Alunan Melodi Harmoni Pilar Persatuan
Perbedaan dan keberagaman masih menjadi isu yang kerap menghantui masyarakat dan negara.
Sidik Permana
Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse
30 Januari 2024
BandungBergerak.id – Indonesia adalah negara besar dengan sekelumit problematika. Sebagai negara multikulturalisme, potensi konflik tidak dapat dihindari, apalagi konflik akan selalu hadir selama konsep kehidupan masih terus berlanjut. Terkadang, satu sulutan dari percikan api konflik yang entah berantah bisa menjadi kobaran api yang menghancurkan integrasi bangsa.
Konflik Palestina dan Israel, contohnya. Tatkala serangan yang diluncurkan pada 7 Oktober 2023 oleh kelompok milisi Palestina, Hamas, itu kepada Israel mendarat dan berhasil menewaskan 1.400 orang di pihak Israel, menjadikannya sebagai pintu masuk untuk konflik (berkelanjutan) dan rusaknya perdamaian yang kini sudah berjalan dua bulan lebih. Alih-alih eskalasi konflik berdarah yang berarenakan Gaza dengan skala kerusakan yang jauh lebih masif hanya berputar dalam kawasan Timur Tengah, justru residunya mampu menggapai dan menggoyahkan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat kita yang cukup tenteram.
Benar saja, konflik dua negara ini pun akhirnya melahirkan segregasi dua kubu besar di dunia yang meliputi pro Palestina dan Israel, termasuk di Indonesia. Sayangnya, perbedaan pandangan yang sejatinya dijamin konstitusi dan demokrasi itu justru menjadi batu sandungan bagi persatuan dan kesatuan, dan hilangnya muruah sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”.
Ketika masyarakat Indonesia mulai meningkatkan intensitas perhatiannya kepada konflik Palestina dan Israel, singgungan kedua kelompok pendukung tidak dapat terhindarkan. Terlebih dengan memandang konflik dua negara ini dalam sudut pandang agama yang terbatas akan meningkatkan intensitas konflik yang dibakar oleh semangat sentimen keyakinan dalam beragama dan anti-semit masyarakat Indonesia. Misalnya, bentrokan yang terjadi antar ormas pendukung Palestina dan Israel di Bitung, Sulawesi Utara, sebagaimana dilansir dari laman bbc.com (2023), yang menewaskan satu orang dan dua orang terluka pada Sabtu, 24 November 2023 lalu. Bahkan, ini belum termasuk pembelahan yang terjadi di dunia maya yang juga didorong para influencer dengan basis pengikutnya yang turut meramaikan khazanah recok media sosial dengan segala ulasannya.
Cuplikan di atas sejatinya hanyalah sedikit gambaran bagaimana suatu wacana dan isu global dapat menjadi persoalan tantangan keberagaman dan persatuan bangsa. Hal yang patut diwaspadai adalah ketidaktahuan kita akan peristiwa dunia dan nasional, dengan egoisme yang tinggi akan pandangan dan pemikiran kita, justru menjadi ancaman terhadap keamanan dan ketahanan nasional. Terkadang, perdebatan untuk memperebutkan kebenaran itu, bagi masyarakat Indonesia, yang disangka-sangka meningkatkan kualitas intelektualitas bangsa, tapi justru menghidupkan sentimen-sentimen tendensius dan menghardik. Wajar bila konflik di atas bisa lahir begitu saja. Namun, apa daya, sentimen kebudayaan, agama dan politik berhasil membatalkannya.
Padahal, bila berbicara isu keberagaman Indonesia selalu saja mendapatkan perhatian serius dari negara hingga dunia. Di samping pujian yang kerap disematkan atas “keramahan” penduduknya dari masyarakat global, terdapat sisi gelap yang tidak jarang berpotensi menimbulkan kebencian. Misalnya, riset yang dilansir dari laman Kompas.id (2023), di mana Litbang Kompas pada 17-19 Mei 2021 dengan tajuk “Bersediakah atau Tidak Bersediakah Anda Melakukan Hak Berikut” menunjukkan bahwa dari 511 responden sampel yang menjawab, sebanyak 97,5% menjawab bersedia untuk bertetangga/bergaul dengan orang berbeda keyakinan dan 2,5% tidak bersedia; 96,4% bersedia menghargai perayaan hari raya/beribadah antaragama dan 3,3% tidak bersedia; 89,5% bersedia mengizinkan adanya rumah ibadah agama berbeda di sekitar lingkungan Anda dan 9,4% tidak bersedia; terakhir, 75,7% bersedia menerima pemimpin berbeda agama dan 22,9% tidak bersedia. Statistik di atas membuktikan beberapa hal, yaitu penerimaan dan ketidakbersedian. Bila ditelisik kembali, justru statistik tersebut sekadar berbicara angka namun sebuah gambaran bom waktu dari disintegrasi dan potensi penolakan keberagaman.
Dalam data lain, seperti dalam laporan “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Sikap Toleransi di Indonesia” yang dikeluarkan oleh Pusat Studi dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PSDK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2017), diketahui bahwa 57,6% rumah tangga di Indonesia kurang toleran terhadap kegiatan yang dilakukan penganut agama lain. Sebanyak, 50,7% persentase rumah tangga yang tinggal di pedesaan tidak memiliki kualitas yang baik terhadap keberagaman, khususnya beragama dan bersuku. Hal yang menarik dari data tersebut adalah faktor-faktor, seperti kualitas pendidikan, ekonomi, dan lainnya, turut berpengaruh pada kualitas penerimaan seseorang terhadap perbedaan dan keberagaman. Data ini setidaknya memupuk kekhawatiran kita sebagai masyarakat Indonesia yang nasionalis dalam menyikapi perbedaan dan keberagaman yang sejatinya adalah isu nasional yang kerap menghantui, tidak hanya kepada masyarakat namun negara. Oleh karena itu, merajut persatuan di tengah keberagaman adalah tujuan konstitusional dan prinsip ideal yang dicita-citakan Pancasila yang harus diwujudkan oleh semua pihak dan lembaga.
Baca Juga: Pemuda Peradaban Menuju Masyarakat Madani
Dari Eric Weil Hingga Virus Akal Budi: Jalan Damai dengan Damai
Sunda Harus Nyunda, Kebaikan untuk Semua
Keberagaman Harus Menjadi Identitas Bangsa
Laporan resmi berjudul “Hasil Sensus Penduduk” yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) (2021), mengungkapkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sampai September 2020 mencapai 270,20 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduknya mencapai 1,25% dalam kurun waktu 2010-2020. Dalam komposisi total penduduk Indonesia berdasarkan generasinya, Generasi Z atau kelompok penduduk yang lahir pada kurun waktu 1997-2012 menjadi yang paling banyak dengan persentase 27,94% atau sekitar 74,93 juta jiwa. Disusul Milenial atau kelompok penduduk yang lahir pada periode 1981-1996 dengan persentase 25,87% atau sekitar 69,38 juta jiwa. Selebihnya, Generasi X (40-55 tahun) dengan persentase 21,88% atau 58,65 juta jiwa, lalu Baby Boomer (1946-1964) dengan persentase 11,56% (31,01 juta jiwa), Post Gen Z (2013, dst) dengan angka 10,88% (29,17 juta jiwa), dan terakhir Pre-Boomer (sebelum tahun 1945) yang hanya 1,87% (5,03 juta jiwa). Kondisi ini menghasilkan banyak keragaman berpikir dan pengalaman, khususnya bagi generasi pasca boomer yang akan mewarisi tanggung jawab atas harapan hidup budaya bangsa.
Dalam laporan Badan Pusat Statistik (2021) lain yang bertajuk “Statistik Sosial Budaya 2021”, diketahui bahwa Indonesia memiliki 1.340 suku dan 2.500 bahasa, dengan keberagaman agama dan kepercayaan serta kekayaan warisan adat istiadat. Bahkan, Fransesco Bandarin selaku Asisten Dirjen UNESCO Bidang Budaya menyebutkan “Indonesia adalah negara super power di bidang budaya” pada sidang UNESCO ke-39 di Paris tahun 2017. Dikutip dari laman Indonesia.go.id (2018) komposisi penduduk Indonesia bila dilihat dari kelompok suku bangsa, yang juga turut mengutip dari hasil Sensus Penduduk 2010, menunjukkan bahwa Suku Jawa di Pulau Jawa menjadi kelompok suku terbesar dengan populasi sebanyak 85,2 juta jiwa atau 40,2% dari populasi penduduk Indonesia, yang kini bertambah secara signifikan. Untuk sebutan Suku Jawa ini sudah meliputi Suku Osing, Tengger, Samin, Bawean atau Boyan, Naga, Nagaring dan suku-suku lainnya. Suku bangsa terbesar kedua adalah Suku Sunda dari Pulau Jawa bagian barat dengan jumlah mencapai 36,7 juta jiwa atau 15,5%, lalu ketiga Suku Batak dari Pulau Sumatra bagian tengah utara dengan populasi 8,5 juta jiwa atau 3,6%, keempat ialah suku-suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo yang merupakan gabungan dari 208 jenis suku bangsa Sulawesi, dan kelima ialah Suku Madura yang berasal dari Pulau Madura di sebelah timur utara Pulau Jawa dengan total 7,18 juta jiwa atau sekitar 3,03%.
Dalam ranah keyakinan yang dianut, yang juga dijelaskan pada laman Indonesia.go.id (2018), agama Islam menjadi penganut terbanyak di Indonesia dengan total mencapai 207,2 juta jiwa atau 87,18%, disusul agama Kristen sebesar 16,5 juta jiwa atau 6,96%, Katolik 6,9 juta jiwa atau 2,91%, kemudian agama Hindu 4,01 juta jiwa atau 1,69%, kelima adalah agama Buddha sebesar 1,7 juta jiwa atau 0,72%, dan keenam Khong Hu Cu dengan total pemeluk sebesar 127,1 ribu jiwa atau 0,05%. Ini belum termasuk kearifan lokal yang turut mewarnai keberagaman dalam keyakinan di Indonesia, bahkan sebelum agama-agama yang telah disebutkan di atas, masuk ke Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, keberagaman semacam ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, bahkan konstitusi dengan jelas mengamanatkan kepada negara untuk menjamin bahwa warisan budaya bangsa dari berbagai kebudayaan untuk tetap hidup, baik secara falsafah maupun praktik kemasyarakatan, sejauh budaya yang secara positif turut membangun negara. Hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Dengan legalitas yuridis yang sangat kuat, maka ini menandaskan dan memfinalisasi bahwa budaya adalah tanggung jawab negara, umumnya masyarakat, sekaligus menjadi penanda bahwa ia turut bertanggung jawab atas keberagaman yang kaya di dalamnya sekaligus mempertahankan dan mengembangkannya dalam bingkai persatuan. Dengan begitu, tidak ada satu alasan pun yang dapat dibenarkan apabila memandang keberagaman sebagai suatu beban yang harus dilenyapkan menjadi homogenitas, justru di situlah tantangan bagi negara dan masyarakat dalam merajut keberagaman ini menjadi sebuah kekuatan dengan tetap mempertahankan identitasnya.
Bhinneka Tunggal Ika, semboyan negara, bukanlah omong kosong semboyan semata, namun perlu dimaknai secara filosofis dan praktis. Hal ini memberikan pemahaman bahwa heterogenitas adalah keniscayaan yang mestinya tidak perlu dipaksakan untuk menjadi sebuah kebudayaan tunggal yang universal, melainkan sesuatu yang melekat sebagai identitas bangsa, kepribadian bangsa yang semuanya memiliki nilai dan keluhurannya masing-masing dengan mengedepankan prinsip persatuan sesuai amanah sila ketiga Pancasila. Maka dari itu, konsep persatuan menjadi penting untuk diwujudkan, dan sebagai aktor pemersatu tersebut, faktor-faktor yang meliputi pembangunan rasa persatuan dan kesatuan ini mestilah dipahami dengan lebih komprehensif dan utuh.
Persatuan adalah Kekuatan Kesatuan Peradaban
Pada suatu kesempatan, Soepomo pernah berujar dalam pidatonya di sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 31 Mei 1945:
”Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lainnya dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Terpenting dalam negara berdasarkan alam pikiran integral adalah penghidupan bangsa seluruhnya”.
Konsep tokoh penggagas dasar negara ini seolah ingin memberikan petunjuk bagi berdirinya bangsa Indonesia bahwa negara sebesar ini mestilah diwujudkan ke dalam bentuk satu kesatuan, yang menjadikan prinsip kekeluargaan sebagai fondasi dalam persatuannya. Pemikirannya yang konon terinspirasi dari tokoh besar seperti filsuf Spinoza, Adam Muller, dan Hegel, menempatkan integralistik ke dalam posisi yang krusial karena harus berhadapan dengan konsep federalisme ala Bung Hatta dan kesatuan versi Soekarno. Walaupun pada akhirnya, prinsip integralistik Soepomo tidak sepenuhnya digunakan, karena dinilai “tidak cukup mengindahkan” penegakan hak asasi individu dan cenderung mengedepankan negara sebagai kekuatan utama. Konsep integralistik ini pun perlahan dipertemukan dengan Keindonesiaan, apalagi pemikiran murid van Vollenhoven ini memiliki kecenderungan fasisme yang sangat ditentang para pendiri bangsa sebagai akibat dari kolonialisme Jepang di Indonesia. Meskipun begitu, pemikiran besar nan berharga ini, yang dibuat ketika bangsa Indonesia sedang terdesak oleh waktu untuk mewujudkan dasar negara, konstitusi, dan pemerintahan pada sidang BPUPKI, tidak bisa diabaikan dan hilang begitu saja.
Maka dari itu, sejarah persatuan tidak bisa dilepaskan dari historikal berdirinya bangsa Indonesia. Memulai dengan hal ini, Djawamaku (2023) menegaskan sejarah panjang bangsa ini dalam membentuk persatuan, yaitu di mana lahirnya kesadaran bahwa persatuan di antara organisasi-organisasi, Radicale Concentratie Baru yang adalah gabungan kerja sama di antara organisasi pergerakan berhaluan nasionalis, sosialis, dan komunis, merupakan alat perjuangan yang lebih efektif, telah mendorong terjadinya proses kebhinnekaan menuju ketunggalikaan demi tercapai cita-cita kemerdekaan bangsa. Peristiwa puncak dari semua rasa persatuan ini kemudian akan dipertemukan dalam Kongres Pemuda II 1928 yang nanti akan dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Hal ini menjelaskan bahwa sejarah persatuan dan kesatuan bangsa bukan sekadar politis namun historis yang masih terus berproses hingga kini.
Peristiwa bersejarah semacam itu, tentunya tidak lahir begitu saja, terlebih ruang-ruang publik yang politis semacam itu akan menjadi ancaman bagi kemapanan kolonialisme di Indonesia saat itu. Karena itulah, kehendak dalam persatuan perlu ditopang oleh faktor-faktor yang tumbuh dalam diri manusia. Menurut Koesnoe (1979), keyakinan bahwa persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya, yakni: kemauan, sejarah, hukum adat serta pendidikan dan kepanduan. Coba kita resapi, bagaimana para pendiri bangsa rela untuk mencoret bagian kalimat “...dengan kewajiban menjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya...” dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak lain adalah demi persatuan dan kesatuan. Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945, Bung Hatta (Yamin, 1971) berujar:
’’Oleh karena hasrat kita semua jalah menjatakan bangsa Indonesia seluruhnja, supaja dalam masa jang genting ini kita mewudjudkan persatuan jang bulat, maka pasal-pasal jang bertentangan dikeluarkan dari Undang-Undang Dasar. ... Inilah perubahan jang maha penting menjatukan segala bangsa.”
Bolehlah kita gambarkan bahwa keadaan yang genting itu menjadi sebuah keharusan untuk menggalang kekuatan pada saat itu. Terlebih, saat ini persatuan justru amat diperlukan dalam menghadapi tantangan integrasi bangsa yang semakin hari kian memprihatinkan. Sehingga, tepatlah apa yang diungkapkan oleh Djawamaku (2023), bahwa pada tataran kenegaraan, secara formal pembangunan persatuan dan kesatuan kebangsaan relatif telah terbaku, walaupun tetap menjadi persoalan di dalam gerak pelaksanaannya. Filosofi yang mumpuni, terbakukan pula dalam konstitusi, namun persoalan praktiklah yang menjadi persoalan penting hari ini.
Maka, demi mewujudkan persatuan dan kesatuan, sebuah rencana jangka panjang mestilah hadir. Pada tahap lebih lanjut, persatuan perlu diwujudkan dengan membangun dua pilar utama penopang yaitu persatuan dalam kultural dan struktural. Kulturnya adalah persatuan, yaitu jiwa, semangat, dinamika inti, yang membuat semua orang, semua golongan warga negara Indonesia merasa terikat sebagai satu bangsa, sedangkan strukturnya adalah kesatuan, yaitu wadah yang memungkinkan jiwa, semangat dan dinamika inti dari konsep kebangsaan itu berfungsi secara utuh, sepenuhnya (Djawamaku, 2023). Dengan posisi seperti ini, hal yang tidak wajar, bahkan keliru, bila masyarakat Indonesia menolak dua pilar tersebut yang notabene adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Guna melancarkan misi menghidupkan persatuan dalam keberagaman, salah satu dimensi yang benar-benar diperlukan hari ini adalah pendidikan. Bagaimana pun, Pancasila tidak bisa begitu saja datang ke pemikiran semua orang, apalagi mesti mendalami dan mempraktikkannya dalam tataran yang lebih mendalam (esensial). Dalam sebuah artikel berjudul “Kompas Pendidikan”, yang dikutip dari laman Kompas.id (2022), Doni Koesoema mengungkapkan bahwa pendidikan bertujuan melahirkan manusia Indonesia yang mencintai bangsanya, sekaligus mampu terlibat dalam percaturan global karena kecerdasan, dan komitmennya pada kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. Untuk semua itu, pendidikan adalah jawaban yang paling realistis, sekalipun terkadang institusi pendidikan tidak mendapatkan ruang serius untuk setiap evaluasi berbenah. Akademik-akademik dan tuntutan kompetensi kerap menjadi persoalan yang lebih penting daripada membangun manusia agar menjadi seutuhnya manusia yang berbudaya. Bahkan, mungkin seorang siswa akan lebih khawatir ketika ujian akhir sekolahnya terpuruk daripada khawatir bahwa ia tidak bisa membangun relasi dan kerja sama yang baik. Pola-pola semacam ini memang sulit, namun bukankah ini tanggung jawab institusi pendidikan dan negara. Bahkan, orang tua pun sejatinya ikut terseret dalam kasus ini, karena ia pun merupakan pendidikan paling utama dan awal. Lalu, kenapa beberapa pelajar kita berubah menjadi begundal yang berulah di jalanan, tawuran, narkoba, dan lain sebagainya. Kita bisa mencurigai orang tua, lingkungan, sekolah, negara, bahkan ekosistem hidup sekalipun. Padahal, mewujudkan persatuan diperlukan keserasian, keharmonisan, dan kesadaran. Persatuan diartikan sebagai bersatunya keberagaman/perbedaan menjadi sebuah keserasian (Syarbaini, 2010).
Persoalan lainnya dalam institusi pendidikan Indonesia adalah ketiadaan pembelajaran yang lebih heterogen berbasis multikulturalisme. Kita pernah merasakan, bagaimana selama 12 tahun menempuh pendidikan di Indonesia dan kita hanya mempelajari satu pelajaran agama saja, tanpa kita mengenal keberagaman berkeyakinan di luar mata pelajaran agama utama. Alhasil, sikap mr. so you know kerap memenuhi kolom komentar warga net di media sosial. Salah-salah, tingkah seperti ini akan dipandang sebagai bentuk peremehan dan perendahan atau mempertanyakan prinsip kesucian yang sifatnya belief, bukan ilmiah yang berpotensi tergantikan. Padahal, interaksi dan pengetahuan akan mendorong kesadaran dan kepekaan seseorang dalam melihat dunia yang lebih heterogen dan sangat luas. Definisi “dunia tidak selebar daun kelor”, mestinya ada dalam prinsip pendidikan Indonesia, yang katanya mesti memanusiakan manusia. Karena persatuan dicirikan oleh kesetaraan, untuk mewujudkan cita-cita persatuan di tengah keragaman diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk melihat sesuatu yang berbeda (Minarso & Najicha, 2022). Maka, pendidikan sebagai tempat mengeksplorasi sosial, turut berdampak besar pada meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam menerima keberagaman. Bila itu berhasil, maka beban negara dalam mewujudkan persatuan akan berkurang.
Bahkan, bila perlu, pendidikan multikulturalisme ini harus diprogram sejak dini dengan tentunya guru yang bisa menjaga komitmen tersebut. Dalam sebuah riset yang ditulis oleh Hamid, dkk., (2021) berjudul “Implementasi Nilai Persatuan dan Kesatuan Bangsa dengan Model Pembelajaran Role Playing di Sekolah Dasar”, diketahui bahwa sebanyak 80% responden yang disurvei menyebutkan bahwa penerapan nilai persatuan dan kesatuan mesti diwujudkan di SD, dengan jenjang kelas satu menjadi prioritas utama. Penanaman nilai persatuan dan kesatuan pun harusnya memang dipupuk sejak dini, dan sekolah sebagai suplemen. Keluargalah yang menjadi garda terdepan dalam membentuk manusia Indonesia yang berbudaya. Oleh karena itu, suatu dosa besar untuk menunjukkan ketidakharmonisan kehidupan rumah tangga orang dewasa di hadapan seorang anak yang polos. Itu sama saja akan menginvestasikan sikap intoleran dan penyempitan cara pandang anak terhadap dunia. Tidak salah bila saya mengabarkan bahwa pilar pendidikan dimulai dari keluarga, lingkungan, sekolah, negara, dan ekosistem sangat penting.
Suatu hal yang mubazir bila Bhinneka Tunggal Ika hanya sebatas slogan kosong di atas buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila, yang setiap ujian akan pasti masuk ke dalam kanal soal. Iklim bineka pun kadang tidak benar-benar dihidupkan. Ingat tentang pembahasan pembelajaran agama yang itu melulu di atas, salah satu bukti bahwa bineka tidak benar-benar dihadirkan dalam institusi pendidikan. Bagaimana mau mengenal dan memahami setiap perbedaan tanpa mengetahui satu pun apa yang dibicarakan. Itu adalah realitas yang kita hadapi. Terkadang kita latah menghadapi persoalan semacam itu, bertindak sok-sokan dalam ketidaktahuan, dan akhirnya konflik yang tidak bernada positif sama sekali. Misalnya, pertanyaan provokatif terhadap bentuk keyakinan dalam ajaran agama lain dari yang dianutnya. Itu adalah problematis masyarakat kita hari ini yang cukup sakit, sedangkan di saat yang bersamaan kita dinobatkan sebagai masyarakat paling ramah. Saya hanya akan mengatakan, “Semoga para surveyor dan peneliti tidak membuat akun anonim dan mencoba mengompori masyarakat Indonesia dengan pertanyaan provokatif keagamaan.”
Saya cukup senang dengan komunitas sosial yang mencoba menghidupkan kembali nuansa keberagaman dalam kebinekaan. Pergelaran, diskusi, bincang-bincang sehat, dan pola keharmonisan lain yang coba ditunjukkan dalam rangka merajut keberagaman, memang diperlukan hari ini atau setidaknya media sosial kita memang cukup berkualitas untuk menghidupkan nuansa itu. Sehingga, kebinekaan dan Pancasila benar-benar menjalankan kedudukannya sebagai pedoman hidup bangsa, menempatkannya ke dalam nilai praksis yang lebih nyata dan berperan.
Simpulan
Pada akhirnya, kita menyadari bahwa persatuan bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, namun ia dibentuk. Itulah mengapa, sejarah persatuan dan kesatuan kita tidak boleh dipandang secara legalitas atau periodik semata, namun sebagai sebuah proses yang terus berjalan hingga kini. Guna semakin terarah untuk diwujudkan, pendidikan menjadi dimensi penting yang mesti dihidupkan agar terwujudnya manusia Indonesia yang siap menerima perbedaan. Tanpa mengurangi rasa hormat, pendidikan Indonesia, terutama dalam penanaman nilai-nilai kebinekaan dan Pancasila, perlu ditatar dan dipertanggungjawabkan tidak hanya secara teori-teori akademis, namun juga praktik. Tapi, meskipun institusi pendidikan mendapatkan beban semacam itu, tetap saja, semua pilar mesti andil dalam mewujudkan persatuan dalam keberagaman, mulai dari tingkat keluarga hingga negara. Dengan kerja sama seluruh pihak, diharapkan keberagaman dapat terajut di dalam bingkai persatuan dan menjadi sebuah identitas bangsa yang kuat dan matang serta utuh.