MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #21: Tes Lagi di Nurtanio
Rangkaian tes di PT Nurtanio sudah memasuki tahap akhir. Perusahaan pesawat terbang itu memintaku untuk datang ke kantor dua pekan lagi.
Asmali
Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.
4 Februari 2024
BandungBergerak.id – Tidak sampai berminggu-minggu, aku dapat panggilan lagi dari PT Nurtanio di Bandung. Kali ini untuk mengikuti tes kembali untuk divisi fixed wing. Panggilan itu dikirim lewat surat dengan amplop tertutup berwarna kertas kopi. Aku bergumam dalam hati: Ya Allah, aku bahagia sekali dengan kesempatan kedua ini. Semoga kali ini tidak gagal lagi.
Selang beberapa hari kemudian, aku berangkat lagi ke Bandung untuk mengikuti tes. Alur tesnya kurang lebih sama dengan yang semula. Ada beberapa tes yang harus dijalani hingga harus berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Alhamdulillah-nya, selama aku menjalani tes, bolak balik dari Jakarta ke Bandung, aku tidak banyak merepotkan orang tuaku. Soalnya, aku punya uang dari hasil mengajar. Belum lagi pada setiap bulan Ramadhan banyak murid yang berzakat fitrah kepadaku berupa beras. Biasanya memang sebagian beras itu juga aku bagikan lagi kepada yang lebih membutuhkan. Demikian pesan ibuku.
Selang tiga minggu dari tes terakhirku di Nurtanio akhirnya ada pengumuman lagi. Kali ini aku cukup optimistis akan diterima. Soalnya ini adalah tahapan terakhir. Perusahaan memintaku untuk menghadap lagi ke Bandung dua pekan ke depan.
Tentu aku senang, meskipun aku juga memikirkan bagaimana Baba kalau aku pergi ke Bandung. Aku lihat kondisi kesehatan Baba sudah menurun. Meski begitu ia juga bahagia mendapat kabar aku dipanggil kembali. Menurut dia, usahaku bolak balik Jakarta-Bandung ini cukup berhasil. Bagiku, cita-citaku untuk keluar dari rumah dan merantau pun sepertinya akan terwujud. Semoga.
Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #18: Arti Sebuah Kegagalan
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #19: Dijodohkan
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #20: Baba Sakit
Beban Moral
Masa aku kerja serabutan dari mulai lulus STM hingga akhirnya aku bekerja di Nurtanio memang cukup lama. Sekitar satu tahun lebih. Jujur saja ada sedikit beban moral yang aku rasakan. Soalnya, sekolah di STM Penerbangan memang keinginanku tapi bertentangan dengan keinginan ayahku yang mau aku melanjutkan pendidikan agama. Makanya dengan kondisiku kemari aku khawatir mengecewakan orang tuaku. Aku takut dan malu kalau sampai aku tak dapat bekerja setelah lulus dari STM Penerbangan. Makanya, aku berusaha dan berdoa agar bisa bekerja.
Sepanjang bulan itu aku berusaha menghibur diri sambil berpikir bagaimana cara mendapatkan pekerjaan. Sejak zamanku dulu untuk mencari kerja memang sudah susah, tidak segampang yang dibayangkan. Kecuali kalau ada koneksi, ada yang membawa yang ramai disebut KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Tetapi kalau aku orangnya enggak bisa berhutang budi, inginnya dapat kerja atas usaha sendiri. Bukan apa, takut tak bisa membalasnya.
Aku ingin bekerja dari usaha sendiri, ingin menunjukkan dan menyenangkan orang tua. Walaupun orang tuaku terbilang orang ada, tapi aku sudah menunjukkan inilah hasil belajar dan usahaku.
Memang kita tidak bisa menutup suara sumbang. Ada saja orang yang beranggapan aku bisa dapat kerja karena bantuan ayahku. Padahal Bandung dan Jakarta itu cukup jauh, dan ayahku pun tidak ada kenalan di sana, begitu pun aku. Aku jadi seperti orang asing di sana. Tapi aku tidak mengasingkan diri, karena aku sudah punya bekal yaitu tekad dan keyakinan.
Dan tentu aku sangat senang kalau ikhtiarku di PT Nurtanio berbuah manis. Saat itu, perusahaan pesawat terbang ini sudah dikenal di dalam dan luar negeri sebagai perusahaan bergengsi. Siapa yang tidak bangga pada saat itu bisa kerja di sana?
Indonesia saat itu masih terdiri dari 27 provinsi dan anak bangsa dari provinsi-provinsi ini kumpul di sana. Aku bangga jika bisa ada di dalamnya ikut mengabdikan diri untuk ibu pertiwi. Melalui tes yang sangat panjang dengan usaha sendiri, aku persembahkan untuk kebanggaan kedua orang tua. Sehingga dalam pandangan mata tetangga pun derajat orang tuaku terangkat. Aku punya prinsip: anak bisa mengangkat derajat orang tua setinggi-tingginya, dan anak juga bisa merendahkan derajat orang tua serendah-rendahnya. Tinggal kita mau jadi anak yang seperti apa.