• Berita
  • Memetakan Peran Orang Muda Melawan Disinformasi dan Hoaks Pemilu 2024

Memetakan Peran Orang Muda Melawan Disinformasi dan Hoaks Pemilu 2024

Sensus demografi Indonesia mencatat generasi muda atau Gen Z berada di puncak populasi. Mereka menjadi sasaran empuk bagi para calon kandidat Pemilu 2024.

Sesi foto bersama seusai acara A.E. Priyono Democracy Forum 7, Selasa, 30 Januari 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah4 Februari 2024


BandungBergerak.id - Meningkatnya perkembangan teknologi digital berpotensi besar menghasilkan gelembung disinformasi dan informasi hoaks terkait Pemilu 2024. Lalu, bagaimanakah orang muda menyikapi hal tersebut? Pertanyaan ini diurai di dalam “A.E. Priyono Democracy Forum 7: Orang Muda dalam Melawan Disinformasi Pemilu 2024” di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Bekerjasama dengan Gender Research Student Center (GREAT UPI) dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, forum ini mendiskusikan bagaimana orang muda yang populasinya terbanyak di Indonesia menghadapi serbuan disinformasi terkait Pemilu 2024.

Diselenggarakan langsung di Auditorium LPPM lantai 3 dan dipimpin oleh Nida Nurhamidah, forum diskusi itu turut dihadiri oleh August Mellaz (Komisioner, KPU RI), Bentang Febriylian (Periksa Fakta Senior, MAFINDO), Lasma Natalia H. P. (Direktur LBH Bandung), dan Karim Suryadi (Guru Besar Komunikasi Politik, UPI).

Sebagai perwakilan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), August Mellaz mengatakan bahwa tidak dapat dipungkiri salah satu tantangan menghadapi pemilu ini adalah kemajuan teknologi yang akan menimbulkan adanya indikasi disinformasi atau hoaks. KPU juga telah menyiapkan informasi secara valid terkait pemilu agar pemilih dapat memilah informasi mana yang benar ataupun salah.

Selain itu, KPU juga melakukan kerja sama bersama Kominfo. Berdasarkan hasil data yang sudah dikumpulkan, August mengatakan tahun 2024 terjadi adanya penurunan informasi-informasi hoaks jika dibandingkan pada tahun 2019.

August menyampaikan, banyak KPU tingkat provinsi yang bekerja sama dengan lembaga riset maupun perguruan tinggi untuk memotret peran anak muda dalam memerangi misinformasi, disinformasi, serta hoaks terkait Pemilu 2024.

“Komunitas-komunitas anak muda ternyata justru sesuatu yang membuat kita lebih optimis dalam pemilu 2024 ini. Justru bisa berkontribusi dalam memerangi potensi-potensi misinformasi, disinformasi, ataupun hoaks yang dikhawatirkan muncul di tahun 2024,” jelas Komisioner KPU RI tersebut yang hadir secara daring.

August menyinggung penyaringan informasi yang biasanya dilakukan oleh anak muda. Seperti pengecekan fakta dengan mencari informasi resmi dari badan otoritatif KPU atau bahkan dengan menunggu informasi resmi tersiar ke berbagai media. August juga mengatakan ruang lingkup pertemanan dan keluarga mempengaruhi anak muda dalam mendapatkan informasi dan keputusan memilih.

“Jadi, informasi ini sudah kami potret dan mitigasi sejak kurang lebih satu tahun lalu. Dan itu kemudian pengembangannya juga makin ke sini makin membaik,” ujar August.

Bentang Febrylian selaku Senior Cek Fakta Mafindo atau Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, sebuah lembaga yang memiliki fokus untuk memberantas informasi hoaks, tidak menyangkal bahwa memasuki tahun politik atau pemilu berpotensi menimbulkan hoaks.

“Jadi memang tidak dipungkiri bahwasanya menjelang tahun pemilu saat ini, itu hoaks-hoaks yang kami temukan sangat-sangat, tidak bisa dikatakan masif juga. Tapi, tidak bisa dapat dikatakan sedikit juga,” jelas Bentang.

Bentang menyampaikan, dari tahun 2022 informasi hoaks mengenai Pemilu 2024 sudah mulai muncul. Ada sekitar 64 hoaks yang ditemukan. Minimnya temuan pada tahun itu dikarenakan adanya transisi hoaks dari Covid-19 ke Pemilu 2024. Di tahun 2023 mulai terjadi peningkatan jumlah hoaks mencapai sekitar 600 kasus terkait Pemilu 2024.

Bentang berkata, pekerjaan mengcek hoax dengan berbagai tema yang dilakukan Mafindo tidak dapat tercapai jika tidak adanya relawan dari anak muda. Ia menekankan, anak muda memiliki peran yang sangat penting dalam menghalau disinformasi terkait Pemilu 2024.

“Harapannya sih, para generasi muda itu bisa menjadi garda terdepan untuk membuat lingkungan online ini bisa jadi lebih baik lagi sih kedepannya,” ujar Bentang.

Sesi diskusi A.E. Priyono Democracy Forum 7 di Auditorium LPPM lantai 3, UPI, Selasa, 30 Januari 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)
Sesi diskusi A.E. Priyono Democracy Forum 7 di Auditorium LPPM lantai 3, UPI, Selasa, 30 Januari 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Akses Informasi Secara Inklusif

Direktur LBH Bandung Lasma Natalia menyoroti peran perempuan dan kelompok rentan dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Keterlibatan perempuan dalam parlemen yang hanya disediakan 30 persen kursi. Padahal peran dan keterlibatan perempuan tidak diukur dari hal tersebut. Perempuan dan kelompok rentan memiliki peran besar dalam penyadaran bahwa politik tidak hanya pemilu 5 tahun sekali, melaikan sebuah proses yang bersifat jangka panjang.

“Jadi, melibatkan perempuan dan kelompok rentan tidak hanya sebagai objek tetapi subjek dari politik itu sendiri,” jelas Lasma, yang melihat fenomena perempuan dan kelompok rentan hanya dijadikan sebagai objek dalam pelaksanaan politik dan pemilu.

Semua hal ini dapat ditepis jika kita dapat mengetahui konteks atau hal paling mendasar dan dibutuhkan oleh perempuan serta kelompok rentan lainnya, yaitu akses informasi dan pendidikan politik yang seharusnya merata dan inklusif.

“Ketika akses pendidikan, akses literasi media digital, itu tidak tersedia untuk perempuan dan kelompok rentan yang sebenarnya dari awal kita jangan-jangan gak pernah melibatkan perempuan dan kelompok rentan. Kelompok rentan termasuk kawan-kawan disabilitas,” ujar Lasma.

Baca Juga: Refleksi Kemunduran Negara di Segala Bidang, Catatan untuk Pilpres 2024
Debat Cawapres Pilpres 2024 Kurang Solutif dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan Indonesia
Pilpres 2024 Membutuhkan Orang-orang Muda yang Mewaspadai Politisasi Identitas

Bahaya Penyalahgunaan AI

Tim Mafindo menemukan sebuah rekaman suara salah satu capres di tiktok. Ketika dicek memakai tools, ternyata suara itu palsu. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kecanggihan teknologi membawa potensi yang lebih besar dalam penyalahgunaan Artificial Intelligence (AI). Menanggapi fenomena tersebut, Karim Suryadi memberikan sebuah contoh kasus terkait penyalahgunaan AI (dalam hal ini deepfake) yang terjadi di Slovakia.

“Sebenarnya misinformasi menjelang pemilu tidak seseram yang kita bayangkan atau kita pikirkan. Tetapi dampak tidak langsunya itu sebenarnya yang berbahaya,” ungkap Guru Besar Komunikasi Politik UPI.

Dari kasus tersebut, Karim menyampaikan meski video itu tidak benar, tetapi adanya jeda antara pengecekan fakta dan penyebaran video membuat orang sudah menetapkan kesan terhadap kandidat tersebut. Karena orang akan lebih tertarik untuk mempercayai apa yang pertama kali mereka lihat. Selain itu, peristiwa semacam ini tidak akan bisa dipulihkan dan akan membekas dalam ingatan masyarakat. Dampak lainnya adalah menurunnya kepercayaan terhadap otoritas atau lembaga-lembaga resmi.

“Yang saya takutkan adalah deepfakes. Karena (dengan) mata telanjang orang ahli sekalipun akan sulit membedakan,” tutur Karim.

Adapun solusi yang ditawarkan Karim, mengutip filsuf Hipocrates, bahwa setiap tindakan atau kebijakan jangan pernah merugikan. Karim menganjurkan untuk selalu meragukan informasi yang ada sebelum menemukan faktanya. 

“Yang paling penting adalah, yang pertama tahan telunjuk, cek fakta, dan sebarkan,” ujar Karim.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan lain dari Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel menarik lain tentang Pemilu 2024 dan Pilpres 2024

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//