ingin menumpahkan idenya ke dalam kertas cetakan. Karya ini mungkin tidak bisa dihadirkan melalui medium seperti majalah cetak arus utama. Jumlah zine yang dicetak pun terbatas, kurang dari 1.000 rilisan.

Menurut Dally, zine adalah media alternatif untuk berekspresi dan bukan sekadar fotokopian. Namun zine juga menjadi karya personal yang memiliki banyak arti. “Makin ke sini, saya menggerti, zine itu karya personal layak dikoleksi, di perjalanan pembuatan zine itu banyak cerita, banyak melibatkan perseorangan,” terang Dally.

Sifat material dan personal yang intim di dalam zine dijelaskan juga oleh Idhar Resmadi dalam Jurnalistik Musik dan Selingkar Wilayahnya (2018). Hal ini dibangun melalui kolase, foto, ilustrasi, dan tulisan-tulisan yang semua aspek estetikanya dipikirkan oleh zinester.

“Sentuhan personal itulah yang akhirnya membuat zine bertahan sebagai media komunitas karena menawarkan fisik yang tak bisa ditawarkan bentuk daring,” tulis Idhar.

Dengan alasan tersebut, zine menjelma sebagai media cetak alternatif yang masih tetap bertahan di tengah media arus utama cetak yang mengalami senjakala. Keintiman zine, lanjut Idhar, tidak bisa digantikan oleh media lainnya baik buku, majalah, bahkan televisi.

“Kita bisa merasakan gagasan, keresahan, atau ekspresi sang pembuat zine. Membaca zine memang lebih seperti membaca surat dari sahabat dibandingkan mengonsumsi informasi dari media massa,” tutur Idhar.

Tidak hanya ruang intim, zine juga menawarkan ruang antara produsen dan konsumen. Kedua pihak bisa saling memproduksi dan mengonsumsi zine.

Bukti bahwa zine masih tumbuh dan memiliki peminat dapat dilihat di festival-festival zine. Uniknya, para pegiat zine ini kebanyakan orang-orang muda yang akrab dengan teknologi. Misalnya, Bandung Zine Fest setiap agendanya selalu diikuti peserta orang-orang muda dari dalam dan luar kota. Festival ini diikuti 110 peserta dari Surabaya, Jakarta, Malang, dan lain-lain.

“Maka wajar saja, berbagai komunitas penggemar zine menyelenggarakan festival zine di berbagai kota dan tumbuh penerbit-penerbit alternatif,” jelas Idhar.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang zine sebagai media alternatif 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//