• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #37: Tahun Kesepuluh

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #37: Tahun Kesepuluh

Tahun 1933 menjadi tahun kesepuluh terbitnya Sipatahoenan. Pembaca koran berbahasa Sunda tersebut menyebar di seluruh Indonesia hingga mancanegara.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Jilid buku 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan. (Sumber: Perpusnas RI)

5 Februari 2024


BandungBergerak.id – Kekeliruan ulang tahun Sipatahoenan tanggal 20 April 1923 bisa jadi berawal dari penerbitan buku peringatan surat kabar tersebut pada tahun 1933, yaitu 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan. Kebetulan saya menemukan buku tersebut menyatu dalam pindaian koran Sipatahoenan edisi 21 April 1933 saat Rumah Baca Buku Sunda melakukan proyek pemindaian koran berbahasa Sunda itu beberapa tahun silam dari koleksi Perpustakaan Nasional RI. Bisa jadi dulu ketika terbit, pihak Sipatahoenan mengirimkannya di satukan dengan edisi 21 April 1933.

Padahal seharusnya edisi pertama Sipatahoenan diterbitkan pada 1 Juli 1924, sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Atmadja (Sipatahoenan, 7 November 1931). Katanya, “Dinten Salasa ping 1 Juli 1924, Sipatahoenan ngawitan koematjatjang di alam pawenangan. Nja mokaha ti ditoe ti dieu sami roemodjong, sami ngintoenkeun tawis moepakat. Sanadjan artos langganan henteu sabaraha angger dongkapna, nanging koe margi sadajana sasambian teu aja noe digadjih, asa aja keur meser parangko sareng ongkos njitak, nja parantos ngaraos bingah”.

Alhasil, buku 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan seharusnya dibaca sebagai tahun kesepuluh. Mengingat 1 Juli 1924-1 Juli 1925 sebagai tahun pertama, 1 Juli 1925-1 Juli 1926 tahun kedua dan seterusnya hingga tahun keempat. Antara 2 Januari-28 Desember 1929, diterbitkan dua kali seminggu, setiap Rabu dan Sabtu. Dampaknya tahun kelima hanya melingkupi edisi 3 Juli 1929 hingga 25 Desember 1929 dan sejak 2 Januari 1929 sudah terhitung tahun keenam. Kemudian sejak 2 Januari 1930, Sipatahoenan diterbitkan harian.

Pada halaman judul 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan tertulis kantor pusat (Hoofdkantoor) Sipatahoenan berada di Groote Postweg Oost 123, Bandoeng, Telp. Nos. 1520 & 1530. Di dalam buku setebal 24 halaman ini tersaji tulisan “Sipatahoenan 10 Taoen” (halaman 1-3); “Sipatahoenan Orgaan Pasoendan” karya D.K. Ardiwinata (hal. 3-6); “Soerat ti Voorzitter H.B. Pasoendan” Oto Iskandar di Nata (hal. 7); “Nepi ka 10 Taoen” karya Mochamad Enoch (hal. 10); “Pangeling-eling Sipatahoenan 10 Taoen” oleh Ahmad Atmadja (hal. 11); “Sipatahoenan minangka Pahlawan” oleh Idih Prawira di Poetra (hal. 14); “Soerat ti R.A.A. Wiranatakoesoema” (hal. 15); “Soerat dari Toean M.H. Thamrin” (hal. 17); “Pengharepan Ir. Soekarno” dan “Dari Redactie Soemanget” (hal. 18); “Soerat-kabar Partij atau Soerat-kabar merdeka?” tulisan Saeroen (hal. 19-20); “Soerat dari Bintang Timoer” (hal. 21); “Dari Redactie Oetoesan Indonesia” (hal. 22); “Soerat ti Djrg. Soetisna Sendjaja” (hal. 23) dan “Djawaban” (hal. 23-24); serta sajak berikat “Milangka Dasawarsih” (hal. 24).

Hampir setiap tulisan itu dihiasi dengan potret penulisnya, kecuali tulisan pertama, “Sipatahoenan 10 Taoen”. Potret-potret lainnya menghiasi halaman-halaman 5, 8, 9, 12, 13, 16, yang memperlihatkan Drukkerij Galoenggoeng yang mencetak Sipatahoenan, manajemen Sipatahoenan, kantor di Bandung, suasana di kantor, kantor pertama di Tasikmalaya, liputan Congres Indonesia Raya di Surabaya, dan para loper koran. Iklan-iklan juga dipasang di beberapa halaman, berdampingan atau berada di bawah artikel. Dua di antara iklan besar yang dipasang di sana adalah Bouwkundig Aanemer A. Anggabrata (Tjikaoweg-Bandoeng) dan perusahaan Autobus Mata-Hari.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #34: Rubrik Pagoejoeban Sagawe, Atikan, Pergerakan, dan Pakasaban
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #35: Mochamad Enoch, E. M. Dachlan, dan Niti Soemantri
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #36: Pojok Panganggoeran

Dibaca di Tatar Sunda hingga Mancanegara

Tulisan “Sipatahoenan 10 Taoen” berisi tinjauan sejarah perkembangan Sipatahoenan. Tulisan yang dibuat oleh redaksi itu dibagi menjadi beberapa bahasan yaitu “Boeboeka” (pembukaan), “Soerat kabar Soenda”, “Kaloearna Sipatahoenan” (terbitnya Sipatahoenan), “Saminggoe Doea Kali” (seminggu dua kali), “Sipatahoenan Djadi Dagblad” (Sipatahoenan menjadi harian), “Dipasrahkeun ka H.B. Pasoendan” (diserahkan ke Pengurus Besar Paguyuban Pasundan), “Pindah ka Bandoeng” (pindah ke Bandung), “Ditambah Lambaranana” (lembarannya bertambah), “Perhoeboengan djeung ANETA” (perhubungan dengan ANETA), “Delicten” (delik), “Doea Kali Dibeslag” (dua kali dibeslah), “Anggapan Oemoem”, dan “Panoetoep” (penutup).

Dalam “Boeboeka” dikatakan “Boengah taja geusan babandingan, noe diadjam ti baheula, noe dierong ti bareto, ajeuna kalaksanakeun bisa nembongkeun ka para mitra, jen soerat kabar Sipatahoenan oemoerna geus 10 taoen” (Kami sangat gembira bahwa niat yang sudah dikandung sejak lama sekarang dapat terlaksana menunjukkan kepada para mitra bahwa surat kabar Sipatahoenan Sipatahoenan sekarang sudah berusia sepuluh tahun).

Sementara yang tertulis pada paragraf kedua: “Ninggang dina moenasabahna pisan, minangka ngaboektikeun kaboengahan tea, ngaloearkeun ieu boekoe pangeling-eling. Ari koe angkanan mah hajang leuwih ti kieu, tapi lantaran dina oemoerna Sipatahoenan ninggang 10 taoen teh, kabeneran pisan oesoem tigerat noe sakieu bangetna, djadi bisana ngaloearkeun ieu boekoe pangeling-eling oge, ngan tamba teu aja teuing tandana bae” (Sebagai bukti kegembiraan itu pantas sekali menerbitkan buku peringatan ini. Tadinya maunya yang lebih dari ini, tapi karena saat Sipatahoenan berumur 10 tahun ini bersamaan waktunya dengan musim krisis yang demikian hebat, jadi hanya bisa menerbitkan buku peringatan ini, hanya sebagai penanda saja).

Bahasan selanjutnya berupa perkembangan Sipatahoenan itu sendiri, dari latar belakang penerbitan surat kabar Sunda sebelum Sipatahoenan, kemudian terbitnya Sipatahoenan (1 Juli 1924), Sipatahoenan diterbitkan seminggu dua kali (2 Januari hingga 28 Desember 1929), Sipatahoenan menjadi harian (sejak 2 Januari 1930), dan lain-lain.

Sebagai tambahan, yang menarik untuk dicatat, pada bahasan “Anggapan Oemoem” disebutkan persebaran Sipatahoenan tidak hanya di seantero Tatar Sunda, melainkan di seluruh Indonesia (“Sipatahoenan nerekab ka oenggal desa, mawoer ka oenggal lemboer. Lain ngan di sakoeliah Tanah Pasoendan bae, tapi meh di oenggal tempat sakoeliah Indonesia rea noe maratja Sipatahoenan”). Bahkan konon mencapai Tiongkok, Jepang, Mesir dan Eropa (“Nja kitoe deui ka Tiongkok, ka Japan, ka Mesir djeung ka Europa oge kasaba koe Sipatahoenan”).

Selain itu, para pembacanya bukan hanya orang Sunda atau bangsa Indonesia yang bisa berbahasa Sunda, melainkan bangsa Tionghoa dan Eropa pun banyak yang berlangganan (“Noe maratja Sipatahoenan teh lain ngan bangsa Soenda atawa bangsa Indonesier noe barisa basa Soenda bae, tapi kaitoeng rea bangsa Tionghoa djeung bangsa Europa noe ngalanggan”).

Menurut D.K. Ardiwinata, “Pribados ngabandoengan ka Sipatahoenan teh tina keur djadi weekblad keneh, toeloej nepi ka bisa kaloear doea kali dina saminggoe, ari ajeuna ti semet aja dina dampal pananganana djoeragan Bakrie Soeraatmadja nepi ka djadi dagblad. Sipatahoenan teh dagblad basa Soenda noe moenggaran pisan di tanah Pasoendan” (Saya memperhatikan Sipatahoenan dari sejak masih mingguan, kemudian terbit dua kali dalam seminggu, sekarang sejak ditangani Bakrie Soeraatmadja menjadi harian. Sipatahoenan adalah surat kabar harian bahasa Sunda yang pertama di Tatar Sunda). Ia juga membandingkan dengan berkala terbitan Paguyuban Pasundan di masa ketuanya D.K. Ardiwinata sendiri, yakni Papaes Nonoman, Sipatahoenan dan masyarakat Sunda sudah jauh lebih maju baik dari sisi bacaan maupun pergerakan umumnya.

D.K. Ardiwinata memuji rubrik-rubrik di Sipatahoenan, di antaranya “Leleson Dinten Minggoe” yang dianggapnya sebagai Arjuna yang baru saja diberi ermas; bila seorang istri cemberut lalu dibacakan tulisan rubrik “Panganggoeran” akan terlihat gembira, sebab memang ikatan bahasa Sundanya menimbulkan kelucuan; dan rubrik “Gentra Istri” banyak memuat artikel yang sarat akan pengetahuan yang bermanfaat bagi perempuan. Oleh karena itu, ia sebelumnya mengatakan “Geus katara pisan ajeuna oge basa Soenda noe aja dina Sipatahoenan teh lolobana geus basa Soenda enja” (Sekarang sudah nampak bahasa Sunda yang ada di dalam Sipatahoenan kebanyakannya sudah menggunakan bahasa Sunda yang sungguh-sungguh).

Ir. Soekarno dan Toenggono memberikan tanggapan atas peringatan Sipatahoenan menginjak sepuluh tahun. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))
Ir. Soekarno dan Toenggono memberikan tanggapan atas peringatan Sipatahoenan menginjak sepuluh tahun. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))

Tugas Berat Sipatahoenan

Kemudian Oto Iskandar di Nata sebagai Ketua Paguyuban Pasundan sekaligus penerbit Sipatahoenan menulis surat bertitimangsa Djakarta, April ’33. Di dalamnya ia menempatkan dirinya sebagai paman (“Mamang”), Sipatahoenan sebagai anak (“ingkang poetra”), dan Paguyuban Pasundan sebagai ibunya (“toeang iboe). Oto menyatakan enam tugas berat yang harus dipikul oleh Sipatahoenan (“ari kawadjiban awaking lain bantrak-bantrakkeun”).

Keenam tugas itu adalah “nangtajoengan anoe hengker” (melindungi yang lemah), “ngabasmi sagala ratjoen hiroep koemboeh” (membasmi segala racun kehidupan), “ngabdi ka kaadilan” (mengabdi kepada keadilan), “njaangan noe poek” (menerangi yang gelap), “ngoemoemkeun sagala kadjadian” (mengumumkan segala kejadian), “mantoe tinekanana kajakinan Iboe Andika nja eta Pagoejoeban Pasoendan tea” (membantu terlaksananya keyakinan ibumu yaitu Paguyuban Pasundan).

Dari keenam kewajiban tersebut, Oto menekankan poin keenam dengan menasihatkan kepada Sipatahoenan untuk memperhatikan perkataan ibunya yaitu Paguyuban Pasundan (“Kieu saoer iboe teh) yang menyatakan bahwa “Bangsa oerang boga hak moelja. Kamadjoean bangsa jakin bakal datang. Kawadjiban oerang; tarekah!” (Bangsa kita memiliki hak mulia. Kemajuan bangsa pasti akan datang. Kewajiban kita adalah berusaha). Ia barharap agar perkataan tersebut dijadikan pegangan oleh Sipatahoenan (“Pek oedjang, anak mamang, pake eta saoer iboe keur poko tjetjekelan loemampah hiroep”).

Moehamad Enoch yang dikatakan “Ex-Directeur Sipatahoenan moelai dari itoe soerat kabar dipindahkan dari Tasikmalaja ke Bandoeng” menyatakan saat menerima keputusan agar Sipatahoenan dari Tasikmalaya ke Bandung ia merasa khawatir dan enggan, sebab ia bukannya ahli penerbitan surat kabar. Namun, katanya, karena dikerjakan bersama-sama serta diperhatikan sungguh-sungguh, ternyata Sipatahoenan bisa maju, bahkan lebih maju daripada sebelum dipindahkan ke Bandung.

Sementara Ahmad Atmadja yang dikatakan “Sebagai Voorzitter dari Pasoendna tjabang Tasikmalaja, beliaulah jang diwadjibkan oleh conferentie Pasoendan oentoek menerbitkan Sipatahoenan” mengingat-ingat lagi kejadian-kejadian di balik sejarah Sipatahoenan. Kesan saat hendak menerbitkan koran itu enggan sekali. Ia terus dihinggapi pertanyaan apakah surat kabar itu bisa bertahan hingga tahun kedua. Ketika masuk ke tahun kedua, pertanyaan muncul lagi, apakah dapat bertahan hingga tahun ketiga dan seterusnya.

Dalam amatan Idih Prawira di Poetra yang menjadi pengacara dan penasihat hukum Sipatahoenan sejak menjadi harian (“Beliau ini mendjadi juridisch-adviseur kita semendjak soerat kabar ini menjadi dagblad”), Sipatahoenan adalah seorang pahlawan, ksatria, yang penuh rasa keadilan dan kemanusiaan. Dalam hal ini, Idih terjun membantu Sipatahoenan dengan bahan-bahan pertimbangan dan pembelaan di hadapan pengadilan bila diperlukan. Kemudidan kesannya, Sipatahoenan selalu membela rakyat kecil dengan jalan menjaga keperluan mereka sekaligus membangkitkan kesadarannya sebagai modal untuk mengejar kemerdekaan kita. Demikian pula dalam lapangan politik, Sipatahoenan bukan saja pahlawan bagi Paguyuban Pasundan melainkan dalam gerakan kemerdekaan Indonesia koran tersebut termasuk yang paling depan menyuarakannya.

Mantan bupati Bandung dan anggota Volksraad R.A.A. Wiranatakoesoema menilai Sipatahoenan tidak pandang bulu kala mengkritik orang yang menyusahkan kehidupan rakyat kecil, demikian pula Sipatahoenan memuji orang yang mengedepankan keperluan rakyat (“Noe pang panoedjoena djisim koering, eta Sipatahoenan teh koe tara pilih boeloe, tara pilih kasih dina njempadna djalma noe tara atawa kasalahan teu ngingetkeun sareng ngamokahakeun kaperloeanana djalma leutik, nja kitoe deui Sipatahoenan tara asa-asa moedji ka djalma noe geus ngaloearkeun djasa gede goena pakeun rajat”). Dan sama seperti Idih, Wiranatakoesoema menganggap Sipatahoenan adalah “noe djadi pahlawan oerang Soenda”.

Sipatahoenan Bersifat Nasionalis

Pengalaman dan pandangan M.H. Thamrin sangat menarik, karena ternyata ia sudah lima tahun membaca Sipatahoenan (“Sipatahoenan saja soedah batja dalam 5 tahoen dalem waktoe mana tjoekoep tempo agar mendapat kasempetan oentoek pendapatan saja”). Dalam pandangannya, “Dagblad Sipatahoenan bersipat nationalistisch, Ini benar. Aken tetapi seharoesnja tiap-tiap soerat kabar dari Indonesiers berdasar azas ini” dan “Oentoek mengatahoei perasaan dan fikirannja pendoedoek dan pergaoelan ra’jat tanah Pasoendan toean-toean ampoenja dagblad haroes dibatja”.

Adapun Ir. Soekarno yang pada awal harapannya kepada Sipatahoenan menyebut-nyebut peran surat kabar sebagai bahan propaganda dan agitasi dalam perjuangan kemerdekaan di India dan Jerman, menulis begini: “Kini Sipatahoenan merajakan hari sepoloeh tahoen oesianja. Saja doakan moga-moga Sipatahoenan tetap mendjadi pembantoe perdjoeangannja Ra’jat Indonesia mendatangkan Indonesia Merdeka”. Di sebelahnya redaktur surat kabar Soemanget Toenggono juga berharap “Moedah-moedahan Sipatahoenan makin lama makin berdjasa kepada Ra’jat, lagi poela mendjadi obor di Tanah Pasoendan sini”.

Dalam tulisannya yang lumayan panjang, Saeroen (direktur dan pemimpin redaksi surat kabar Pemandangan) membahas pertautan surat kabar dengan partai politik serta perbandingannya dengan surat kabar merdeka atau nonpartai. Di akhir tulisannya ia menyimpulkan. Katanya: “Saja poenja conclusie: djanganlah anggap soerat kabar partij tentoe tida merdeka dan soerat kabar merdeka tentoe lebih leloeasa”. Dalam kaitannya dengan Sipatahoenan, ia mengatakan “Sipatahoenan sekarang tjoekoep oemoer 10 taoen Pagoejoeban Pasoendan tjampoer tangan dalam exploitatienja”. Namun, demikian, katanya, “Ini ta’ menoeroenkan deradjat Sipatahoenan, sebaliknja asal teratoer dengan baik, tida kalah merdeka dari soerat kabar jang katanja merdeka!

Parada Harapan sebagai direktur dan pemimpin redaksi surat kabar Bintang Timoer menekankan pentingnya “good will” (niat baik) di balik kesuksesan Sipatahoenan bisa bertahan selama sepuluh tahun. Katanya, “Soerat kabar Sipatahoenan hidoep, tidak dengan pokok .., dan bekerdja poen ia dengan langsoeng, moelai dari lembar pertjontoan sampai kepada kemadjoean jang didapatinja sekarang, soedah compleet sebagai dagblad kelas satoe, berkawat dan berkorrespondent di loear negeri, hanjalah oleh karena sympathie dari pembatjanja, di antara mana leden Pasoendan poen djoega”.

Simpati para pembaca Sipatahoenan yang dimaksudkan Parada sebagai “good will” dan itu katanya lebih berharga daripada modal kontan sebesar 100.000 rupiah. Dalam kata-kata Parada, “Moelai dari baji sampai kepada seorang moeda jang tangkas sebagai Sipatahoenan sekarang, hanja hidoep dan besar oleh karena sympathie pembatjanja itoe soedah mendjadi satoe good will jang lebih berharga dari pada pokok kontan 100.000 roepiah sekalipoen, jang tiap oleh zakenman tentoe akan mengakoenja”.

Selanjutnya, pendapat redaksi surat kabar Oetoesan Indonesia tentang Sipatahoenan: “Ta’ oesah kami rentang pandjang tentang ini. Semoea collega telah menjaksikan bahwa Sipatahoenan berhaloean Marhaenistich. Lahir dari Marhaen, oentoek Marhaen. Demikian sendiri hidoep dan toedjoeannja Sipatahoenan.” Itu sebabnya, sambung redaksi Oetoesan Indonesia, “Ta’ heran apabila Sipatahoenan selaloe berdjabatangan dengan Oetoesan Indonesia”.

Akhirnya, Soetisna Sendjaja sebagai salah seorang pendiri Sipatahoenan yang menulis dari Tasikmalaya pada April 1933 menempatkan Sipatahoenan sebagai anak lelakinya (Oedjang) dan dirinya sebagai bapak (Abah). Ia sangat gembira melihat anaknya sudah bisa tumbuh mandiri, bisa berbicara. Saat Sipatahoenan akan dilahirkan, Soetisna dipercaya untuk mengurusnya (“Barang hidep goebrag ka doenja, nja Abah noe kapasrahan ngarorok hidep”).

Ia berharap agar sang anak tidak melupakan untuk memperjuangkan sang ibu, Ibu Indonesia (“Tah oelah poho, makajakeun Indoeng, Indoeng Indonesia”). Ia percaya Sipatahoenan akan berjuang mati-matian untuk membela ibunya dan ia tahu Sipatahoenan telah membantu saudara-saudaranya, bekerjasama dengan kawan-kawannya untuk wawasan tanah air dan bangsa Indonesia (“Abah pertjaja, hidep bakal paeh poso ngabelaan indoeng hidep, sarta Abah njaho, hidep enggeus ngabantoe ka doeloer-doeloer, babarengan digawe pikeun kadjembaranana lemah tjai djeung bangsa hidep”).

* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//