• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #20: Baba Sakit

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #20: Baba Sakit

Baba minta dibawa ke rumah sakit. Pada saat itu aku masih ingat mengantarkan Baba ke Rumah Sakit Fatmawati.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Suasana gerbang masuk Jakarta Fair tahun 1986. (Koleksi KITLV D13631, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

28 Januari 2024


BandungBergerak.id – Seiring dengan ikhtiarku mencari pekerjaan dan kabar dari Enyak bahwa aku akan dijodohkan aku lihat kesehatan Baba belakangan makin menurun. Seperti ada yang dia rasa dan kuperhatikan sakitnya tidak biasa. 

Baba-ku memang sudah sakit-sakitan. Tetapi selama ini dia tidak begitu menanggapi rasa sakit yang ia rasa. Yang aku tahu, kalau rasa sakit itu datang, dadanya akan terasa panas. Begitu yang ia sampaikan. Kadang bahunya terasa berat dan ia kerap memelintirkan badannya untuk menahan rasa sakit. Kalau sudah begitu, aku biasanya datang memijit bahunya. Berharap ia bisa lebih merasa nyaman. Dalam hatiku sebenarnya sedih juga melihat kondisi Baba. Tetapi aku tutupi kesedihanku sendiri.

Kira-kira yang aku tahu ayahku selama ini punya penyakit jantung. Itu pun aku belum tahu persis kebenarannya, baru katanya saja dan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Lagi pula, yang ku ingat Baba tidak pernah berobat. Rasanya aku tidak pernah mengantarkan Baba berobat. Apalagi saat itu dokter masih jarang, tidak sebanyak sekarang apalagi di perkampungan Betawi seperti tempat aku tinggal. Yang dikenal hanya mantri. Malah yang masih aku ingat banget, dulu akulah yang sering diajak ke mantri. Setiap hari Jumat, ada mantri yang keliling di kampungku.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #17: Bismillah, Semoga Diterima
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #18: Arti Sebuah Kegagalan
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #19: Dijodohkan

Baba Dirawat di Rumah Sakit

Sambil aku menunggu hasil tes dari panggilan yang kedua untuk divisi fixed wing di Nurtanio, selama aku di rumah, aku melihat Baba tambah sering merasakan sakit pada bahu dan dadanya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, aku tambah tak tega melihatnya. Hingga akhirnya Baba minta dibawa ke rumah sakit. Pada saat itu aku masih ingat mengantarkan Baba ke Rumah Sakit Fatmawati. Aku sendiri yang mengantarkannya. Sepanjang perjalanan, sambil menyetir aku memijit bahu Baba yang tampak tak tahan lagi dengan rasa sakitnya.  

Setelah sampai di rumah sakit, tak berlama-lama Baba langsung ditangani oleh pihak rumah sakit. Ia menjalani pemeriksaan serta rontgen.

“Bapak perlu dirawat,” kata seorang dokter mengenai Baba-ku.

“Apa enggak bisa berobat jalan aja dokter?,” tanyaku.

“Engga bisa, ini penyakitnya belum jelas,” jawab si dokter.

Usai percakapan ini aku sampaikan pesan dokter pada Baba. Sepertinya Baba-ku pun sudah pasrah.

Hatiku terasa sempit. Sambil menahan kesedihan, aku berpikir apa yang harus aku lakukan. Selama ini kami belum terbiasa sakit sampai harus dirawat di rumah sakit. Di kampungku kalau sakit, sampai masuk rumah sakit masih tabu mendengarnya. Jadi aku pun bingung apa yang harus aku lakukan.

Tak lama kemudian, Baba di bawa ke ruang perawatan. Aku pun ikut mengikuti para perawat sambil menahan air mata. Jangan sampai air mataku terlihat oleh Baba. Setelah Baba ditempatkan di ruang perawatan, aku mengurus administrasi dan kembali ke Baba untuk izin pulang sebentar.

“Mau ambil pakaian dan kasih tahu yang lain,” kataku kepada Baba.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, hatiku selalu berkata semoga penyakit ayahku bisa diketahui dan bisa disembuhkan. Orang rumah pun pasti pada kaget kalau Baba harus dirawat. Apalagi hanya aku dan kakak ipar yang bisa diandalkan selain Enyak. Kebanyakan adik-adikku yang lain masih kecil saat itu.

Entah sampai berapa lama Baba dirawat. Yang aku ingat, sampai pulang ke rumah penyakit Baba hanya diduga sebagai penyakit jantung. Situasinya pun tidak begitu membaik sampai aku harus kembali bolak balik Bandung untuk menjalani tes lanjutan di Nurtanio.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//