MAHASISWA BERSUARA: Pemilu 2024, Pemilih Pemula Harus Apa?
Suara anak muda bukan hanya jumlahnya saja yang perlu diperhitungkan oleh para peserta pemilu, tetapi aspirasinya juga perlu didengar.
Emily Anugrah Putri Putranto
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
1 Februari 2024
BandungBergerak.id – Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) pada tahun 2024. Pemilu tersebut diprediksi akan menjadi yang terbesar di dunia pada tahun 2024 karena diikuti oleh 3 pasang calon presiden dan wakil presiden, 9.919 calon anggota legislatif, 17 partai politik nasional, serta 6 partai politik lokal Aceh yang telah lolos seleksi peserta pemilu dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun depan akan diadakan di 37 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten. Jumlah pemilih aktif dalam pemilu tahun depan pun mencapai 74% dari jumlah total warga negara Indonesia (WNI). Jumlah tersebut terdiri atas 200 juta WNI yang berdomisili di dalam negeri dan 1,75 juta WNI yang tinggal di luar negeri (diaspora).
Hal yang menarik adalah sebagian besar dari komposisi pemilih aktif dalam pemilu kali ini diisi oleh generasi milenial di mana hal tersebut merupakan momentum pertama sepanjang sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Generasi muda yang menjadi pemilih aktif berjumlah 114 juta orang dan terbagi menjadi dua, yaitu 68 juta orang lahir pada awal tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an, sedangkan 46 juta orang lainnya lahir pada pertengahan tahun 1990-an hingga tahun 2007 (generasi Z). Oleh sebab itu, para calon peserta pemilu dan partai politik pendukungnya memanfaatkan media sosial untuk menggaet suara kaum muda. Di sisi lain, anak muda Indonesia dikenal apatis terhadap politik dalam negeri, tetapi pilihan politik mereka tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh generasi muda, khususnya pemilih pemula sebagai penentu masa depan bangsa dalam 5 tahun ke depan?
Baca Juga: Menjelang Pemilu 2024, Pemilih Muda Bersuara
Alat Peraga Kampanye Pemilu 2024 di Bandung Dipaku di Pohon, Melanggar Etika, Estetika, dan Membahayakan Orang
Pemberitaan Pemilu 2024 Dominan yang Remeh Temeh
Pentingnya Suara Anak Muda
Generasi milenial berjumlah 56% dari total pemilih aktif dalam pemilu mendatang. Selain itu, generasi muda memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat dan memperjuangkan pendapat pribadinya mengenai suatu hal melalui media sosial. Hal-hal yang paling sering didiskusikan oleh kaum muda belakangan ini adalah para pasangan calon presiden dan wakil presiden, hak asasi manusia (HAM) seiring dengan meletusnya perang antara Israel dan Palestina, masalah lingkungan, dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila mayoritas anak muda memilih satu pasang calon tertentu, kemungkinan besar masyarakat juga akan beralih memilih pasangan calon tersebut. Lalu, pemuda adalah tonggak kelanjutan negara karena pemuda adalah subjek pemerintahan di negara demokrasi, bukan objek pemerintahan seperti di negara monarki dan negara komunis. Oleh sebab itu, semakin tinggi partisipasi generasi milenial dalam aktivitas politik, semakin tinggi pula kualitas demokrasi suatu negara.
Kita pun tahu bahwa Indonesia sedang mengalami bonus demografi di mana puncaknya adalah tahun 2045. Jika pemimpin yang terpilih nanti tidak dapat mengakomodasi kebutuhan generasi muda, bonus demografi hanya akan berubah menjadi kesia-siaan belaka. Maka, seharusnya kaum muda memilih pemimpin yang juga menyuarakan isu pengembangan sumber daya manusia sebagai salah satu upaya untuk menghadapi bonus demografi.
Sayangnya, generasi yang lebih tua menganggap bahwa kaum muda, khususnya generasi Z kurang berpengalaman di dunia politik sehingga hanya “sok tahu” mengenai situasi politik dalam negeri. Ditambah lagi, anak-anak muda yang sedang belajar ataupun bekerja di negara lain kurang tertarik untuk mengikuti perkembangan politik Indonesia, termasuk pemilu dan pilkada serentak pada tahun 2024. Menurut mereka, politik Indonesia semakin menyedihkan karena berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, politik identitas, dan politik dinasti kembali bermunculan menjelang pesta demokrasi diselenggarakan.
Potensi Penyalahgunaan dan Salah Guna Hak Pilih
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kampanye di sekolah dan perguruan tinggi memperbolehkan calon peserta pemilu untuk melakukan kampanye di institusi pendidikan, tetapi tanpa atribut politik dan harus mengantongi izin dari sekolah atau perguruan tinggi tersebut. Hal ini semakin mempermudah para calon untuk meraih suara pemilih pemula. Akan tetapi, beberapa pengamat pendidikan menyesali peraturan tersebut karena lembaga pendidikan dapat berubah menjadi “tempat kampanye” secara perlahan-lahan.
Tenaga pendidik pun dapat terpancing untuk menunjukkan dukungannya terhadap calon tertentu saat kegiatan pembelajaran, sedangkan seharusnya dukungan terhadap para calon hanya disampaikan di bilik suara. Kemudian, potensi penyalahgunaan hak pilih para pemuda dapat meningkat. Sebab, para pemuda bisa mengubah pilihannya dengan mudah setelah mendengarkan sebuah pidato maupun kuliah umum dari para calon peserta pemilu, padahal banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mantap memilih seseorang untuk menjadi pemimpin berikutnya.
Selain itu, generasi milenial harus waspada terhadap bias berita yang beredar secara luas di luar sana karena beberapa stasiun televisi dan media massa cenderung lebih banyak menyampaikan informasi mengenai calon tertentu. Bila generasi muda tidak cermat dalam menyimak berita yang diperoleh, tanpa sadar hal ini memberikan kesempatan kepada para calon untuk mempengaruhi pilihan kaum muda. Di sisi lain, “asal pilih” juga bisa terjadi karena rendahnya minat anak muda untuk terlibat dalam aktivitas politik sehingga pilihan politik mereka hanya mengikuti pilihan orang-orang di sekitarnya. Tidak jarang para pemuda memilih seorang calon dengan alasan kedua orang tuanya juga memilih calon tersebut. Bahkan ada yang sekadar mengikuti temannya. Jika 1 dari 10 anak muda bersikap seperti itu, tentu saja pemimpin yang terpilih nantinya bukan benar-benar pilihan hati rakyat dan mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Strategi Bagi Pemilih Pemula
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pemilih pemula di antaranya adalah memastikan bahwa dirinya sudah terdaftar sebagai pemilih tetap. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengunjungi laman daftar pemilih tetap (DPT) yang telah dirilis oleh KPU atau mengunjungi kelurahan tempat tinggal asal. Apabila belum terdaftar, calon pemilih perlu melaporkan diri ke KPU agar namanya dimasukkan ke dalam daftar pemilih hasil perbaikan (DPTHP). Kedua, pemilih pemula harus mencari tahu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih menjelang hari pemungutan suara, yaitu memiliki KTP elektronik (e-KTP), bukan anggota TNI maupun Polri, hak pilihnya sedang tidak dicabut, tidak memiliki gangguan jiwa, dan lain-lain. Ketiga, pemilih pemula disarankan untuk memperbaharui informasi mengenai pemilu secara rutin. Informasi tersebut dapat diperoleh pada seluruh akun media sosial resmi milik KPU, seperti Facebook, Twitter, Instagram, ataupun YouTube.
Keempat, sangat baik apabila pemilih pemula aktif menggali rekam jejak para calon peserta pemilu dan pilkada. Apalagi hal tersebut bisa dilakukan dengan sangat mudah di zaman sekarang karena kehadiran internet. Umumnya, para calon mengunggah foto atau video yang berisi visi dan misi, serta program mereka melalui postingan di akun media sosial pribadi dan tim pemenangannya. Pemilih pemula juga dapat menyaksikan debat antar calon peserta pemilu yang disiarkan secara langsung, baik yang diadakan oleh KPU, maupun institusi lainnya. Terakhir, jangan golongan putih (golput). Istilah golput sendiri berasal dari Bahasa Inggris, yaitu abstain. Secara sederhana, golput adalah sikap politik untuk tidak memilih atau mencoblos siapa pun pada saat pemilu. Sebagai warga negara yang taat kepada pemerintah dan sadar betapa berharganya suara yang dimiliki, sudah seharusnya kita tidak golput dan mengajak orang lain untuk tidak golput juga.
Suara anak muda bukan hanya jumlah yang perlu diperhitungkan oleh para calon, tetapi aspirasinya juga perlu didengar dan disalurkan melalui program-program yang akan dilaksanakan jika terpilih nanti. “Marketing politik”-nya pun harus diubah menjadi ramah terhadap generasi milenial. Sebab, generasi muda tidak lagi tertarik dengan jargon-jargon yang mengatakan bahwa calon tersebut anti korupsi dan akan menyejahterakan rakyat. Saat ini, kaum muda jauh lebih cerdas dengan menilai para calon dari karier politiknya. Oleh karena itu, rekam jejak sangat krusial bagi para calon. Namun, idealisme yang dimiliki oleh anak muda, khususnya pemilih pemula jangan sampai membuat diri sendiri enggan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemilu mendatang. Justru sebaliknya, setelah melihat kondisi politik dalam negeri sekarang, sudah selayaknya pemuda semakin antusias untuk ikut menyukseskan pesta demokrasi tahun 2024 demi Indonesia yang lebih baik.